OLEH: Khoeri Abdul Muid
Banjir datang tak diundang, menelan rumah-rumah, jalanan, dan mimpi-mimpi warga di pinggiran kota Jakarta. Terperangkap di atap rumahnya, Satria menyaksikan air keruh yang tak henti-hentinya mengalir. Matanya menerawang, merenungi bagaimana banjir yang mengerikan ini menyeretnya ke dalam pergulatan yang lebih besar---pergolakan batin tentang hidup, harapan, dan kematian.
Duduk di sebelahnya, Nur, istrinya, meringkuk kedinginan. Hujan deras yang mengguyur sejak dini hari telah menghentikan rutinitas kehidupan mereka. Tanpa listrik, tanpa suara mesin mobil yang biasa riuh di jalanan, hanya ada gemuruh air dan raungan angin yang menakutkan.
"Satria, apakah ini tanda dari Tuhan?" tanya Nur, suaranya lemah namun penuh keresahan.
Satria menoleh, menatap wajah istrinya yang pucat. Ia sendiri tak memiliki jawaban pasti. "Mungkin, Nur. Mungkin ini adalah lampu kuning dari Tuhan."
Nur menatap Satria bingung. "Lampu kuning?"
Satria terdiam sejenak, memikirkan perumpamaan yang pernah ia dengar dari seorang ulama tentang kehidupan. "Kita semua sedang dalam perjalanan, Nur. Hidup ini seperti berkendara di jalan raya. Ketika lampu hijau menyala, kita bergerak, bekerja, berjuang---melakukan segala yang kita bisa untuk mencapai tujuan kita. Tapi ketika lampu kuning menyala, itu peringatan. Kita harus berhati-hati, bersiap untuk berhenti."
Nur menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. "Dan banjir ini... apa kau pikir ini lampu kuning bagi kita?"
"Ya," jawab Satria, suaranya berat. "Ini peringatan. Bahwa kita tidak akan selamanya berada di lampu hijau. Waktu kita terbatas."
Mereka terdiam sejenak, membiarkan suara air yang menderu-deru memenuhi keheningan di antara mereka. Tiba-tiba, jeritan seorang anak kecil terdengar dari kejauhan. Satria segera bangkit, memandang sekeliling. Di kejauhan, terlihat seorang ibu yang panik, terjebak di tengah arus deras bersama anaknya yang menangis.