Malam itu, di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, para pemimpin dunia berkumpul dalam sebuah konferensi darurat untuk membahas eskalasi konflik di Timur Tengah. Konflik yang berakar dari perebutan tanah, agama, dan kepentingan geopolitik kini melibatkan kekuatan global seperti Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan sekutu mereka.
Babak I: Tiga Poros Kekuatan
Jonathan Miller, delegasi Amerika Serikat, berdiri dengan percaya diri. Suaranya bergema di aula besar:
"Amerika tetap berdiri teguh mendukung Israel. Perdamaian di kawasan hanya bisa dicapai jika Iran menghentikan ambisi nuklirnya dan kelompok teroris di Palestina disingkirkan."
Ivan Smirnov, delegasi Rusia, membalas dengan tenang:
"Hegemoni seperti itulah yang memicu kekacauan ini. Dukungan Anda kepada Israel dan sekutu Anda hanya memperpanjang penderitaan rakyat Palestina."
Li Wei, dari Cina, berbicara dengan gaya diplomatik:
"Terlalu banyak tangan bermain di Timur Tengah. Cina tidak memilih pihak, tetapi menyerukan solusi berdasarkan keadilan global, bukan kepentingan sepihak."
Di sudut lain, delegasi Arab Saudi, Pangeran Khalid bin Salman, menyatakan:
"Kami mendukung perdamaian, tetapi stabilitas kawasan harus dimulai dengan memulihkan hubungan diplomatik yang sehat antara negara-negara Teluk dan dunia Muslim."
Dari Mesir, Menteri Luar Negeri Omar Al-Sisi menambahkan:
"Mesir akan tetap menjadi penjaga perdamaian. Tapi dunia harus memahami, tanpa keadilan bagi Palestina, tidak akan ada stabilitas."
Sementara itu, Yaman yang dilanda perang sipil mengirim delegasi kecil, seorang ulama muda bernama Sheikh Ahmed, yang berbisik pada delegasi Iran di sela konferensi:
"Bukankah waktunya kita mengakhiri konflik internal ini sebelum berbicara tentang perang besar?"
Babak II: Di Tanah Konflik
Di Gaza, seorang pemuda bernama Yusuf berdiri di antara reruntuhan rumahnya. Ia baru saja kehilangan saudara perempuannya dalam serangan udara Israel. Di sisi lain, di Tel Aviv, seorang tentara muda Israel bernama David memandangi foto keluarganya sambil bertanya-tanya apakah semua ini sepadan dengan darah yang tertumpah.
Di Teheran, Iran, seorang komandan militer mempersiapkan serangan balasan terhadap Israel. Tetapi ulama tertinggi memperingatkan:
"Jika perang ini hanya membawa kehancuran lebih banyak, lalu apa artinya perjuangan kita?"