[caption caption="Film "Siti"di Vienna Film Festival 2015| Ilustrasi: http://www.viennale.at/"][/caption]
Setelah sekian lama tidak menyaksikan film Indonesia, kemarin sore saya berkesempatan menonton sebuah film berjudul Siti di layar lebar. Kebetulan film besutan sutradara Eddie Cahyono produksi tahun 2014 ini diputar di ajang Viennale atau Vienna International Film Festival. Siti menjadi satu-satunya film karya sutradara Indonesia yang diikutkan dalam festival film tahunan di ibukota Austria ini. Oleh karenanya kesempatan menonton film ini sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Saat film mulai diputar, di layar terpampang adegan dalam format hitam putih. Saya berpikir format hitam putih hanya digunakan sebagai pembuka, untuk menambah kesan flashback yang kuat pada adegan yang menggambarkan masa lalu Siti sang tokoh utama. Berikutnya saya dengar dialog pembuka dalam bahasa Jawa. Lagi-lagi saya menduga penggunaan bahasa Jawa ini hanya sementara. Hanya untuk menegaskan setting film di pesisir selatan Yogyakarta.
Ternyata dugaan saya keliru. Format hitam putih dipakai di sepanjang film, menguatkan nuansa pahit getir kehidupan yang dijadikan tema utama film Siti. Hampir seluruh dialog juga diucapkan dalam bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa ini membuat suasana terbangun begitu sempurna, menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Karena kebetulan berasal dari Jawa Tengah, saya tidak perlu melihat subtitle bahasa Inggris di layar untuk menghayati dialog di sepanjang film. Sementara tiga teman yang kebetulan lahir dan besar di Jakarta harus melihat subtitle agar bisa memahami dialog dengan sempurna.
Cerita film Siti menggambarkan secara lugas fenomena yang banyak dijumpai di kalangan bawah. Kali ini yang dimunculkan adalah kegetiran hidup sebuah keluarga nelayan. Bagus - suami Siti - mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan saat melaut. Tidak hanya itu, kapal yang dibeli dengan uang pinjaman karam dalam kecelakaan itu. Akibatnya Siti harus berjuang mati-matian untuk melunasi pinjaman serta menghidupi Bagas, anak mereka satu-satunya yang duduk di bangku SD.
Penghasilan dari berjualan kerupuk jingking di pantai Parangtritis yang tidak seberapa membuat Siti harus mencari pekerjaan lain. Tidak tamat SMA, Siti tidak memiliki banyak pilihan. Bahkan mungkin tidak memiliki pilihan. Tuntutan hidup membuat Siti terpaksa bekerja sebagai pemandu lagu di warung karaoke remang-remang tidak jauh dari rumahnya. Sejak Siti bekerja sebagai pemandu lagu, Bagus suaminya tidak mau lagi berbicara dengan Siti.
Inti dari film ini adalah konflik batin Siti. Pada satu sisi dia masih mencintai suaminya Bagus yang saat ini hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur. Namun di sisi lain di harus mencari uang untuk menyambung hidup dan melunasi hutang. Kemudian juga muncul tokoh Gatot - seorang bintara polisi yang jatuh hati dan mengajak Siti menikah. Meski sebenarnya kehadiran dan peran Gatot di film ini patut dipertanyakan. Jika memang dia mencintai Siti, kenapa dia - misalnya - tidak mengingatkannya untuk berhenti mencari nafkah di 'kehidupan malam'. Kelihatannya sutradara perlu menambah tokoh untuk meningkatkan kerumitan konflik batin Siti.
Cerita berakhir dengan keberhasilan Siti mengumpulkan uang lima juta rupiah untuk membayar hutang. Gatot - sang polisi yang baik hati - memberi Siti uang. Juga pemilik warung karaoke yang setelah berdemonstrasi ke Polsek diizinkan lagi untuk membuka usahanya.
Pulang dalam keadaan mabuk dan sakit perut, Siti berkata kepada Bagus bahwa ada lelaki bernama Gatot yang mengajaknya menikah. Siti minta pendapat Bagus. Menjawab pertanyaan Siti, Bagus membuka suara - untuk pertama kalinya di sepanjang film - dan dengan nada getir mengizinkan Siti pergi. Mungkin karena kecewa mendengar jawaban tersebut, Siti meraung - maaf - "Asuuuu..." Dalam subtitle bahasa Inggris raungan Siti diterjemahkan sebagai - sekali lagi maaf - asshole.
Tertatih-tatih sambil menahan sakit di perut Siti mengambil uang dari lemari dan menyerahkan kepada ibu mertuanya. "Nggo mbayar kapal, Mbok". Dia membangunkan Bagas anak satu-satunya namun Bagas menolak dengan alasan mau tidur karena besok harus ke sekolah. Siti keluar dari rumah di pagi buta. Sang ibu mertua tak kuasa menahannya.
Saya lihat penonton - meski jumlahnya tidak begitu banyak - tidak ada yang beranjak dari kursi selama film diputar. Mereka tampak menikmati adegan demi adegan dalam film yang mengalir dan tidak membosankan. Sutradara patut diacungi jempol karena berhasil membangun cerita yang padat, tanpa dialog yang bertele-tele. Sutradara juga membuka mata penonton dan menunjukkan sisi lain dari kehidupan sehari-hari di Indonesia. Getir namun artistik. Sangat pantas jika film ini meraih penghargaan di festival film Hamburg (2015), Taipei (2015), dan Singapura (2014).
Saat beranjak dari kursi, saya menduga para penonton keluar bioskop sambil bertanya-tanya bagaimana nasib Siti selanjutnya. Film ditutup dengan adegan Siti yang dengan tertatih-tatih berhasil mencapai garis pantai. Apakah Siti akan melompat ke laut? Apakah sakit perutnya serius? Apakah sakit perut itu disebabkan oleh minuman keras oplosan yang ditenggaknya di tempat karaoke? Atau ibu mertuanya meminta bantuan para tetangga untuk mengejar Siti? Semua hanya bisa menduga dan menerka.
Siti adalah kisah hidup yang getir namun nyata dan masih banyak dijumpai di Indonesia. Siti adalah potret perempuan marjinal yang dipaksa oleh keadaan menjadi ujung tombak ekonomi keluarga. Dia harus bekerja meski batinnya menjerit karena menjadi pemandu lagu tidaklah sejalan dengan nuraninya.
Saya tidak tahu apa yang muncul di benak penonton Austria saat mereka menyaksikan rumah beralas tanah dan berdinding bambu tempat tinggal keluarga Siti. Juga peralatan rumah tangga yang begitu minim dan orang sakit yang terbaring di tempat tidur tanpa jaminan kesehatan. Bagi mereka yang hidup di negara maju dengan sistem jaminan sosial dan kesehatan yang tertata rapi, kehidupan yang dialami Siti mungkin dianggap sebagai dongeng. Padahal banyak Siti-Siti lain - bahkan dengan kondisi yang jauh lebih memprihatinkan - yang ada di Indonesia.
Angin dingin musim gugur senja itu segera menyambut saya saya keluar dari bioskop. Sepanjang perjalanan pulang saya terus berusaha menduga akhir kisah Siti. Saya berharap Bagus suaminya sembuh dan bisa kembali bekerja sebagai nelayan, Siti tidak lagi menjadi pemandu lagu, dan Bagas bisa lebih berkonsentrasi dalam belajar untuk mewujudkan cita-citanya sebagai pilot.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H