Sebagai tokoh seni dan budaya, beliau dinilai paling bersih dari korupsi. Namun demikian, usahanya di bidang upah minimum provinsi (UMP) mengalami kendala oleh tindakan buruh yang memanggil kembali perwakilannya saat sidang berlangsung. Buah dari pertemuan tersebut, dewan pengupahan menetakan upah Rp 2,2 juta.
Keteladanan Jokowi pada wacana di atas adalah… a. alumni UGM yang cinta seni dan budaya b. gemar blusukan ke pelosok wilayah c. mengadakan pertemuan dengan dewan pengupahan d. menjadi tokoh seniman terkemuka di DKI Jakarta e. menerima berbagai penghargaan dan gelar (detikNews). BUKAN AHLI BAHASA, Lalu Siapa?
Tema siapa Jokowi (?) oleh soal kontroversial itu mulai kental dipresentasikan dengan item keterangan nama, tempat tanggal lahir, pendidikan, dan jabatannya. Berikutnya, juga diterangkan dengan sifatnya (yang dikatakan jujur dan suka bekerja keras) dan gaya kemimpinannya (?) (gaya blusukan) dan seterusnya.
Namun dengan semakin mendalaminya lebih lanjut ---saya mendapati setidaknya dua catatan untuk soal ini, pertama, bahwa ia tidak dibuat oleh ahli bahasa atausetidaknya mengabaikan tata bahasa sebab logika berpikirnya melompat-lompat (tidak runtut), bahkan cenderung mengindikasikan tidak ada jawabannya.
Dan, kedua, kontennya ambisius, yakni ingin sebanyak mungkin menampilkan pesan tentang kesan positif Jokowi. Namun celakanya tidak didasarkan pada data yang memadai melainkan hanya lebih banyak menurut perspektif penulis wacana yang sekaligus penulis soal sendiri ---karena tidak ada keterangan sumber wacana.
Dan, indikasi bukan dibuat oleh ahli bahasa dan sangat ambisius ini apakah bisa mengarah pada simpulan bahwa penulisnya merupakan anggota tim (guru/dosen/yang lain) yang merangkap atau setidaknya berambisi sebagai politikus?
Sahdan. Analisa lebih detil tentang profile soal itu ialah sebagai berikut. Pertama, kesinambungan antara kalimat kesatu dan kedua dalam paragraf pertama tidak benar-benar tersambung. Penyebutan nama tokoh Ir H. Joko Widodo pada kalimat pertama, dilanjutkan pada kalimat kedua yang tiba-tiba saja memunculkan tokoh Jokowi tanpa keterangan alias atau biasa disebut publik, atau keterangan lain semacamnya, memberi arti bahwa paragraf ini menjelaskan dua tokoh, yakni Ir H. Joko Widodo dan Jokowi.
Padahal kalimat pertanyaannya berbunyi: Keteladanan Jokowi pada wacana di atas adalah… Dengan rangkaian kalimat dalam wacana dan soal yang demikian sejatinya penulis soal telah melakukan pemaksaan terhadap pembaca untuk mengambil kesimpulan tanpa dasar, bahwa Ir H. Joko Widodo adalah Jokowi.
Kalaupun pembaca harus berspekulasi bahwa Jokowi merupakan akronim dari Joko Widodo, juga merupakan tarikan kesimpulan yang sama sekali tidak logis dalam perspektif bahasa.Sebab, kalau Widodo diakronimkan WI sebagai suku kata pertama maka konsisten dengan itu Joko seharusnya juga diakronimkan sebagai JO. Sehingga akronim Joko Widodo adalah JOWI, bukan JOKOWI. Hal ini jelas membingungkan bahkan menjebak siswa pada kesalahan ilmiah yang relatif fatal.
Kedua, kesinambungan logika antara paragraf pertama dan kedua serta dengan butir soalnya juga sama sekali tidak betul-betul menyambung. Pada paragraf pertama kalimat kedua dikatakan bahwa Jokowi sebagai Gubernur DKI yang oleh kalimat ketiga dan keempat disebut sebagai memiliki karakter jujur, pekerja keras dan dikenal dengan gaya blusukannya .
Sementara itu pada paragraf kedua kalimat kesatu ditulis bahwa Jokowi sebagai tokoh seni dan budaya dinilai bersih dari korupsi. Apa dan seberapa kuat signifikansi korelasi antara tokoh seni budaya dengan korupsi? Kenapa tidak sebagai Gubernur sebagaimana kelanjutan (kesinambungan) atau penegasan dari paragraf pertama yang notabene dimafhumi oleh ilmu politik ada korelasi bahkan kecenderungan antara tokoh kekuasaan politik dengan soal korupsi, yang dengan demikian justru meneguhkan bahawa meskipun Jokowi memegang kekuasaan politik tetapi anti korupsi?
Ataukah, pembelokan dari tokoh kekuasaan politik (Gubernur) pada paragraf pertama kemudian bermetafora menjadi tokoh seni-budaya pada paragraf kedua merupakan strategi antisipatif berkelit (alibi yang by design) dari pihak penulis soal jika pada akhirnya soal ini dipermasalahkan (seperti sekarang ini) bahwa Jokowi sebagai Gubernur DKI dan sebagai tokoh seni-budaya, bukan dalam posisi sebagai bakal Capres PDIP?
Pertanyaan tersebut senada dengan pendapat Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Zaki Mubarak yang mengatakan bahwa dari kacamata politik tidak ada peristiwa yang terjadi kebetulan. Beliau meyakini bahwa munculnya nama Jokowi di soal UN terencana dengan baik atau by design (Sindonews,17/4/2014).
Kemudian yang ketiga, saya senada dengan Pengamat Pendidikan dari British Council, Itje Khodijah yang menilai bahwa soal itu disamping tidak memiliki sensitivitas sehingga menimbulkan polemik di masyarakat juga berkualitas rendah. "Soal ujian SMA kelas 3, kualitas soalnya rendah sekali. Hanya diberi paparan Jokowi dan pertanyaan." (Sindonews, 17/4/2014).