"Ah, entah, Lik! Na'ib pergi ke toko Luwes. Nasib kalau baru apes," jawab Suli dingin. Menahan emosi dan berusaha berpikir jernih dengan menyitir pantun khas Jawa: parikan.
"Maksudmu?"
"Sepertinya dunia ini kok baru membenciku. Tidak memihak aku. Anak janda, melarat. Masih dikejar-kejar kakek-kakek bau tanah, lagi. Huh. Dasar kalau diri tidak punya untung!" jawab Suli sedih. Sorot matanya menyendu. Menerawang.
"Hus. Jangan gitu!" sergah Jinten. Menghentikan hanyut nuansa perasaan frustasi Suli. "Begini, Suli. Orang itu jangan mengapeskan diri. Jangan putus asa. Ha mbok diterima saja Ki Gedhe-nya itu. Jangan melihat tuanya, dong. Tapi, anunya..." nasihat yang berujung bujuk Jinten, dengan gaya gembira, berapi-api. Lalu, mengangkat tangannya. Sembari ibu jarinya yang bantet itu digesek-gesekkan dengan telunjuk. Maksudnya, yang penting uangnya!
"Wooo, terangnya Lik Jinten ini menjadi maklar Ki Gedhe Kemiri, to!? Walah, Lik... Tunggu tenggelamnya perahu gabus atau busuknya kaca, ya!" tukas ketus Suli dengan serong bibir. Sewot.
"Jangan salah paham lho, Suli. Kok aku malah kamu anggap maklar itu bagaimana?" jawab tanya berfrekuensi rendah Jinten. Ia berkilah dan meredam kekacauan. Meski tetap saja ia coba merayu dan mendesak Suli kembali. "Maksudku sebenarnya ingin memuliakan hidupmu, Suli. Menjadi istri Ki Gedhe sama dengan menyurgakan dirimu juga ibumu lho. Kamu pasti dibuatkan rumah besar. Dimanja dan dituruti keinginanmu! Coba, hidup itu apa sih yang dicari, Suli? Hei?"
Jinten mencoba menyeret Suli untuk hanyut dalam pandangan materialisme. Bahwa segala sesuatu ukurannya materi. Termasuk kebahagiaan.
"Mbelll! Tak sudi!!!" tanggap cadas Suli sambil membuang muka. Tak lagi mau melihat wajah Jinten. Karena bagi Suli, kini wajah Jinten telah berubah menjadi wajah Ki Gedhe Kemiri.
"Wooo, benar-benar akan menjadi perawan tua, kamu, Suli! Tidak akan ada pemuda yang berani mendekatimu. Karena takut sama Ki Gedhe!" hardik kesal bercampur putus asa Jinten. Lantaran gagal total membujuk Suli.
Bergegas cuciannya dikemasi. Lalu, berselingker pulang, sembari menumpahi, "Tidak mendengar omonganku? Benar-benar akan nelangsa hidupmu, nDhuuuuuk!!!"
"Biarin! Tidak laku nikah tidak masalah!" balas tak gentar Suli, gigih membela idealisme cinta. Tak kalah sewot. Suli pun terengginas berkemas menggendong buyung. Pulang.