Jinten sudah jauh berjarak.
Tiba-tiba Suli dikejuti oleh sosok laki-laki asing dari semak-semak arah samping!
Polah laki-laki itu kesetanan. Terhuyung-huyung. Pura-pura mabuk kehausan. Celoteh dari bibirnya, "Hmh, hauuusss! Â Aku hauuusss! Oh, air, air! Itu aiiiiir!!!"
Tanpa permisi ia sambar mulut buyung. Dan, diteguk airnya.
Kontan tubuh Suli ikut tergoncang.
Ribut. Tarik-menarik. Tahan Suli, "Huh, jangan seperti ini! Di sendang itu kan ada air, to!!!"
Laki-laki itu cuek saja. Hingga buyung Suli pun jatuh. Terbentur batu. Pecah berkeping-keping.
"Aduh, buyungnya jatuh," nyinyir datar laki-laki. Malah tak acuh telah bersalah. Permisivisme, egois dan semena-mena.
      Sementara Suli terbelalak. Jeritnya, "Hah, celaka! Buyungku satu-satunya pecah?!!! Wooo, tidak tahu aturan!!!" Suli mengamuk. Melempari si pembikin onar dengan perca-perca buyung. "Huuu, kamu ini bikin perkara saja. Betapa marahnya Simbok. Wong air dinanti-nanti untuk minum kok buyungnya kamu pecahkan. Terus bagaimana aku, ha?! Benar-benar menyebalkan, kamu!!!"
      "Ohhh. Mmm. Maafkan aku, manis. Aku tak sengaja," rayu alibi laki-laki yang sedari tadi telah menyadap pembicaraan Suli-Jinten. Dan, sengaja hendak memanfaatkannya. Untuk 'memperkosa' jiwanya.
"Ngawur! Wong namaku Suli kok diundang Manis. Manis itu tetanggaku!" bentak Suli polos.