Teori fungsional berpandangan bahwa olahraga bermanfaat bagi masyarakat, karena dapat mendorong integrasi sosial, men-sosialisasikan individu agar mematuhi aturan, dan mem-fasilitasi pelepasan ketegangan dan menyalurkan sifat agresif.
Tema: Green, Clean dan Friendship, sebagaimana diusung Sea Games Myanmar 2013 yang lalu misalnya, jelas salah satu bukti up-date teori ini.
Kemudian, teori konflik yang notabene berasal dari pemikiran Marxis tradisional, menegaskan bahwa olahraga merupakan candu yang membuat orang lari dari persoalan sehari-hari.
Dan, secara kasuistis ada benarnya. Berapa saja pasangan keluarga yang harus bertengkar bahkan bercerai gara-gara kecanduan olahraga, atau setidaknya terkena efek dominonya, seperti kelana fans club fanatik yang berlebihan, atau perjudian?
Teori ini memandang bahwa organisasi olahraga menanamkan disiplin kerja, mendorong agresi individualisme dan persaingan yang kejam, yang merupakan ciri-ciri yang dianggap menguntungkan bagi keberhasilan ekonomi kapitalis (Brohm, 1978).
Mungkin juga kasuistis, tapi sejarahpun membuktikan, bahwa dibalik gemerlap industri olahraga, telah berapa saja atlet yang harus mengalami cedera abadi atau bahkan mati di medan laga olahraga, karena aroma agresi individualisme dan persaingan yang kejam itu.
Sebutlah, Muhammad Ali, legendaris tinju dunia. Kini ia harus menderita sindrom parkinson yang tak kunjung sembuh. Atau, Duk Koo Kim petinju kelas dunia asal Korea Selatan yang harus mati di ring tinju pada 1982.
Atau, di negeri kita sendiri. Bahwa semenjak merdeka, tidak kurang dari 30 petinju sekarat di atas ring. Mulai dari Jimmy Koko pada 1948 hingga Tubagus Setia Sakti yang bertarung pada 26 Januari 2013, TKO dan koma, serta keesokan harinya tewas di RS UKI Cawang Jakarta.
Kemudian, di cabang balap motor, juga menorehkan catatan kelam dengan kematian Marco Simoncelli, Shoya Tomizawa, Daijiro Kato dan Ivan Palazzese.
Di cabang sepak bola, suatu cabang yang relatif aman, ternyata juga menewaskan banyak pemain top kelas dunia seperti Marc-Vivien Foe pemain Timnas Kamerun pada 2003, Antonio Puerta pemain club Sevilla pada 2007, John Tomson kiper Glasgow Celtic pada 1993, Hugo Cunha club Portugal 2005,Marcio Dos Santos Brasil 2002, Samuel Okwaraji jepang pada 1989 dan masih ada catatan yang lainnya.
Dan, lucunya, di balik realitas tragis itu semua, justru tidak sedikit borju yang bergelimang mengkapitalisasi kekayaan dari olahraga yang dilembagakan itu.