Mohon tunggu...
Khaznel Khairat
Khaznel Khairat Mohon Tunggu... -

Menulis bagi saya seperti memancing dikolam belakang rumah, saya baru berteriak ketika berhasil mengangkat lele sebesar betis. Atau tidak dapat ikan sama sekali.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Durian Adventures

21 Januari 2011   02:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:20 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oh, mak. Begini, mak. Ada durian yang sudah jatuh, mak?" Tanya Rasa.

"Hey, hey... Sangka aku ada urusan apa kalian kemari. Durian itu belum ada yang masak."

Mereka jadi terlongo, Piak Owe mengakui hal yang paling tak diinginkan. Durian itu akan tetap hanya jadi angan-angan. Perjuangan mereka sudah tak lagi lumrah, malam kelam dengan senter mati berhadapan pula dengan anjing biadab, durian itu tak kunjung nyata di depan mata kepala mereka. Chandik melempar pandangan pada Kian, kekelaman membuat Kian sukses berpura-pura tidak tahu, berkelit untuk memberikan ide. Akhirnya mereka berangkat dari kediaman Piak Owe dengan perasaan seragam. Kecewa berat.

Ternyata perjalanan malam itu telah menjumpai kelarutan, berlikunya medan petualangan membuat semuanya tak terasa. Piak Owe adalah harapan terakhir, dan telah berujung hampa. Petualangan itu berubah gontai, langkah-langkah pun telah menuju pulang dan memberikan nuansa lain. Kekelaman yang merupakan persoalan rentan isu-isu horror, yang dari tadi tak menjadi persoalan mendadak telah menjadi sorotan. Kegamangan terhadap hal mistis mulai menggejala. Jalan yang bakal mereka tempuh penuh cerita-cerita yang mendirikan bulu roma, si wanita kematian anak yang turut menyusul keliang lahat beberapa bulan yang lalu sering terdengar menangis dipersimpangan jalan itu, kata mulut-mulut sensasional gossiper dunia misteri. Mereka mulai bergidik dan tak lagi berani tertawa, suasana mencekam semakin menghujam karena mereka begerak menuju persimpangan itu. Pembicaraan mereka terdengar lebih banyak berbasa-basi karena ketakutan. Pelajaran penting dari orang-orang tua yang berpengalaman, jangan bersikap takabur di tempat-tempat angker. Maka kesopanan dalam berbicara kali ini adalah tawaran, ingin berdamai dengan keangkeran itu agar jangan menampilkan sesuatu yang tak sanggup mereka lihat.

"Hoi, berbaik-baiklah kau disini. Jangan bercarut-carut nggak.." Kata Borut yang mungkin lebih banyak merekam kisah-kisah misteri itu. Ia tak mau berjalan di depan ataupun belakang. Ia mengapitkan diri di tengah.

Langkah-langkah mereka terasa semakin berat, perasaan-perasaan buruk itu tak lagi bisa di tolak menguasai fikiran. Semacam kuntilanak, sijundai, atau cindaku agaknya benar-benar akan menampakkan diri. Bulu kuduk telah berdiri, mereka diterpa keheningan. Mendekati persimpangan itu mereka betul-betul tegang, mawas dan sangat sensitif dengan aksi-aksi yang mungkin dilakukan salah seorang diantara mereka. Sedikit saja indikasi-indikasi langkah seribu nampaknya akan begitu efektif untuk memicu mereka start. Bujang-bujang pengecut terhadap hal yang tak pasti itu makin saling merapatkan diri satu sama lain, dan ada yang telah berpegangan pada baju yang lain. Antisipasi agar jangan sampai tertinggal jika sprint itu benar-benar terjadi.

"Robek baju saya nanti, lepaskanlah ha.." yang berseru itu adalah Kian.

"Ndak den, beko ang lari..." Jawab Rasa.

Dan detik-detik menegangkan itu akhirnya mencapai klimaksnya, karena sesuatu yang hitam memang muncul dari arah samping mereka. Sesuatu yang hitam itu bergerak tenang dan memicu si penakut-penakut tadi untuk segera bergerak cepat tanpa aba-aba sama sekali. Sprint itu terjadi dengan start yang tak terkendali, Rasa mencurangi Kian dengan menariknya kebelakang. Hingga posisi Kian jadi melorot ke posisi buntut. Karena ketakutan akan ancaman horor yang sedang di hindarinya, ia mencoba menoleh kebelakang memastikan dirinya tidak menjadi buronan yang paling mungkin di cakau bayangan hitam itu. Dan itu pulalah yag membuatnya berhenti untuk berlari. Ia menyelesaikan keterengahannya sejenak, hah...hah... dan disambut kelegaan. Dan tertawa ha... ha... Melihat ulah Kian, yang lain pun urung untuk mengejar garis finish yang entah dimana. Turut pula menyadari kekonyolan mereka karena berlari dari hal yang sungguh bodoh untuk di takuti. Bayangan hitam itu ternyata si Anai, laki-laki tenggen yang suka hilir mudik di daerah itu.

"Hoi, senter saya hidup....!" Teriak Rasa disela-sela kelegaan itu.

"Mati sajalah senter jelek kau itu terus, dari tadi tak mau hidup. Sudah begini kita dibuatnya baru dia mau hidup." Sergah Borut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun