Namun, Andi merasa skeptis. "Tapi di kota, kita lebih suka hal-hal yang praktis. Cangkriman ini justru terkesan tidak efisien."
Mendengar itu, Pak Slamet menggeleng. "Cangkriman mungkin tidak membawa uang, tapi senyuman yang dihasilkan bisa lebih berharga, Nak. Kadang, hal-hal kecil itu justru yang membuat hidup kita berharga."
Seiring perbincangan, salah satu warga, Bu Lela, mengeluarkan Cangkriman-nya. "Ini, ya: Wajik klethik gulane Jawa, wulune sithik, barange dawa..."
"Hmm... makanan dari beras ketan,pake gula jawa, bulunya sedikit, barangnya panjang? Emmmmmm..... Ubi talas!" tebak Andi.
"Betul! Itu talas kimpul!" seru Bu Lela, senang.
Seiring waktu, Andi mulai menikmati suasana ini. Cangkriman ternyata tidak hanya menghibur, tetapi juga menghubungkan orang-orang dengan tawa dan canda.
Namun, rasa ingin tahunya masih ada. "Tapi, apakah semua orang di desa ini suka dengan Cangkriman?"
"Tidak semua," jawab Pak Slamet. "Ada yang menganggapnya tidak produktif, dan itu wajar. Tapi bagi kami, ini adalah cara untuk merayakan hidup."
Suatu sore, Andi memutuskan untuk mencoba Cangkriman sendiri. "Oke, aku punya satu! Kue puthu diwadahi piring, nek ra metu-metu, jajal karo miring!"
Semua terdiam sejenak, lalu meledak dalam tawa. "Itu... kuping kemasukan air!" teriak Bu Rini, sambil terpingkal-pingkal.
Andi merasa bangga, senyum mengembang di wajahnya. Dalam sekejap, dia menyadari bahwa Cangkriman bukan sekadar permainan kata-kata; itu adalah jembatan yang menghubungkan manusia satu sama lain.