Mohon tunggu...
Khasbi Abdul Malik
Khasbi Abdul Malik Mohon Tunggu... Guru - Gabut Kata.

Panikmat Karya dalam Ribuan Tumpukan Kertas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sertifikasi Ulama vs Khatib Jumat

15 Februari 2019   20:56 Diperbarui: 15 Februari 2019   21:03 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nasional.kompas.com

Wacana Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia Lukman Hakim Saifuddin tentang setifikasi ulama menuai beberapa kondisi pro dan kontra dari masyarakat Islam sendiri, tidak terkecuali Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Din Syamsudin memberikan sikap berbeda atas pernyataan ini.

Menurut Din, pernyataan seperti ini adalah suatu kebijakan tidak bijak, karena tidak ada urgensi dan manfaat. Kalau saja Menag menyadari bahwa setiap keputusan akan menimbulkan suatu pro dan kontra, harus berhati-hati menyampaikan pernyataan di tengah hiruk-pikuknya permasalah Umat Islam. Walaupun tujuan yang dicanangkan memang baik tetapi solusi tersebut bukan menjadi "Problem solving."

Di sisi lainjuga menimbulkan permasalah baru di masyarakat bahwa keputusan Menag dinilai ide aneh sebagai upaya pembungkaman ulama. Dengan begitu, kemudian muncul penolakan dari para ulama dan Ormas Islam di berbagai daerah. Karena sertifikasi hanya akan mengekang pendakwah untuk menyampaikan dakwah.

Dalam kontek sertifikasi, Menag menilai perluanya penataan, peraturan, dan pembenahan pembinaan terhadap khutbah-khutbah Jum'at. Karena faktanya di beberapa tempat ditemukan khutbah berupaya untuk saling mencela satu sama lain yang menimbulkan keresahan sebagian umat Islam. Menag berharap dalam hal ini masyarakat tidak salah memahami bahwa pemerintah tidak ingin mengintervensi isi khutbah tetapi ingin ulama menstandarkan minimal kompetensi dimiliki oleh seorang khatib bertujuan agar para ta'mir masjid mampu mempertimbangkan khatib-khoaib yang tidak meresahkan.

Persoalan khutbah Jum'at yang banyak disampaikan adalah lebih cendrung saling menghujat. "Isu ini bukan barang baru, jauh sebelum saya menjadi Menag sudah muncul. Bertolak dari berbagai masukan, karena ini eskalasi intensi atau aktivitas politik makin tinggi, ini kemudian menimbulkan intensi. 

Masukan yang kami terima, banyak yang mengeluh ceramah di masjid saling mencela, menghina, bukan karena kepada umat lain, tetapi kepada sesama umat Islam," ujar Lukman Hakim Saifuddin saat rapat dengan Komisi VIII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (30/1).

Karena itu, objek dituju pada kondisi penceramah saat khutbah Jum'at sebagai titik moderat dalam shalat Jum'at yang berupaya untuk memenuhi syarat sahnya. Sehingga penceramah sudah memiliki standar minimal agar terpenuhi rukun shalat, dan tidak timbul problem. Adapun kaitannya dengan "Ustadz" dan "Mubalig," Lukman menyampaikan belum menjadi titik fokus, hanya pada shalat jum'at saja.

Usaha ini terus dilakukan oleh Menag dalam merumuskan apa kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan sebagai setandar penceramah. Namun pihak Kemenag tidak ingin menjadi lembaga pemberi sertifikat terhadap penceramah tersebut. Pihaknya akan berbicara dengan beberapa pihak dari MUI atau ormas agama gabungan terkait pemberian sertifikasi untuk penceramah.

Jika kembali pada penyampaian Din tadi, permasalahan tersebut tidak diatasi dengan standarisasi atau sertifikasi, tetapi lebih kepada Ta'mir di masjid-masjid agar tidak mengundang penceramah yang cendrung menghujat kemudian para jama'ah disarankan untuk tidak mendengarkan ceramah itu. Pada hakikatnya, penyampaian dalam khutbah- khutbah adalah sebuah ungkapan permasalah yang dialami oleh ulama atau pun umat Islam sebagai pesan agamis. Jadi, apabila seorang penceramah dengan sertifikasi akan membatasi pendakwah keagamaan untuk berdakwah. Apalagi ini menjadi kewajiban individual umat Islam, akan menjadi masalah jika diterapkan.

Selain itu, Din menekankan agar menutup segala celah bagi penceramah yang memiliki unsur hujatan. Pencegahan ini dapat dilakukan oleh Menag kepada para ulama dengan himbauan memberikan ceramah berwatak Islam rahmatan lil'alamin tanpa membatasi mereka menyampaikan pesan agama. Hal ini akan menjauhkan masyarakat kepada hal yang bersifat memprofokasi. 

Untuk itu, wacana pemerintah harus melihat kondisi umat saat ini dengan tidak memojokkan satu dan lainnya, yaitu berusaha mengambil titik tengah dengan bermusyawarah bersama beberapa pihak; seperti MUI dan Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam.

Nasional News Viva melaporkan, terkait sertifikasi ulama ini menjadi perbincangan serius di Kementerian Agama. Seperti MUI Makassar dan Ikatan Masjid Musala Indonesia Mutthahidah (IMMIM) menyatakan mendukung wacana tersebut. 

Sementara Ormas Front Pembela Islam (FPI) cabang Sulawesi Selatan menolak wacana itu. Ketua Dewan Syuro FPI Sulsel, Abu Thoriq, mengungkapkan Ormasnya menolak gagasan tersebut dengan alasan adanya sertifikasi ulama sama saja dengan tidak mempercayai ulama."Bahasanya ini saja dengan pernyataan tidak percaya dengan ulama. Kan ulama kalau membawakan dakwah Jumat berdasarkan ayat-ayat suci Alquran," kata Thoriq, Jumat, (3/2).

Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) IMMIM, Prof Ahmad M Sewang menyatakan mendukung wacana tersebut. Karena dinilai memiliki niat yang baik, tanpa unsur politik. "Jadi begini sertifikasi (ulama) itu mungkin saja bertujuan baik, karena itu bertujuan baik maka kita harus dukung, asal jangan bertujuan politik, itu saja," kata Guru Besar Antropologi Agama, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Kamis, (2/2).

News Liputan6 juga melaporkan, Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDIP yang membidangi sosial dan keagamaan, Samsu Niang mengatakan, dalam rangka untuk pendataan ulama, sertifikasi ulama menurutnya perlu dilakukan. 

Hal ini bertujuan untuk mengetahui kapabilitas, integritas para ulama itu. "Apa bisa menjadi ulama, kiai dalam rangka untuk menyebarkan tausiah (nasihat) di masjid-masjid itu. Itu saja mungkin kepentingan pemerintah," kata Samsu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (6/2).

Laporan tersebut mencerminkan pro dan kontra terkait sertifikasi ulama di kalangan tokoh agama dan politik. Terlihat mereka menyampaikan alasan-alasan tertentu berdasarkan kapabilitas pengetahuan masing-masing. 

Sejauh ini, diberbagai media sosial terus timbul pendapat pro dan kontra yang masih belum mendapat solusi serius dari pemerintah. Sehingga saat ini pernyataan Menag tersebut masih bersifat gantung, belum memiliki kepastian.

Direktur Penerangan Agama Islam, Muchtar Ali menyampaikan, bahwa yang diinginkan bukan standarisasi atau sertifikasi ulama tetapi standarisasi para khatib. Pemerintah dalam hal ini hanya sebagai fasilitator, semua kembali kepada para ulama. Namun pada dasarnya pemerintah diidentikkan mengatur ulama dengan cara memberikan sertifikasi. Walaupun Muchtar menekankan bahwa ini hanya bersifat sukarela. Tetapi, akan muncul perpecahan di kalangan ulama maupun masyarakat antara pro dan kontra.

Untuk itu, sertifikasi ulama ataupun standarisasi para khatib dewasa ini menjadi permasalahan masyarakat yang masih berusaha mencari "Problem Solving" dengan cara bermusyawarah kepada pihak berwenang terkait masalah tersebut. 

Tidak hanya menentukan suatu kebijakan dari laporan sepihak kemudian menetapkannya tanpa melihat dampak dan kondisi umat saat ini. Tugas pemerintah seharusnya lebih bersifat membimbing umat, tidak datang tiba-tiba hanya untuk memberi peraturan dan mengatur masyarakat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun