Seumur-umur aku nggak pernah bikin kopi serumit ini. Bikin kopi ya tinggal bikin, nggak usah repot-repot. Biasanya, untuk membuat kopi aku hanya perlu memasak air panas di dapur. Nyobek kopi dari plastik, meletakannya ke gelas, ambil gula, masukin air deh. Gampang dan rasanya enak. Ya, walaupun mungkin hanya enak di kepalaku. Pengalaman baru ini sangat membuatku tercengang dengan serat berat alat-alat produksinya,
"Mas, jangan langsung di masukin ke gelas. Kamu goyang-goyang dulu". Kata sang barista. Astagaaaa, buat kopi tuh ya. Batinku. Aku hanya mengetahui kopi jadi mungkin. Pada awalnya, memang ini sesuatu yang baru. Pembelajaran yang belum pernah aku alami. Aku nurut saja, aku goyang di depan sang barista. Alih-alih malah aku diketawain. Dia cekikikan di depanku, aku berhenti bergoyang saat itu. Ya gimana, katanya disuruh goyang malah sekarang diketawain.
"Maksudnya digoyang-goyang tuh bukan mas nya goyang. Yang digoyangin tuh tabung kopinya. Gini mas, kalo bikin v-60 emang perlu digoyangin untuk meratakan tekstur air. Karena, air yang terakhir menetes biasanya belum tercampur dengan air perasan kopi yang lebih dulu menetes. Maksudnya digoyang, biar merata dan rasanya di setiap tegukan sama". Aku mengiyakan dengan ketidaktahuanku.
"Sekarang mas boleh masukin kopi kegelas, sudah rata kalo sekarang", sambung sang barista. Aku iyakan saja dengan sisa-sisa maluku di ruang produksi kedai. "mas aku langsung bawa ya", timpalku. Aku langsung membawa saja kopi hasil seduhan sendiri. Aku membanya di meja dudukku. Di bawah terminal listrik disamping gitar yang tergeletak. Di situlah aku melanjutkan berdamai dengan rasa maluku.
"Pak Ling, ini hasil seduhan kopiku. Kalau kamu bilang gaenak, aku guyur kamu", sahutku terhadap salah seorang teman. Dia pun tertawa terpingkal-pingkal. Aku tahu, pengalamannya di masa lalu juga menekuni dunia perkopian. Pak Ling pernah menjadi barista di beberapa kedai yang berkembang di Kota Cirebon. Cuman, saat ini ia lagi kembali dengan passion hidupnya di dunia design.
Aku keinget hal itu. Sehingga aku pun menunggu komentarnya setelah dia berhasil menyeruput kopi malu v-60. Aku namai saja kopi itu dengan tambahan kata malu. Karena proses pembuatannya melawan banyak rasa malu atas ketidaktahuan dan pengalamanku tentang kopi yang minim. Aku harap-harap cemas menunggu komentarnya. Kira-kira apa ya komentarnya mengenai kopi hasil seduhanku? Kopi malu v-60. Aku lihat-lihat selama sepuluh detik kok nggak kunjung memberikan komentar. Dia menyeruput lagi sebanyak lima kali dalam sepuluh detik. "faaak, gimana komentarnya?". Tanyaku ketus.
"Rasanya enak, tone-nya ketemu. Kopi ini jika diminum oleh penikmat kopi pemula sudah pas". Timpalnya. "Wuashhuuu". Sahutku. Yang benar saja kalo kopi seduhanku pas, wong ketika membuatnya banyak hal yang nggak aku tahu. Aku sama sekali tidak mengetahui dunia perkopian. Lalu, sekarang mantan barista itu bilang pas. Bagaimana aku bisa percaya?
"laah, kok wuashuu". Timpal balik temanku. "ya serius, tadi waktu diajarin bagaimana prosesnya?". "Ini sudah pas, medium. Nggak terlalu soft juga nggak terlalu tinggi", sambungnya. Aku makin heran dan binging, eh bingung. Ya gimana nggak bingung, aku adalah anak muda ganteng yang jauh dari paparan dunia kopi. Dari proses belajar dan meminta penilaian, aku merasa banyak ketimpangan.
Pertama, aku nggak tahu soal kopi. Saat bikin cukup malu dan dipermalukan. Saat bikin cukup bingung dan banyak bertanya. Sampe-sampe sang barista terlihat kesel mukanya. "sudah malam, malahan kedatangan konsumen model begini". Kira-kira begitulah kalo mau jujur dan berani mengungkapkan di depan mukaku. Lalu, si asu ini, temanku (mantan barista gemilang pada masanya) menilai bahwa, jika penilaian menggunakan angka satu sampai empat, nilai kopimu ini tiga.
Kau percaya apa yang di katakan mantan barista ini?
Aku sih nggak. Mungkin dia menjawab begitu hanya karena di awal sudah di lempar ancaman. "kalau ngomong kopi buatanku nggak enak, maka akan aku banjur mukamu", masih ingatkah dengan pernyataanku yang satu ini pembaca yang budiman? Ya begitulah. Aku skeptis dengan penilannya. Namun, satu hal yang nggak bisa aku pungkiri adalah soal ketelitian dan melatih jiwa untuk mengelola emosi.