Mohon tunggu...
Zulkarnain ElMadury
Zulkarnain ElMadury Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Lahir di Sumenep Madura

Hidup itu sangat berharga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di bawah Naungan Kasih Ayahanda Haedar Nashir: Perjalanan Ayatullah Mencapai Cita-cita

3 November 2024   06:13 Diperbarui: 3 November 2024   06:55 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 By Zulkarnain Elmadury

Di ujung timur Pulau Madura, tepatnya di Jalan Pahlawan Karangduak, Sumenep, terdapat satu keluarga yang hidup dalam kesederhanaan, namun menyimpan harapan yang begitu besar. Keluarga ini adalah keluarga Syamsuri, dan Zulkarnain Elmadury adalah kepala keluarganya. Zulkarnain adalah sosok ayah yang sederhana namun penuh tekad, terutama ketika bicara tentang masa depan anak satu-satunya, Ayatullah Mumtazi. Dalam hati kecilnya, Zulkarnain menyimpan cita-cita besar agar anaknya tumbuh menjadi sosok yang sholeh, yang berbakti kepada Allah, Rasul-Nya, dan kepada orang tua.

Saat keinginan Ayatullah untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi mencuat, Zulkarnain merasa harapan ini sekaligus menjadi tantangan terbesar dalam hidupnya. Bagi keluarga yang hidup dengan serba pas-pasan, melanjutkan pendidikan tinggi adalah perjuangan luar biasa. Namun, keinginan sang anak begitu kuat, sedangkan kasih sayang seorang ayah yang mengalir dalam diri Zulkarnain jauh lebih besar dari segala keterbatasan.

Dengan keyakinan yang teguh, Ayatullah diterima di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Namun, di titik inilah ujian yang sesungguhnya dimulai. Tak ada modal, tak ada cadangan, hanya tekad seorang ayah yang siap berjuang hingga akhir. Zulkarnain bekerja keras, mengorbankan segala yang dimilikinya, walaupun dia tahu itu tak akan pernah cukup. Demi menyokong biaya kuliah anaknya, Zulkarnain mengupayakan berbagai macam cara selama masih halal. Setiap rupiah yang terkumpul menjadi tetes air mata harapan dan doa yang tak pernah putus.

Zulkarnain tak pernah tahu pasti berapa biaya yang akan dihabiskan untuk menyelesaikan pendidikan sang anak. Di setiap jalan yang dia tempuh, dia meminta bantuan pada teman dan saudara. Berbagai tokoh dan orang ternama di lingkungan Muhammadiyah yang dikenal Zulkarnain, mulai dari Bapak Dahlan Rais, Bapak Syafiq, Bapak Din Syamsuddin, hingga Bapak Haedar Nashir, menjadi tempat Zulkarnain mencurahkan keluh kesahnya. Meskipun seringkali bantuan yang diharapkan tak selalu hadir, setiap usahanya adalah doa yang digantungkan pada langit, memohon pada Sang Khalik agar anaknya tak berhenti mengejar ilmu.

Di tengah perjalanan yang penuh liku, Zulkarnain mendapatkan dukungan istimewa dari seseorang yang amat dihormatinya: Ayahanda Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Di balik sosoknya yang sederhana dan rendah hati, Ayahanda Haedar menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya kepada Ayatullah, seolah-olah dia adalah anaknya sendiri. Tak hanya lewat bantuan finansial, tetapi juga dalam bentuk perhatian yang hangat, Ayahanda Haedar memperlihatkan keteladanan seorang pemimpin yang tak hanya memimpin dengan kepala, tetapi dengan hati.

Semester demi semester berlalu, dan dukungan Ayahanda Haedar terus berlanjut. Saat-saat penuh haru itu adalah napas bagi Zulkarnain, yang selama ini berjalan dalam kelelahan. Setiap langkah yang diambil Ayahanda Haedar memberikan Zulkarnain sedikit ruang untuk menghela napas, meskipun hatinya masih terus dihimpit kekhawatiran. Ayahanda Haedar, dalam kesibukan dan beban tanggung jawabnya yang besar, seolah tak pernah lupa akan janji kasih sayang yang diberikannya pada Ayatullah. Ketulusan itu menginspirasi, mengajarkan bahwa seorang pemimpin yang sesungguhnya adalah mereka yang tak membiarkan orang-orang di bawah naungannya terabaikan, meskipun dia sendiri tengah berjuang.

Namun, dalam keikhlasan dan kebaikan seorang manusia, tetap ada batas. Begitu pula Ayahanda Haedar. Setelah melewati semester demi semester, keterbatasan itu mulai tampak. Zulkarnain memahami hal ini. Tak ada keinginan dalam dirinya untuk menjadi beban, namun setiap kali dia mengingat harapan besar pada anaknya, dia menengadahkan tangan, memohon kepada Allah agar kiranya ada jalan keluar yang akan selalu terbuka.

Kini Ayatullah sudah berada di semester sembilan, hampir menyentuh akhir dari perjalanan panjangnya. Di tiap detik perjuangan ini, ada doa seorang ayah yang tak pernah putus. "Ya Allah, rahmati mereka yang telah membantu anakku. Berilah keberkahan bagi mereka dan keluarganya," begitu doa Zulkarnain pada tiap akhir sujudnya.

Begitulah, di tengah ujian kehidupan yang terasa berat, cinta dan doa seorang ayah menjadi lentera yang tak pernah padam. Semoga, Allah melimpahkan rahmat-Nya pada mereka yang telah menolong dan membimbing. Dan semoga, suatu hari, Ayatullah Mumtazi dapat berdiri di puncak yang dia damba, menggapai cita-citanya dengan kebanggaan dan kebahagiaan yang dulu selalu menjadi impian seorang ayah bernama Zulkarnain Elmadury.

Tahun-tahun berlalu, perjalanan Ayatullah Mumtazi di bangku kuliah semakin mendekati akhir. Setiap lembaran tugas, ujian, dan skripsi yang dia hadapi seolah mengingatkannya pada pengorbanan sang ayah, Zulkarnain Elmadury. Setiap lembar kertas itu bukan hanya soal akademik, tetapi juga cerita tentang kerja keras, air mata, dan doa yang tanpa henti dipanjatkan. Tak ada satu haripun yang berlalu tanpa rasa syukur dan harapan, meskipun sering kali diselimuti kekhawatiran akan kekurangan biaya.

Namun, Zulkarnain tak pernah berhenti berharap. Suatu malam yang tenang di ujung senja, dia menatap langit dari halaman rumahnya yang sederhana di Karangduak, Sumenep. Angin berhembus membawa kenangan perjuangan yang tak kunjung padam. Setiap langkah hidupnya seolah berputar kembali di sana, dalam keremangan senja Madura yang membawa serta harapan agar anaknya bisa menggapai pendidikan yang lebih tinggi. Langit Madura menjadi saksi atas doa seorang ayah, yang mungkin bagi sebagian orang tampak sederhana, namun bagi Zulkarnain adalah segalanya.

Ayatullah sendiri, meski berjuang di kota besar, tak pernah merasa sendirian. Bayangan kasih sayang ayahnya selalu hadir di sela-sela kesibukannya di kampus. Ketulusan Ayahanda Haedar Nashir juga tak pernah dia lupakan. Sosok pemimpin yang rela membantu tanpa pamrih, dengan hati seorang ayah yang sederhana namun penuh makna. Setiap kali bertemu, Ayahanda Haedar menyambutnya dengan senyuman hangat, seolah menghapus sejenak beban yang dipikulnya selama ini. Baginya, Ayatullah bukan sekadar seorang mahasiswa, tetapi seperti anak sendiri yang sedang berjuang mencapai impian.

Semester demi semester berlalu. Di setiap ujian yang Ayatullah lewati, terselip doa dan dukungan dari mereka yang menyayanginya. Ayahanda Haedar tak henti mendoakan kesuksesan Ayatullah, seolah dalam sosok anak muda ini terdapat harapan besar bagi generasi penerus. "Jangan pernah menyerah, Nak. Setiap ilmu yang kau raih adalah amal untuk umat," begitu pesan sederhana dari Ayahanda Haedar yang terus membekas di hati Ayatullah.

Namun, perjalanan ini bukanlah tanpa rintangan. Di awal semester sembilan, masalah biaya semakin mendesak. Tabungan yang selama ini diusahakan Zulkarnain semakin menipis, dan bahkan beberapa kali harus berhutang untuk menutupi kebutuhan anaknya. Meskipun lelah dan terkadang merasa rapuh, Zulkarnain selalu berusaha tegar di hadapan anaknya. "Kamu harus tetap belajar, Nak. Biar bapak yang cari cara," begitu kata-kata yang sering dia ucapkan dengan senyum kecil yang menyimpan harapan.

Dalam hening malam yang penuh doa, Zulkarnain tak berhenti menghadap kepada Allah. "Ya Allah, Engkau yang Maha Kaya dan Maha Pemberi, bantu aku dalam perjalanan ini. Jangan biarkan aku menyerah di tengah jalan," bisiknya. Di sela-sela permohonannya, dia kembali teringat pada Ayahanda Haedar Nashir, sosok yang selalu mendukung anaknya. Bagi Zulkarnain, kehadiran Ayahanda Haedar bukan hanya bantuan materi, tapi juga motivasi yang membuatnya yakin bahwa dalam setiap kesulitan pasti ada kemudahan.

Menjelang ujian akhir semester, Ayatullah semakin merasakan beban yang bertambah berat. Namun, kabar tak terduga datang menghampiri. Suatu pagi, Ayatullah dipanggil ke kantor rektorat. Sesampainya di sana, dia disambut dengan senyum hangat oleh pihak rektorat. Mereka memberitahukan bahwa Ayatullah terpilih menerima beasiswa khusus dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Bantuan ini, atas rekomendasi Ayahanda Haedar Nashir, datang di saat yang paling dibutuhkan.

Dengan mata berkaca-kaca, Ayatullah mengucap syukur, dan pikirannya langsung tertuju pada ayahnya di Sumenep. Malam itu, dia menelepon Zulkarnain, memberitahukan kabar baik yang begitu dinanti. Di ujung telepon, terdengar suara lega dari seorang ayah yang selama ini menyimpan beban besar dalam hatinya.

"Alhamdulillah, Nak. Ayah sudah tidak kuat membayangkan beratnya jalanmu, tetapi Allah benar-benar Maha Mendengar. Teruslah berjuang, dan jangan pernah lupakan jasa mereka yang membantumu," pesan Zulkarnain, suaranya sedikit bergetar. Malam itu, di dua tempat berbeda, dua hati yang terhubung oleh cinta seorang ayah dan anak menengadahkan tangan mereka ke langit, memanjatkan doa-doa yang tulus.

Tak lama kemudian, Ayatullah berhasil menyelesaikan pendidikannya, dan di hari wisudanya, Ayahanda Haedar Nashir turut hadir, berdiri di antara mereka yang menyaksikan keberhasilan Ayatullah. Dengan bangga, Ayahanda Haedar menepuk pundaknya, tersenyum sambil berucap, "Selamat

, Nak. Perjalananmu baru saja dimulai. Teruskan langkahmu untuk umat dan jangan pernah lupa bahwa setiap ilmu adalah amanah."

Ayatullah memandang sosok Ayahanda Haedar dengan haru yang mendalam. Sosok pemimpin ini bukan hanya memberi bantuan materi, namun juga menjadi cahaya di tengah langkah yang kadang terasa berat. Di sela senyuman itu, Ayatullah merasakan ketulusan yang begitu dalam, ketulusan seorang pemimpin yang membimbing tak hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan hati yang penuh kasih.

Sementara itu, di sudut ruangan, Zulkarnain berdiri dengan senyum yang tak dapat ia sembunyikan. Ia teringat pada setiap perjalanan yang mereka lalui, dari rintik keringat dan jerih payah yang ia curahkan, hingga doa-doa yang tak pernah putus di penghujung malam. Melihat anaknya berdiri dengan toga, di tengah dukungan dari seorang Ayahanda yang dihormati, adalah momen yang bahkan Zulkarnain tak pernah berani membayangkannya sebelumnya. Namun di hari itu, Allah menunjukkan kekuatan kasih sayang dan pengorbanan seorang ayah.

Selesai acara wisuda, Ayatullah menghampiri Zulkarnain. Dengan mata yang berkaca-kaca, ia memeluk sang ayah, erat sekali, seolah mengalirkan segala rasa syukur dan cinta yang tak terkatakan. "Terima kasih, Ayah," bisiknya pelan, suaranya bergetar. "Tanpa Ayah, tanpa perjuangan dan doa Ayah, aku tidak mungkin sampai di sini."

Zulkarnain menepuk pundaknya dengan lembut, air matanya jatuh tanpa dapat ia cegah. "Nak, ini adalah harapan yang ayah panjatkan selama bertahun-tahun. Ingat, segala ilmu yang kamu raih ini adalah amanah Allah. Gunakan untuk kebaikan, berbaktilah untuk agama dan umat, seperti yang selalu Ayahanda Haedar nasihatkan."

Hari itu, di bawah langit yang cerah, ada ikrar tanpa suara yang Ayatullah tanamkan dalam hatinya. Ia berjanji akan menjaga harapan ayahnya, akan menjalankan amanah ilmu ini dengan penuh tanggung jawab, dan akan terus mengabdi dengan sepenuh hati. Di dalam dadanya bersemayam semangat dari setiap tetes keringat ayahnya, dari setiap doa yang dipanjatkan dalam diam, dan dari kasih tulus seorang pemimpin yang selalu ada untuknya.

Tahun-tahun berlalu, Ayatullah Mumtazi kini telah tumbuh menjadi sosok yang berilmu dan dihormati. Dia melanjutkan pengabdian sebagai cendekiawan muda yang berdiri di barisan Muhammadiyah, tempat ia dibesarkan dan dilindungi selama perjalanan panjang pendidikannya. Setiap kali dia mengajar dan berbagi ilmu, dia mengenang pesan Ayahanda Haedar, mengenang suara lembut ayahnya, dan doa yang terus terlantun di malam-malam sunyi.

Kini, setiap keberhasilan yang dia capai adalah buah dari harapan yang dirajut dengan air mata, dari pengorbanan yang tak pernah menuntut imbalan. Di hatinya, selalu ada rasa syukur mendalam untuk dua sosok yang menjadi tiang hidupnya: seorang ayah sederhana yang penuh kasih sayang, dan seorang pemimpin yang dengan tulus memberikan dukungan tanpa batas. Di sanalah, dalam setiap langkahnya, Ayatullah mengenang perjuangan seorang ayah bernama Zulkarnain dan kasih seorang pemimpin bernama Haedar Nashir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun