OLEH: Khoeri Abdul Muid
Di sebuah desa yang subur dan damai, hiduplah seorang petani kaya yang memiliki ladang luas. Petani ini dikenal baik hati dan dermawan, selalu mencari cara untuk membantu sesama. Pada suatu hari yang cerah, petani itu memutuskan untuk mengerjakan ladangnya dan membutuhkan banyak tenaga kerja. Maka, pagi itu, ia memulai pencarian pekerja.
Ketika matahari baru saja terbit, petani tersebut meninggalkan rumahnya dan menuju ke pasar. Ia mencari para pekerja yang bersedia bekerja di ladangnya hingga matahari terbenam dengan imbalan seratus ribu rupiah. Para pekerja yang ada di pasar merasa senang dengan tawaran tersebut dan segera mengikuti petani ke ladangnya. Mereka bekerja keras sepanjang hari di bawah teriknya matahari.
Ketika matahari mulai condong ke barat, petani kembali ke pasar dan menemukan beberapa pekerja yang masih menganggur. Ia menawarkan pekerjaan dengan perjanjian yang sama---seratus ribu rupiah untuk bekerja hingga matahari terbenam. Pekerja yang baru ini setuju dan segera menuju ladang untuk bergabung dengan pekerja yang sudah ada.
Namun, saat matahari mulai terbenam, petani kembali ke rumahnya dan keluar untuk mencari pekerja tambahan. Kali ini, ia tidak menyebutkan upah sebelumnya, hanya meminta mereka untuk datang ke rumah setelah matahari terbenam jika ingin bekerja. Meskipun tidak ada kepastian tentang upah, para pekerja baru ini tetap mengikuti petani dan bekerja dengan semangat hingga matahari sepenuhnya tenggelam.
Setelah matahari terbenam, ketiga kelompok pekerja---pagi, siang, dan sore---berkumpul di halaman depan rumah petani. Petani itu muncul dengan uang di tangannya dan mulai membagikan upah. Ia memberikan seratus ribu rupiah kepada masing-masing pekerja pagi dan pekerja siang, sesuai dengan perjanjian awal mereka. Namun, kepada pekerja sore, ia memberikan tiga ratus ribu rupiah.
Melihat hal tersebut, para pekerja pagi dan siang merasa sangat marah. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa pekerja sore yang hanya bekerja beberapa jam mendapatkan lebih banyak uang daripada mereka yang bekerja sepanjang hari. Mereka merasa tidak adil dan mendatangi petani dengan kemarahan.
"Kenapa kami yang bekerja lebih lama hanya mendapatkan seratus ribu, sementara mereka yang datang belakangan mendapatkan lebih banyak?" mereka bertanya dengan nada kecewa.
Petani kaya itu menatap mereka dengan tenang dan menjawab, "Apakah aku tidak berhak menggunakan uangku sesuai keinginanku? Bukankah kalian juga sepakat dengan upah seratus ribu di awal? Aku memutuskan untuk memberikan lebih banyak kepada mereka yang datang terakhir karena mereka hanya memiliki waktu yang sangat sedikit untuk bekerja. Aku menghargai usaha mereka yang datang meski tidak ada jaminan apa pun."
"Namun," lanjut petani, "Ketika kalian melihat pemberian ini sebagai sesuatu yang tidak adil, kalian melupakan kenyataan bahwa setiap orang memiliki waktu dan kesempatan yang berbeda. Aku memilih untuk menghargai usaha mereka dengan cara yang berbeda, dan ini adalah hakku sebagai pemilik ladang."
Mendengar penjelasan tersebut, para pekerja yang marah merasa malu. Mereka menyadari bahwa petani itu telah berlaku adil menurut pandangannya, dan mereka telah salah mengartikan keputusan petani sebagai ketidakadilan. Petani tersebut pun mengusir mereka dengan lembut, menegaskan bahwa ia tidak akan mengangkat mereka sebagai pekerja tetap jika mereka tidak bisa menerima keputusan tersebut dengan lapang dada.
Di malam yang tenang, para pekerja yang baru bekerja tersebut pulang dengan rasa syukur. Mereka merasa dihargai atas usaha mereka, meskipun mereka baru bekerja sebentar. Sedangkan, para pekerja pagi dan siang, setelah merenung, akhirnya memahami makna dari kebijakan petani. Mereka belajar bahwa terkadang, perbedaan dalam pemberian dan penghargaan adalah cerminan dari bagaimana kesempatan dan usaha dihargai dengan cara yang unik.
Cerita tentang petani dan pekerja ini tersebar di desa, menjadi perumpamaan tentang bagaimana kita seharusnya menghargai waktu dan usaha setiap orang, serta memahami bahwa setiap orang memiliki kesempatan dan nilai yang berbeda dalam pandangan Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H