Sementara itu, di sudut ruangan, Zulkarnain berdiri dengan senyum yang tak dapat ia sembunyikan. Ia teringat pada setiap perjalanan yang mereka lalui, dari rintik keringat dan jerih payah yang ia curahkan, hingga doa-doa yang tak pernah putus di penghujung malam. Melihat anaknya berdiri dengan toga, di tengah dukungan dari seorang Ayahanda yang dihormati, adalah momen yang bahkan Zulkarnain tak pernah berani membayangkannya sebelumnya. Namun di hari itu, Allah menunjukkan kekuatan kasih sayang dan pengorbanan seorang ayah.
Selesai acara wisuda, Ayatullah menghampiri Zulkarnain. Dengan mata yang berkaca-kaca, ia memeluk sang ayah, erat sekali, seolah mengalirkan segala rasa syukur dan cinta yang tak terkatakan. "Terima kasih, Ayah," bisiknya pelan, suaranya bergetar. "Tanpa Ayah, tanpa perjuangan dan doa Ayah, aku tidak mungkin sampai di sini."
Zulkarnain menepuk pundaknya dengan lembut, air matanya jatuh tanpa dapat ia cegah. "Nak, ini adalah harapan yang ayah panjatkan selama bertahun-tahun. Ingat, segala ilmu yang kamu raih ini adalah amanah Allah. Gunakan untuk kebaikan, berbaktilah untuk agama dan umat, seperti yang selalu Ayahanda Haedar nasihatkan."
Hari itu, di bawah langit yang cerah, ada ikrar tanpa suara yang Ayatullah tanamkan dalam hatinya. Ia berjanji akan menjaga harapan ayahnya, akan menjalankan amanah ilmu ini dengan penuh tanggung jawab, dan akan terus mengabdi dengan sepenuh hati. Di dalam dadanya bersemayam semangat dari setiap tetes keringat ayahnya, dari setiap doa yang dipanjatkan dalam diam, dan dari kasih tulus seorang pemimpin yang selalu ada untuknya.
Tahun-tahun berlalu, Ayatullah Mumtazi kini telah tumbuh menjadi sosok yang berilmu dan dihormati. Dia melanjutkan pengabdian sebagai cendekiawan muda yang berdiri di barisan Muhammadiyah, tempat ia dibesarkan dan dilindungi selama perjalanan panjang pendidikannya. Setiap kali dia mengajar dan berbagi ilmu, dia mengenang pesan Ayahanda Haedar, mengenang suara lembut ayahnya, dan doa yang terus terlantun di malam-malam sunyi.
Kini, setiap keberhasilan yang dia capai adalah buah dari harapan yang dirajut dengan air mata, dari pengorbanan yang tak pernah menuntut imbalan. Di hatinya, selalu ada rasa syukur mendalam untuk dua sosok yang menjadi tiang hidupnya: seorang ayah sederhana yang penuh kasih sayang, dan seorang pemimpin yang dengan tulus memberikan dukungan tanpa batas. Di sanalah, dalam setiap langkahnya, Ayatullah mengenang perjuangan seorang ayah bernama Zulkarnain dan kasih seorang pemimpin bernama Haedar Nashir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H