Mohon tunggu...
Khasan Ashari
Khasan Ashari Mohon Tunggu... Diplomat - Liverpool FC | ASN | Penulis

Penulis buku "Pernah Singgah: Inspirasi dari Perjalanan Keliling Eropa" (Elex Media Komputindo, 2019)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Nonton 'Siti' di Vienna Film Festival

3 November 2015   05:31 Diperbarui: 3 November 2015   09:20 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya lihat penonton - meski jumlahnya tidak begitu banyak - tidak ada yang beranjak dari kursi selama film diputar. Mereka tampak menikmati adegan demi adegan dalam film yang mengalir dan tidak membosankan. Sutradara patut diacungi jempol karena berhasil membangun cerita yang padat, tanpa dialog yang bertele-tele. Sutradara juga membuka mata penonton dan menunjukkan sisi lain dari kehidupan sehari-hari di Indonesia. Getir namun artistik. Sangat pantas jika film ini meraih penghargaan di festival film Hamburg (2015), Taipei (2015), dan Singapura (2014).

Saat beranjak dari kursi, saya menduga para penonton keluar bioskop sambil bertanya-tanya bagaimana nasib Siti selanjutnya. Film ditutup dengan adegan Siti yang dengan tertatih-tatih berhasil mencapai garis pantai. Apakah Siti akan melompat ke laut? Apakah sakit perutnya serius? Apakah sakit perut itu disebabkan oleh minuman keras oplosan yang ditenggaknya di tempat karaoke? Atau ibu mertuanya meminta bantuan para tetangga untuk mengejar Siti? Semua hanya bisa menduga dan menerka.

Siti adalah kisah hidup yang getir namun nyata dan masih banyak dijumpai di Indonesia. Siti adalah potret perempuan marjinal yang dipaksa oleh keadaan menjadi ujung tombak ekonomi keluarga. Dia harus bekerja meski batinnya menjerit karena menjadi pemandu lagu tidaklah sejalan dengan nuraninya.

Saya tidak tahu apa yang muncul di benak penonton Austria saat mereka menyaksikan rumah beralas tanah dan berdinding bambu tempat tinggal keluarga Siti. Juga peralatan rumah tangga yang begitu minim dan orang sakit yang terbaring di tempat tidur tanpa jaminan kesehatan. Bagi mereka yang hidup di negara maju dengan sistem jaminan sosial dan kesehatan yang tertata rapi, kehidupan yang dialami Siti mungkin dianggap sebagai dongeng. Padahal banyak Siti-Siti lain - bahkan dengan kondisi yang jauh lebih memprihatinkan - yang ada di Indonesia.

Angin dingin musim gugur senja itu segera menyambut saya saya keluar dari bioskop. Sepanjang perjalanan pulang saya terus berusaha menduga akhir kisah Siti. Saya berharap Bagus suaminya sembuh dan bisa kembali bekerja sebagai nelayan, Siti tidak lagi menjadi pemandu lagu, dan Bagas bisa lebih berkonsentrasi dalam belajar untuk mewujudkan cita-citanya sebagai pilot.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun