"Aku ingin pergi menjauh, di tempat sepi untuk menyepi, agar tak bisa digangggu oleh siapa pun juga," ujar Rania kepada Aqila sepupunya.
"Lakukan saja! Saat malam hari pergilah sendiri dengan melakukan meditasi." Balas Aqila.
"Tidak bisa." Selak Rania. Aqila diam merasai kekecewaan sepupunya.
"Orang-orang tidak mengerti, mereka semua tidak memahamiku," sambung Rania yang memang sedang kecewa pada orang-orang di sekitarnya.
"Aqila aku pusing, banyak yang ingin ku kerjakan, namun belum juga aku lakukan." Tanpa malu Rania mengakui semua itu.
"Apa masalahnya Ran?" Tanya Aqila.
"Masalahnya mungkin karena aku seperti sendiri, semua bergantung padaku." Aqila terdiam. Ia mendengar dengan seksama cerita yang disampaikan Rania.
"Sungguh! Anak, suami, ibu, adek, siapa pun dia yang dinamakan keluarga, belum tentu tulus satu sama lain saling menjaga. Terlebih lagi orang lain. Seperti itulah yang kurasa. Urusan rumah tangga aku yang mengatur semua. Aku yang memberikan solusi bagi mereka, aku menjadi penyambung hubungan satu dengan lainnya, bahkan aku sudah tidak lagi memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan bantuanku."
"Dahulu aku sering mengobati mereka yang membutuhkan bantuanku qil, namun saat ini aku sedang tidak fokus, karena banyak sekali yang harus ku urus." Kembali keluh Rania.
"Kalau begitu lakukan saja dulu urusanmu Ran!"
"Ya. Memang semestinya aku melakukan yang menjadi urusanku, itu yang utama, namun aku belum bisa konsisten, aku masih saja ribet karena banyaknya urusan."