Mohon tunggu...
Ahmad Khasba
Ahmad Khasba Mohon Tunggu... Buruh - Buruh yang terus menulis

Kegiatan menulis nggak segampang ngegosip, makanya aku menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopi Malu V-60: Cerita di Balik Penilaian

12 Februari 2021   18:22 Diperbarui: 12 Februari 2021   18:27 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Premik: ilustrasi barista tanpa tapi (freepik)

...

Mencoba untuk bangkit, dari bumi kelangit
Meski terasa sulit, dari bumi kelangit
...

Malam temaram, begitulah suasana saat ini. Di bawah suasana yang tidak terdapat bintang-bintang, lirik lagu Bondan Prakoso menggugahku untuk melihat dan belajar satu hal. Sudah sekian jam aku duduk di kedai bersama salah seorang teman. Ia merupakan barista yang jempolan pada masanya. Menurut pengakuannya, "Dunia bisa aku raih dan orang-orang banyak yang berdatangan menemuiku untuk membicarakan sesuatu yang cukup serius". Itu misiku!

Aku bukan tipe orang penikmat kopi sungguhan. Namun, yang ada di pikiranku selalu ingin belajar dan belajar. Aku ingin sekali belajar membuat kopi. Jenis apapun, aku ingin belajar. Aku malu-malu bertanya kepada temanku, "cuy, kalo beli kopi disini, tapi buat sendiri dengan dampingan baristanya boleh nggak si?". Tanyaku penasaran. Temanku menggangguk. Bagiku, itu adalah simbol yang jujur dan meyakinkan.

Aku mulai beranjak dari tempat duduk dan menemui sang barista kedai perjuangan. "mas aku mau V-60 mas, tapi bikin sendiri ya, boleh nggak aku minta diajari?". Pintaku memaksa. Dia terdiam, mungkin perlu jeda untuk mengiyakan permintaanku. Aku yakin sebenarnya dia mau, namun ada kekhawatiran karena aku adalah orang yang baru duduk di kedainya. Dimana-mana orang yang datang hanya menginginkan kopi siap saji. Loh, ini kok malah pengin belajar membuat kopi. Maklum, itu manusiawi. Setiap orang punya sensornya tersendiri terhadap orang yang dijumpai.

Sekitar sepuluh menit aku berdiri menungguku keputusan sang barista. Apakah dia akan mengiyakan, atau justru sebaliknya. dengan pedenya aku mematung sambil melihat jenis-jensi kopi yang dijajakan di depan mesin giling. Aku tidak peduli tentang perasaan dan kekhawatirannya tentang keinginanku. Biarkan dia berpikir sendiri. Aku yakin, setiap orang yang ingin belajar pasti selalu mendapatkan jalan yang tidak disangka-sangka.

Benar saja. "Boleh, sini mas. Mau belajar kopi jenis apa?". Yes, dalam hati aku bergembira ria. Pembelajaran yang tidak pernah diajarkan oleh bangku pendidikan adalah kebahagiaanku tersendiri. "aku mau belajar bikin v-60 mas. Apa yang perlu aku siapkan"? jawabku. Aku pun menyiapkan diri untuk mengambil sebuah gelas yang terlebih dulu perlu diguyur air panas. Katanya, ini berguna untuk menghangatkan gelas. Biasanya pengunjung mengeluhkan kok kopinya udah dingin. Nah, gelas ini disiram untuk mengantisipasi itu. Karena nggak semua penikmat kopi mengetahui dapur seorang barista.

Apalagi jika yang hadir bukan penikmat kopi sesungguhnya, khususnya jenis v-60 ini. Jenis kopi ini mempunyai tahapan yang lebih lama dari pada jenis kopi lainnya. Kita perlu menyiapkan ukuran grinder, kapas, dan alat v-60. Beda dengan tubruk dan jenis kopi lain yang cenderung lebih mudah. Kecenderungan yang dimaksud adalah, karena di v-60 ini kita hanya mengambil ekstrak kopinya. Kopi nggak langsung masuk dalam gelas. Melainkan, kita perlu banyak jeda yang mempengaruhi penurunan suhu saat membuat kopi jenis v-60.

Saat aku tanya, sudah berapa lama menekuni kopi dia menjawab kebingungan. Dalam hati, anjing ini cukup lama nih orang belajar kopi. Sampe ditanya kapan pertama kali belajar atau menyukai kopi pun mengalami kebingungan. Aku kembali melakukan aktivitas membuat kopi. Dalam hati, aku juga ingin mengetahui kehidupan sang barista ini kenapa memilih kopi sebagai jalan pencarian uangnya. Kenapa tali uangnya nggak dari hal lain aja. Aku lihat sudah mainstream kedai kopi di tahun 2021. Apakah semua barista tidak mempunyai kekhawatiran kedainya bangkrut. Entah bagaimana aku malah menjalar kepada kehidupannya.

"Ambil kopi kesukaanmu, maksimal 15 gram untuk v-60". Wuaanjing, aku dikagetkan dengan suara barista. Sebenarnya antara ikhlas dengan tidak ikhlas mungkin mau mengajariku membuat kopi. Yaudahlah aku nurut aja, mungkin ini judulnya orang yang mau belajar. Belajar adalah mau disentak, mau sakit hati, mau di bikin bingung, sampai dibikin nggak percaya diri. Begitulah jalannya lagu Jamrud dalam kehidupan "berakit-rakit kita kehulu. Berenang kita ketepian. Bersakit dahulu, senang pun tak datang. Malah mati kemudian".

Semoga Tuhan tidak memberikan jalan hidupku yang mati karena tidak mendapat kesenangan, amieen. Aku mulai menggiling kopi jenis Kintamani dari Bali. Aku menemukan kelucuan di situ, kirain Kintamani hanya nama anjing khas Bali yang sangat menggemaskan itu. Ternyata Bali juga mempunyai kopi yang sama-sama namanya Kintamani. Yaudah aku giling saja Kintamani ini. Hitung-hitung itu sebagai kegagalanku mendapatkan Kintamani yang berbentuk anjing, hahahaha.

Begitu aku selesei menggiling aku disuruh memastikan suhu air di suhu 90 derajat. Dan ketika mau melanjutkan mengucurkan air aku disuruh memperhatikan jeda selama dua puluh detik setelah kucuran pertama. Gila, ini sesuatu yang gila. Ternyata buat kopi nggak semudah yang aku bayangkan. Sampai-sampai ada jenis khusus yang disiapkan untuk membuat kopi jenis v-60. Peralatannya sangat sederhana namun rumit kesannya. Ya, gimana tidak. Di situ ada kapas, ada corong sama tabung di bawah untuk menampung air. Dimana, itu adalah pengalaman baru dalam pembuatan kopi.

Seumur-umur aku nggak pernah bikin kopi serumit ini. Bikin kopi ya tinggal bikin, nggak usah repot-repot. Biasanya, untuk membuat kopi aku hanya perlu memasak air panas di dapur. Nyobek kopi dari plastik, meletakannya ke gelas, ambil gula, masukin air deh. Gampang dan rasanya enak. Ya, walaupun mungkin hanya enak di kepalaku. Pengalaman baru ini sangat membuatku tercengang dengan serat berat alat-alat produksinya,

"Mas, jangan langsung di masukin ke gelas. Kamu goyang-goyang dulu". Kata sang barista. Astagaaaa, buat kopi tuh ya. Batinku. Aku hanya mengetahui kopi jadi mungkin. Pada awalnya, memang ini sesuatu yang baru. Pembelajaran yang belum pernah aku alami. Aku nurut saja, aku goyang di depan sang barista. Alih-alih malah aku diketawain. Dia cekikikan di depanku, aku berhenti bergoyang saat itu. Ya gimana, katanya disuruh goyang malah sekarang diketawain.

"Maksudnya digoyang-goyang tuh bukan mas nya goyang. Yang digoyangin tuh tabung kopinya. Gini mas, kalo bikin v-60 emang perlu digoyangin untuk meratakan tekstur air. Karena, air yang terakhir menetes biasanya belum tercampur dengan air perasan kopi yang lebih dulu menetes. Maksudnya digoyang, biar merata dan rasanya di setiap tegukan sama". Aku mengiyakan dengan ketidaktahuanku.

"Sekarang mas boleh masukin kopi kegelas, sudah rata kalo sekarang", sambung sang barista. Aku iyakan saja dengan sisa-sisa maluku di ruang produksi kedai. "mas aku langsung bawa ya", timpalku. Aku langsung membawa saja kopi hasil seduhan sendiri. Aku membanya di meja dudukku. Di bawah terminal listrik disamping gitar yang tergeletak. Di situlah aku melanjutkan berdamai dengan rasa maluku.

"Pak Ling, ini hasil seduhan kopiku. Kalau kamu bilang gaenak, aku guyur kamu", sahutku terhadap salah seorang teman. Dia pun tertawa terpingkal-pingkal. Aku tahu, pengalamannya di masa lalu juga menekuni dunia perkopian. Pak Ling pernah menjadi barista di beberapa kedai yang berkembang di Kota Cirebon. Cuman, saat ini ia lagi kembali dengan passion hidupnya di dunia design.

Aku keinget hal itu. Sehingga aku pun menunggu komentarnya setelah dia berhasil menyeruput kopi malu v-60. Aku namai saja kopi itu dengan tambahan kata malu. Karena proses pembuatannya melawan banyak rasa malu atas ketidaktahuan dan pengalamanku tentang kopi yang minim. Aku harap-harap cemas menunggu komentarnya. Kira-kira apa ya komentarnya mengenai kopi hasil seduhanku? Kopi malu v-60. Aku lihat-lihat selama sepuluh detik kok nggak kunjung memberikan komentar. Dia menyeruput lagi sebanyak lima kali dalam sepuluh detik. "faaak, gimana komentarnya?". Tanyaku ketus.

"Rasanya enak, tone-nya ketemu. Kopi ini jika diminum oleh penikmat kopi pemula sudah pas". Timpalnya. "Wuashhuuu". Sahutku. Yang benar saja kalo kopi seduhanku pas, wong ketika membuatnya banyak hal yang nggak aku tahu. Aku sama sekali tidak mengetahui dunia perkopian. Lalu, sekarang mantan barista itu bilang pas. Bagaimana aku bisa percaya?

"laah, kok wuashuu". Timpal balik temanku. "ya serius, tadi waktu diajarin bagaimana prosesnya?". "Ini sudah pas, medium. Nggak terlalu soft juga nggak terlalu tinggi", sambungnya. Aku makin heran dan binging, eh bingung. Ya gimana nggak bingung, aku adalah anak muda ganteng yang jauh dari paparan dunia kopi. Dari proses belajar dan meminta penilaian, aku merasa banyak ketimpangan.

Pertama, aku nggak tahu soal kopi. Saat bikin cukup malu dan dipermalukan. Saat bikin cukup bingung dan banyak bertanya. Sampe-sampe sang barista terlihat kesel mukanya. "sudah malam, malahan kedatangan konsumen model begini". Kira-kira begitulah kalo mau jujur dan berani mengungkapkan di depan mukaku. Lalu, si asu ini, temanku (mantan barista gemilang pada masanya) menilai bahwa, jika penilaian menggunakan angka satu sampai empat, nilai kopimu ini tiga.

Kau percaya apa yang di katakan mantan barista ini?

Aku sih nggak. Mungkin dia menjawab begitu hanya karena di awal sudah di lempar ancaman. "kalau ngomong kopi buatanku nggak enak, maka akan aku banjur mukamu", masih ingatkah dengan pernyataanku yang satu ini pembaca yang budiman? Ya begitulah. Aku skeptis dengan penilannya. Namun, satu hal yang nggak bisa aku pungkiri adalah soal ketelitian dan melatih jiwa untuk mengelola emosi.

Bagiku, pekerjaan sebagai barista bukan hanya menyeduh kopi untuk para penikmatnya. Menyeduh kopi untuk menghasilkan unga, eh uang maksudnya. Bukan itu, itu mah sudah menjadi kewajiban setiap manusia untuk bertahan hidup. Aku pun nggak tertarik masuk di wilayah itu. Hal yang bisa aku petik untuk hidup di masa depan adalah soal manajemen emosi. Bagaimana terus menjadi yang terbaik di tengah kabar buruk tentang diri kita. Seperti sang barista yang dibilang, bikin kopi kaya gitu aja lama. Bisa nggak sih bikin kopi. Dengan ketelitian dan manajemen emosi yang terus dilatih, di situlah diri barista yang sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun