Perkawinan yang di lakukan adalah sah. Yang di lakukan dengan ketentuan hukum dan agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Setiap adanya perkawinan di catat menurut peraturan Undang-Undang yang berlaku.
Dari ketentuan di atas dapat di simpulkan bahwasanya setiap adanya perkawinan harus di catatkan menurut perundang-undangan yang berlaku. Yang mana setiap perkawinan harus di catat oleh pegawai pencatatan perkawinan. Adanya pencatatan perkawinan untuk melindungi pasangan yang mana adanya kepastian hukum akan suami/istri tersebut, merupakan bagian integral sah atau tidaknya perkawinan menurut negara. Pencatatan perkawinan juga untuk menjadi kelengkapan data administrasi ketika akan membuat surat akte kelahiran anak dan lain sebagainya. Pencatatan ini di lakukan agar mengetahui akan adanya sebuah perkawinan oleh negara.
Dampak jika perkawinan tidak di catatkan secara sosiologis lebih condong terhadap perempuan karena perempuan bisa di anggap bukan istri sah karena tidak ada rekam jejak administrasi, yang mana hal ini istri bisa saja tidak mendapatkan nafkah, warisan apabila si suami meninggal dunia. Perkawinan ini secara hukum tidak sah karena tidak adanya kepastian hukum. Secara Religius perkawinan ini sah akan tetapi secara yuridis tidak sah karena tidak adanya pasti dalam hukum.
Pendapat Ulama Dan Kompilasi Hukum Islam Atau Biasa Di Sebut Dengan KHI Tentang Perkawinan Wanita Hamil
Pendapat ulama dalam perkawinan wanita hamil menurut imam mahdzab antara lain :
•Hanafi
Islam mempunyai sanksi tegas dalam orang yang melakukan zina, baik itu pria maupun itu seorang wanita. Sanksi tersebut adanya hukuman di dera 100 kali, yang di landaskan dalam Q.S An-Nur ayat 2. Menurut pendapat Hanafi adalah pernikahan tersebut sah apabila yang menikahi wanita hamil tersebut adalah laki-laki yang menghamilinya tetap sah juga bisa bukan laki-laki yang menghamilinya, akan tetapi laki-laki tersebut tidak boleh menyentuh wanita tersebut sampai anak itu telah lahir. Namun abu zusuf dan zafar berpendapat bahwa tidak sah hukumnya apabila wanita hamil menikahi yang bukan menghamilinya karena adanya larangan dalam persetubuhan dan dilarangnya akad dengan wanita hamil tersebut.
•Imam Malik
Menurut imam malik dalam sahnya sebuah perkawinan wanita hamil adalah ketika yang menikahi adalah pria yang menghamilinya sedangkan jika ada pria yang ingin menikahinya tetapi tidak menghamilinya maka perkawinan tersebut tidak sah.
•Imam Syafii
Pendapat imam syafii sama dengan imam hanafi yang memperbolehkannya seorang pria menikahi wanita hamil yang di hamilinya dan seorang pria yang menikahi wanita hamil bukan karena menghamilinya, tetapi karena cinta. Wanita hamil akibat zina tidak mempunyai masa iddah maka di perbolehkannya untuk menikah dan menggaulinya.