TINJAUAN MAQASYID SYARIAH TERHADAP PASAL 167 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG RUJUK DI HADAPAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH
Dafitri AkbarÂ
Program S1 Jurusan Hukum Keluarga Islam Universitas Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Pertalian perkawinan adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara kedua keluarga. Namun dalam setiap perjalalanan pernikahan itu, terkadang semua itu adam asalah yang dihadapi oleh dua insan tersebut. Masalah tersebut tak jarang membuat terjadinya pertengkaran dan perkelahian antara kedua pasangan itu. Sehingga suatu perkawinan itu dapat putus dan berakhir karena berbagai hal, anatara lain karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karenas ebab-sebab lainnya.Â
dalam skripsi dirumuskan bahwa rujuk ialah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi raj'i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa idah, dengan ucapan tertentu. Dari rumusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan terjadinya talaka ntara suami dan istri meskipun berstatus talak raj'i, di dalam pasal 163 KHI seorang
suami dapat merujuk isterinya yang dalam masa iddah. Dengan demikianjelas bahwa rujuk hanya dapat dilakukan ketika mantan isteri dalam masa iddah.
Dasar Hukum RujukÂ
beberapa dasar hukum tentang penetapan sahnya rujuk. Yaitu pada  QS al-Baqarah ayat 228, al-Baqarah ayat 234 dan al-Baqarah ayat 231.
Syarat-Syarat dan Rukun RujukÂ
1. Menurut ulama Mazhab Maliki, Syafi'I dan Hanbali, suami yang rujuk itu  adalah orang yang cakap bertindak hukum, yaitu baligh, berakal dan atas kesadaran sendiri dan bukan  orang murtad.
2. Menurut Mazhab Syafi'i, bagi orang yang biasa bicara rujuk harus dinyatakan dengan ungkapan yang jelas atau sindiran.
3. Status istri tersebut masih dalam masa iddahnyaÂ