Pelan namun matap Waskito menjelaskan, “Melihat tujuannya, Gentur… Aku maling, tapi untuk mengantisipasi jangan sampai tindak angkara menjadi merajalela… sebab jika Kyai Janur Kuning sampai jatuh pada orang yang bertujuan angkara-murka, maka Kerajaan Pandhawan bakal rusak tak berbekas lagi, Gentur…”.
“Oh, begitu, ya, Bapa Guru… Ehm… Oleh karena itu banyak orang memasyhurkan Kyai Janur Kuning sebagai pusaka yang keampuhannya super hebat, Bapa Guru… E… Kalau diperkenankan tahu, sesungguhnya letak keampuhan Kyai Janur Kuning itu terletak pada apanya to, Bapa Guru?...”.
“Ah, itu hanya kabar yang melebih-lebihkan saja… Namun demikian, jika kita lihat wujud luarnya saja, memang Kyai Janur Kuning sudah cukup berwibawa”, Ujar Waskito sembari mengambil pusaka Kyai Janur Kuning dari balik jubah putihnya.
“Coba perhatikan, Gentur… Warangkanya branggah atau ladrang, ukiran gading bertahta emas berhias intan. Dan, pendhoknya yang gaya buton ini juga berbahan emas…”.
Gentur terkagum-kagum, “Waaah, begini hebatnya ya, gelar wujud Kyai Janur Kuning itu, Bapa Guru!?... Sungguh mencengangkan!...”.
“Perkiraanku, kenapa Kyai Janur Kuning dimasyhurkan? Ya karena dilihat dari nilai biaya aksesoris dan juga keindahan serta kehalusan garapannya… Coba, pendhok emas ini bila dilepas dari gandarnya, berapa kira-kira bobotnya?... Belum lagi yang lain-lainnya, Gentur”.
Ketika Waskito melepas pendhok Kyai Janur Kuning dari gandarnya. Slup! Dan, bersamaan dengan itu sepotong lontar yang semula terselip pada pendhok itu melayang jatuh.
Gentursegera memungutnya. Dan, perlahan menghaturkannya itu kepada Waskito.
“Permisi, Bapa Guru… Ada lontar yang terjatuh… Silakan, ini, Bapa Guru…”.
“Ya, bawa sini, Gentur… Lontar apa ini?!”, Waskito mencermati lontar itu.
BERSAMBUNG.