Mohon tunggu...
Fiksiana

Bugenvil 9

8 November 2015   19:28 Diperbarui: 10 November 2015   07:56 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

 Lagu klasik terus mengalun di Bugenvil 9. Beethoven terasa hadir disana memainkan piano, sepi tapi terisi. Diluar  hujan masih turun dengan derasnya, namun tak sederas sepuluh menit yang lalu. Ruangan seluas dua puluh kali tiga puluh meter yang terletak di sebelah kanan ruang konsultasi itu dihuni empat anak perempuan  yang mungkin sedang tertidur atau bahkan masih dalam keadaan koma. Entahlah, yang terlihat kini hanya keempat gadis di kamar tersebut sedang menutup mata dalam ketenangan.

            Dokter Alice masuk dengan penuh wibawa bersama dua suster yang membawa semacam dokumen perkembangan pasien di lekukan tangan kanan mereka. Ketiganya berhenti di ranjang salah seorang gadis muda, kira-kira empat belas tahun usianya. Ironi, seketika wajah dokter muda itu tampak nestapa. Ia langsung melakukan pemeriksaan perkembangan mental gadis tersebut. Hasilnya masih nihil, sesuatu masih tampak seperi biasanya, mata tertutup, tubuh melekuk dan mengisap jari telunjuk yang mungil layaknya orang takut. Tiada siapa-siapa yang menemani gadis cantik itu disana, hanya boneka beruang warna cokelat muda dan boneka panda di sisi kanan kirinya. Mungkin hanya itulah teman yang masih setiamenemani dikala suasana mentalnya hancur, bahkan orang tuanya tampak tidak peduli dengan keadaannya.

            “Sementara ini tiada perkembangan, matanya belum terbuka. Masih perlu penanganan post-anxiety depression tahap 5. Besok adakanpengecekan kembali, perlu berjaga-jaga jikalau terdapat kemunginan sedikit perkembangan mental, itu jelas akan menjadi kabar yang sangat menggembirakan. Kita tau sendiri, 5 bulan terakhir ini dia belum pernah menunjukkan peningkatan sama sekali.” Jelas dokter Alice sembari menghebuskan nafas berat, menatap Maurice dengan wajah sedih.

            Ketiganya pergi melewati ruang konsultasi sementara pintu masih dibiarkan terbuka, padahal diluar dingin, hujan sedang turun dengan derasnya. Mungkin mereka lupa, atau memang sengaja? Entahlah. Gadis itu masih tertidur pulas, disela-sela hujan masih terdengar  alunan musik klasik. Mungkin itu salah satu cara mereka memulihkan anak-anak, terapi musik klasik ala psikiater sudah tidak asing didengar. Tidak lama setelahnya, dokter Alice masuk kembali tanpa menggunakan seragam putihnya, terlihat lebih cantik dan manis. Perlahan dipegangnya lima jari gadis itu dengan kuat, diciumnya kening gadis muda itu.

            “Cepatlah sembuh. Kau pasti bisa melawan kenyataan, aku yakin dalam hatimu juga berdoa agar tetap kuat menjalani keadaan ini. Semuanya pasti akan membaik. Jangan lupa, ada aku disini yang akan membantumu keluar dari rasa takutmu. ” Alice mengusap rambut gadis itu, lalu bergegas meninggalknnya karena hari beranjak senja.

            Malam tiba, ruang rawat inap psikiater kota itu lumayan sepi, tiada yang menjaga. Semua seperti gudang, sarang manusia lemah tak berdaya, yang kerjanya hanya menutup mata atau mengedipknnya lalu tertidur lagi, menangis, terdiam di ruang konsultasi atau berusaha memahami diri lewat kaca didepannya. Terkadang mereka akan memecahkannya ketika mereka sudah lelah memandang wajah mereka yang tampak sendu tak berguna. Pemandangan yang begitu menyakitkan.

            Selimut masih terbalut di tubuh Alen, lampion bersinar redup menerangi buku hariannya. Suasana begitu sepi, hanya terdapat para dokter dan suster yang giliran jaga bagian malam. Ringkuk tubuhnya masih terlihat jelas, jari telunjuknya masih terus diisap, matanya sayu namun cantik dihiasi bulu mata lentik dan bentukan alis yang tumbuh dengan indah diatas matanya, terlihat sempurna. Hujan sedikit reda, namun masih terdengan bunyi rintik-rintik di luar sana. Kini mala telah benar-benar sepi mengingat waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Hanya ada 5 satpam yang berkeliling mengecek keadaan lingkungan rumah sakit dan tiap ruangan diceknya pula.

Ia menghentikan langkahnya di ruangan Bugenvil nomor 9. Matanya melihat sekitar, sejenak terlintas dipikirannya untuk mengecek ke dalam ruangan itu. Tidak ada apa-apa, ia masuk dengan hati-hati, dipelankan pula suara langkah sepatunya karena khawatir akan membangunkan gadis-gadis itu. Dilihatnya sebuah boneka panda tergeletak dengan posisi tengkurap di lantai, lalu ia memungutnya dan menaruh boneka itu kembali di atas ranjang Alen, ia juga membenahi keadaan selimutnya yang sedikit berantakan. Satpam itu keluar tanpa melihat lagi ke belakang, sedikit tidak peduli. Ruangan itu kembali sunyi, sayup-sayup bunyi musik klasik masih terdengar selaras dan merdu meski tidak begitu keras. Kini malam terus berjalan menemui pagi, lumayan jauh jarak waktunnya, namun bagi Alen itu terasa sebentar. Hari-harinya hanya dipenuhi dengan pejaman-pejaman mata tak berarti, lebih tepatnya hanya membuang-buang waktu saja.

            Pagi datang, ia telah meninggalkan malam sunyi. Terlalu pagi bagi para dokter untuk berangkat bekerja, mungkin mereka masih lengket di ranjang untuk sibukbermimpi atau bahkan sedang memanjakan diri dengan seperangkat alat tidur mereka, pukul lima lebih sembilan menit tiba-tiba gerimis datang, taklama kemudian disusul hujan deras mengguyur kota itu. Semakin dingin hawanya, namun tidak bagi para gadis penghuni Bugenvil nomor 9, mereka masih terlelap dibalut tebalnya selimut mimpi, tidak terlalu indah dirasakan. Semua keadaan masih sama, namun kemungkinan ada sedikit perkembangan pada Alen.

            Pengadilan militer menyatakan hukuman mati kepada Kapten Dirgantara, ia dianggap telah membunuh sembilan belas calon prajurit akademi militer ketika sedang mengadakan kunjungan akhir tahun sebelum pelantikan prajurit satu. Ketiganya dianggap membangkang apa yang telah menjadi aturan mutlak akademi tersebut, ia menghukum diluar batas hingga kondisi tubuh mereka turun drastis sebelum akhirnya kritis dan dikabarkan meninggal. Keluarga Alen hanya merima dengan pasrah jika memang itu suratan takdir yang harus dijalani. Ayah Alen akan menjalani hukuman berupa eksekusi mati dua minggu yang akan datang. Alen beserta keluarganya hanya diijinkan untuk menjenguk seminggu sekali dan tambahan sekali sebelum hukuman itu berlangsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun