Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kyai Janur Kuning (01)

4 Desember 2016   02:09 Diperbarui: 5 Desember 2016   08:35 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gentur sedang semedi (meditasi)di dalam sebuah gua. Ia duduk tegak bersila di atas batu datar dengan posisi kaki kanan di atas. Kedua lengannya ditumpukan di atas lutut. Arah telapak tangan menengadah.  Ujung Ibu jari dan telunjuk m enyatu membentuk lubang atau  seperti angka 0, atau huruf o, yang artinya niskala (kosong).

Sementara bunyi tetesan air dari ujung-ujung stalagtit langit-langit gua yang sporadis sambung-menyambung itu bagai helatan perkusi music rokhani yang menambah keheningan bathin Gentur saja.

Sesaat kemudian tampak Waskito. Berjalan dengan tenang kearah Gentur. Waskito menghentikan langkahnya persis di sisi kanan Gentur. Kemudian mengambil sikap semedi berdiri untuk mateg aji pameling (kontak bathin).

“Gentur… Bangunlah dari semedimu. Aku, Waskito, gurumu”.

Perlahan, Gentur menyudahi semedinya. Ia melakukan sembah grana (menyatukan kedua telapak tangan dengan jari-jari merapat dan kedua ibu jari menempel pada hidung).  Lalu perlahan kedua pelupuk matanya diusap arah horizontal kesamping luar.

Begitu melihat gurunya, Gentur terkejut dan bergegas turun dari persemediannya. Lalu bersujud dan duduk bersila di hadapan gurunya.

“Ampun, Bapa Guru… Sama sekali saya tidak mengira bahwa Bapa Guru Waskito sudah pulang dari Ibukota Pandhawan…”.

“Begini, Gentur… Maka aku harus segera pulang di Pedhepokan Watugung sini. Karena ada kepentingan yang perlu saya sampaikan kepadmu… Namun, ya jangan salah paham, aku telah mengganggu olah semedimu, Gentur…”.

“Tidak apa-apa, Bapa Guru… Tapi seperti menyerang rasa di hati, ingin segera saya mengetahui, ada penting apa pulang dari Pandhawan, Bapa Guru segera menemui saya. Seperti tidak bisa ditunda-tunda Bapa Guru…”.

“Gentur…  Mengertilah… Aku sudah membaca gelagat yang tidak baik di dalam kerajaan Pandhawan. Maka, dengan sembunyi-sembunyi aku sengaja mengambil pusaka lambang keagungan kerajaan Pandhawan, Kyai Janur Kuning dari gedung pusaka… Dan, saya ganti dengan pusaka yang wujudnya mirip dengan Kyai Janur Kuning”.

Gentur keheranan, “Aa… Apakah … begitu tidak dosa, Bapa Guru? Pekerjaan begitu, kan disebut maling… Mengambil sesuatu yang bukan haknya…”.

Pelan namun matap Waskito menjelaskan, “Melihat tujuannya, Gentur… Aku maling, tapi untuk mengantisipasi jangan sampai tindak angkara menjadi merajalela… sebab jika Kyai Janur Kuning sampai jatuh pada orang yang bertujuan angkara-murka, maka Kerajaan Pandhawan bakal rusak tak berbekas lagi, Gentur…”.

“Oh, begitu, ya, Bapa Guru… Ehm… Oleh karena itu banyak orang memasyhurkan Kyai Janur Kuning sebagai pusaka yang keampuhannya super hebat, Bapa Guru… E… Kalau diperkenankan tahu, sesungguhnya letak keampuhan Kyai Janur Kuning itu terletak pada apanya to, Bapa Guru?...”.

“Ah, itu hanya kabar yang melebih-lebihkan saja… Namun demikian, jika kita lihat wujud luarnya saja, memang Kyai Janur Kuning sudah cukup berwibawa”, Ujar Waskito sembari mengambil pusaka Kyai Janur Kuning dari balik jubah putihnya.

“Coba perhatikan, Gentur… Warangkanya branggah atau ladrang, ukiran gading bertahta emas berhias intan. Dan, pendhoknya yang gaya buton ini juga berbahan emas…”.

Gentur terkagum-kagum, “Waaah, begini hebatnya ya, gelar wujud Kyai Janur Kuning itu, Bapa Guru!?... Sungguh mencengangkan!...”.

“Perkiraanku, kenapa Kyai Janur Kuning dimasyhurkan? Ya karena dilihat dari nilai biaya aksesoris dan juga keindahan serta kehalusan garapannya…  Coba, pendhok emas ini bila dilepas dari gandarnya, berapa kira-kira bobotnya?... Belum lagi yang lain-lainnya, Gentur”.

Ketika Waskito melepas pendhok Kyai Janur Kuning dari gandarnya. Slup! Dan, bersamaan dengan itu sepotong lontar yang semula terselip pada pendhok itu melayang jatuh.

Gentursegera memungutnya.  Dan, perlahan menghaturkannya itu kepada Waskito.

“Permisi, Bapa Guru… Ada lontar yang terjatuh… Silakan, ini, Bapa Guru…”.

“Ya, bawa sini, Gentur… Lontar apa ini?!”, Waskito mencermati lontar itu.

BERSAMBUNG.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun