Mohon tunggu...
Zulkarnain ElMadury
Zulkarnain ElMadury Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Lahir di Sumenep Madura

Hidup itu sangat berharga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di bawah Naungan Kasih Ayahanda Haedar Nashir: Perjalanan Ayatullah Mencapai Cita-cita

3 November 2024   06:13 Diperbarui: 3 November 2024   06:55 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namun, Zulkarnain tak pernah berhenti berharap. Suatu malam yang tenang di ujung senja, dia menatap langit dari halaman rumahnya yang sederhana di Karangduak, Sumenep. Angin berhembus membawa kenangan perjuangan yang tak kunjung padam. Setiap langkah hidupnya seolah berputar kembali di sana, dalam keremangan senja Madura yang membawa serta harapan agar anaknya bisa menggapai pendidikan yang lebih tinggi. Langit Madura menjadi saksi atas doa seorang ayah, yang mungkin bagi sebagian orang tampak sederhana, namun bagi Zulkarnain adalah segalanya.

Ayatullah sendiri, meski berjuang di kota besar, tak pernah merasa sendirian. Bayangan kasih sayang ayahnya selalu hadir di sela-sela kesibukannya di kampus. Ketulusan Ayahanda Haedar Nashir juga tak pernah dia lupakan. Sosok pemimpin yang rela membantu tanpa pamrih, dengan hati seorang ayah yang sederhana namun penuh makna. Setiap kali bertemu, Ayahanda Haedar menyambutnya dengan senyuman hangat, seolah menghapus sejenak beban yang dipikulnya selama ini. Baginya, Ayatullah bukan sekadar seorang mahasiswa, tetapi seperti anak sendiri yang sedang berjuang mencapai impian.

Semester demi semester berlalu. Di setiap ujian yang Ayatullah lewati, terselip doa dan dukungan dari mereka yang menyayanginya. Ayahanda Haedar tak henti mendoakan kesuksesan Ayatullah, seolah dalam sosok anak muda ini terdapat harapan besar bagi generasi penerus. "Jangan pernah menyerah, Nak. Setiap ilmu yang kau raih adalah amal untuk umat," begitu pesan sederhana dari Ayahanda Haedar yang terus membekas di hati Ayatullah.

Namun, perjalanan ini bukanlah tanpa rintangan. Di awal semester sembilan, masalah biaya semakin mendesak. Tabungan yang selama ini diusahakan Zulkarnain semakin menipis, dan bahkan beberapa kali harus berhutang untuk menutupi kebutuhan anaknya. Meskipun lelah dan terkadang merasa rapuh, Zulkarnain selalu berusaha tegar di hadapan anaknya. "Kamu harus tetap belajar, Nak. Biar bapak yang cari cara," begitu kata-kata yang sering dia ucapkan dengan senyum kecil yang menyimpan harapan.

Dalam hening malam yang penuh doa, Zulkarnain tak berhenti menghadap kepada Allah. "Ya Allah, Engkau yang Maha Kaya dan Maha Pemberi, bantu aku dalam perjalanan ini. Jangan biarkan aku menyerah di tengah jalan," bisiknya. Di sela-sela permohonannya, dia kembali teringat pada Ayahanda Haedar Nashir, sosok yang selalu mendukung anaknya. Bagi Zulkarnain, kehadiran Ayahanda Haedar bukan hanya bantuan materi, tapi juga motivasi yang membuatnya yakin bahwa dalam setiap kesulitan pasti ada kemudahan.

Menjelang ujian akhir semester, Ayatullah semakin merasakan beban yang bertambah berat. Namun, kabar tak terduga datang menghampiri. Suatu pagi, Ayatullah dipanggil ke kantor rektorat. Sesampainya di sana, dia disambut dengan senyum hangat oleh pihak rektorat. Mereka memberitahukan bahwa Ayatullah terpilih menerima beasiswa khusus dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Bantuan ini, atas rekomendasi Ayahanda Haedar Nashir, datang di saat yang paling dibutuhkan.

Dengan mata berkaca-kaca, Ayatullah mengucap syukur, dan pikirannya langsung tertuju pada ayahnya di Sumenep. Malam itu, dia menelepon Zulkarnain, memberitahukan kabar baik yang begitu dinanti. Di ujung telepon, terdengar suara lega dari seorang ayah yang selama ini menyimpan beban besar dalam hatinya.

"Alhamdulillah, Nak. Ayah sudah tidak kuat membayangkan beratnya jalanmu, tetapi Allah benar-benar Maha Mendengar. Teruslah berjuang, dan jangan pernah lupakan jasa mereka yang membantumu," pesan Zulkarnain, suaranya sedikit bergetar. Malam itu, di dua tempat berbeda, dua hati yang terhubung oleh cinta seorang ayah dan anak menengadahkan tangan mereka ke langit, memanjatkan doa-doa yang tulus.

Tak lama kemudian, Ayatullah berhasil menyelesaikan pendidikannya, dan di hari wisudanya, Ayahanda Haedar Nashir turut hadir, berdiri di antara mereka yang menyaksikan keberhasilan Ayatullah. Dengan bangga, Ayahanda Haedar menepuk pundaknya, tersenyum sambil berucap, "Selamat

, Nak. Perjalananmu baru saja dimulai. Teruskan langkahmu untuk umat dan jangan pernah lupa bahwa setiap ilmu adalah amanah."

Ayatullah memandang sosok Ayahanda Haedar dengan haru yang mendalam. Sosok pemimpin ini bukan hanya memberi bantuan materi, namun juga menjadi cahaya di tengah langkah yang kadang terasa berat. Di sela senyuman itu, Ayatullah merasakan ketulusan yang begitu dalam, ketulusan seorang pemimpin yang membimbing tak hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan hati yang penuh kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun