"Kalau boleh tahu apa yang kau ribetkan itu?"
"Banyak qil, banyak sekali."
"Bagaimana kalau ribetnya itu dirapihkan saja. Jika tidak! ribetnya pasti akan bertambah ribet lagi nantinya."
"Ya. Kau benar sekali, namun aku tak mengerti bagaimana cara merapihkan reribet itu?"
Rania merasa seperti selalu sendirian. Ia menjalankan hidup dengan patuh dan lurus. Padahal ia juga selalu menyambungkan dirinya dengan orang-orang suci, ia taat pada Tuhan, namun ia tetap  merasakan kebingungan dan kegamangan rasanya sendiri. Terkadang situasi tak mendamaikan dirinya yang sepi, sekalipun orang-orang di sekitar begitu mencintainya. Sejauh yang Aqila lihat, Rania adalah sosok yang sangat religious, namun Aqila bingung, sebab Rania selalu berselisih dengan perasaannya sendiri. Melihat itu, Aqila bertanya pada dirinya sendiri.
 "Sebenarnya apa yang terjadi, apakah terlalu banyak urusan Rania, sehingga membuatnya ingin menghindar dan pergi?"
"Aku ingin berpetualang seperti orang-orang suci, kemudian akan aku adukan semua kepada Tuhan tentang yang aku rasakan ini." Rania kembali mengungkapkan rasanya pada Aqila.
"Apa yang terjadi dengan Rania?" Aqila bertanya demikian kepada Ratu, yang dianggapnya sebagai guru. Senyum Ratu pun mengembang dan katanya:
 "Rania dalam situasi terjebak sayang, ia terjebak dengan hayalan dirinya sendiri." Mendengar itu Aqila sangat terkejut. Kemudian Ratu melanjutkan ucapannya
"Padahal kitalah yang selayaknya selalu berkaca, bukan meminta orang lain untuk berkaca, karena orang lain itu bukan urusan kita sayang."
"Kaca...kaca...!" teriak Rania pada orang-orang di sekitarnya. Sehingga mereka pun berkaca. Melihat itu, Aqila menarik nafas dalam-dalam.
"Lihat Aqila bayangan di kaca orang itu!" Rania menunjukan salah satu gambar orang yang berkaca. Aqila pun muntah seketika.