Mohon tunggu...
Kharis Matul Aziziah
Kharis Matul Aziziah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Jember

La Tahzan Innallaha Ma'ana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Tata Negara Darurat Perspektif Jimly Ashiddiqie Dikaitkan dengan Kebijakan Pemerintah dalam Menangani Covid-19

17 Oktober 2021   16:35 Diperbarui: 17 Oktober 2021   16:37 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakatuh

Semoga kita senantiasa diberi kesehatan dan keselamatan oleh Allah SWT. Dan menjadikan kita sebagai manusia yang bermanfaat dan saling membantu sesama.     

Seperti yang kita ketahui bersama, mulai awal tahun 2020, Indonesia tengah menghadapi pandemi Covid-19 yang sudah ada sejak akhir tahun 2019 dan masuk ke Indonesia sekitar bulan Maret 2020. 

Banyak korban yang meninggal mulai dari anak-anak hingga lansia tak terkecuali pula tenaga medis. Maka dari itu, pemerintah menerapkan beberapa kebijakan misalnya, dengan wajib menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan (protokol kesehatan) dan menerapkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), kemudian ada kegiatan mulai dari sekolah, perkuliahan, pekerjaan yang dilaksanakan dengan daring (online) guna mengurangi dan memutus penyebaran Covid-19 yang ada di Indonesia.

Dalam menghadapi situasi atau keadaan pandemi, ini bisa dibilang sebagai keadaan darurat dan jika dikaitkan dengan pembahasan kita yaitu hukum tata negara darurat.

Jika dilihat dari segi hukum, beberapa negara dihadapkan pada kegamangan dalam memilih instrument hukum yang akan dipakai untuk menetapkan berbagai kebijakan untuk penanganan Covid-19.

Sebelum lanjut, kita mengenal dulu apa yang dimaksud dengan Covid-19 (Corona Virus Disease)? Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. 

Virus ini utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar dan unta. Sebelum terjadinya wabah COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat menginfeksi manusia, yaitu alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus NL63, betacoronavirus OC43,betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory Illness Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV). Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus betacoronavirus.

Di Indonesia, sejak ada kasus Covid-19 pertama kali diberitakan, seenggaknya perlu waktu kurang lebih satu bulan sampai akhirnya pemerintah dalam hal ini Presiden memutuskan untuk membuat atau menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 menegani Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease (Covid-19), dan menggunakan kewenangan konstitusionalnya berdasarkan Pasal 22 D UUD 1945 untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Perppu 1 Tahun 2020). 

Tidak berhenti sampai disitu, satu bulan kemudian Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nom-alam Penyebaran Covid-19 Sebagai Bencana Nasional.

Lalu apa yang dimaksud dengan Hukum Tata Negara Darurat? Jika kita melihat dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), memaknai darurat sebagai keadaan atau kondisi sukar (sulit) yang tidak dapat diduga kehadirannya  yang memerkukan  penanganan cepat; keadaan terpaksa; dan keadaan sementara. Misalnya contoh dalam status darurat pemerintah harus mengambil langkah cepat dan tepat dalam mengatasi situasi darurat. Seperti yang kita ketahui bersama, suatu kehidupan tidak selamanya berjalan mulus tanpa rintangan, terkadang ada kendala atau keadaan yang mana tidak pernah kita duga sebelumnya, seperti perjalanan kehidupan negara tidak seterusnya berjalan normal. 

Terkadang negara terbentur dengan situasi yang membahayakan atau darurat. Layaknya seseorang jika dihadapkan dengan situasi bahaya, begitu juga dengan negara, negara akan memakai haknya untuk membela diri, yaitu dengan cara menetapkan Hukum Tata Negara Darurat (staatsnoodrecht). Dengan demikian, dalam praktik ketatanegaraan menurut Jimly Asshidiqqie dikenal dua keadaan negara, yaitu negara dalam keadaan normal (ordinay condtion) dan negara dalam keadaan keadaan darurat (state of emergency). Namun dalam pembahasan ini kita akan membahas negara dalam keadaan darurat.

Klausul  konstitusional  mengenai HTN  Darurat  tercantum di  Pasal  12  UUD  1945.  Pasal ini dianggap sebagai bentuk pengecualian konstitusional dalam kondisi keadaan  bahaya atau state of emergency. Pasal 12 UUD  1945 menyatakan "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-undang."  Klausul  ini  memberikan  kewenangan  bagi  Presiden  untuk menetapkan keadaan bahaya atau state of emergency sebagai kepala negara. Sehingga memberikan kekuasaan bagi Presiden Indonesia untuk melakukan penyimpangan hukum dalam kondisi kedaruratan secara konstitusional.

Praktik hukum tata negara dalam kondisi darurat tersebut dikenal sebagai Hukum Tata Negara Darurat (HTN Darurat).   Jimly Asshiddiqie berpendapat mengenai istilah Hukum Tata Negara Darurat  sebagai  keadaan  bahaya  yang  tiba-tiba  mengancam  ketertiban  umum,  yang  menuntut  negara  untuk  bertindak  dengan  cara- cara  yang  tidak  lazim  menurut  aturan  hukum  yang  biasa  berlaku  dalam  keadaan normal. Di   Indonesia, terkait kondisi darurat bisa dilihat di beberapa Konstitusi yang pernah   berlaku, seperti dalam  Konstitusi  RIS  1949 dan  UUDS  1950.  

Dalam  Undang-Undang Dasar 1945 pengaturan keadaan darurat diatur  dalam  dua  pasal  yakni  dalam  Pasal 12 UUD 1945 dan Pasal 22  UUD 1945. Dari dua ketentuan  pasal  tersebut  perlu kita ketahui terdapat dua terminologi yang dipakai untuk mengartikan suatu kondisi atau keadaan darurat, yakni dalam pasal 12 UUD 1945 mengartikan dalam "keadaan  bahaya"  dan dalam pasal 22 UUD 1945 mengartikan dalam "hal ihwal kegentingan yang memaksa".

Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie istilah hal ihwal kegentingan yang memaksa dalam Pasal  22 UUD 1945 memiliki  cakupan arti yang luas,  tidak  selalu sama  dengan  keadaan bahaya  (Dalam Pasal  12  UUD  1945).  

Hal ini diartikan juga oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam Putusan MK No. 003/PUU-III/2005 bahwa hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak harus disamakan dengan keadaan bahaya. 

Gabungan dari kata "kegentingan yang memaksa" merupakan domain subjektifitas Presiden untuk menentukannya yang kemudian akan menjadi keadaan objektif ketika Perppu oleh DPR  disetujui  dan  menjadi  Undang-Undang. Maka dari itu, menurut pendapat  Jimly  Asshiddiqie setidaknya terdapat dua model Perppu yaitu

1.         Perpu yang dibentuk dalam keadaan mendesak  tetapi  dalam  keadaan  normal

2.         Perppu yang dibentuk memang ketika negara sudah secara resmi memberlakukan keadaan darurat.

Pembentuk UU tidak bisa memprediksi suatu undang- undang  yang  sedang  dibentuk  akan  dapat menyelesaikan  masalah  di  kemudian  hari. Begitu juga datangnya suatu kondisi yang mengancam kehidupan bernegara, niscaya  tidak  dapat prediksi  kapan  datang dan berakhirnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, biasanya negara menyiapkan berbagai instrumen hukum yang memang disiapkan untuk menghadapi hal tersebut. Pengaturan tersebut dibuat baik dalam konstitusinya maupun dalam undang-undang biasa

Seperti halnya di Indonesia, pemerintah menerapkan kebijakan PPKM hingga Level 4 untuk mengatasi penyebaran Covid-19 dan untuk meminimalisir penularan Covid-19. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan masyarakat Indonesia bisa mematuhi dan menaati kebijakan pemerintah serta menerapkan protokol kesehatan. Tom Ginsburg dan Mila Versteeg,  berpendapat bahwa secara  umum  ada  tiga  cara yang  dilakukan oleh negara-negara di dunia dalam menangani krisis Covid-19 yaitu dengan cara

  • Deklarasi keadaan darurat di bawah konstitusi
  • Penggunaan undang-undang darurat baru yang ada yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat atau bencana nasional
  • Pengesahan undang-undang darurat baru.

Dari alternatif   di  atas, bila dikaitkan    dengan    kebijakan    hukum penanganan Covid-19 di Indonesia, diketahui  bahwa  pemerintah  memilih  untuk menggunakan  undang-undang  biasa  dalam memerangi pandemi Covid-19 yakni UU Nomor 6 Tahun 2018 dan UU Nomor 24 Tahun 2007.  

Kebijakan  tersebut  tercermin  dengan ditetapkannya status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui Keppres Nomor 11 Tahun 2020 dan Darurat Bencana Non-Alam melalui Keppres Nomor 12 Tahun 2020. Selain  memakai  UU yang berlaku, pemerintah mengeluarkan pula instrumen  hukum  baru  dengan  menerbitkan Perppu   1   Tahun   2020  untuk memenuhi kebutuhan hukum selama penanganan Covid-19.  

Semoga tulisan penulis ini bermanfaat dan bisa menambah wawasan, tak lupa penulis meminta maaf jika dalam tulisan ini penulis kurang lengkap dan pemakaian bahasa yang kurang baku. 

Mohon untuk membaca tulisan dari awal sampai akhir agar tidak terjadi kesalahfahman. Penulis membutuhkan kritik dan saran dari pembaca agar selanjutnya penulis bisa memperbaiki kesalahan. Terimakasih atas kesediannya untuk membaca tulisan ini. Jangan lupa jaga kesehatan dan patuhi protokol kesehatan. Semoga kita semua diberi ilmu yang berkah dan bermanfaat. Semoga Pandemi segera berakhir. Aamiin

Salam Penulis: Kharis Matul Aziziah dari Mahasiswa UIN K.H. Achmad Shiddiq Jember

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Daftar Referensi:

  • Undang -- Undang Dasar 1945 Pasal 12 dan 22
  • Adityo Susilo dkk, Tinjauan Pustaka Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini
  • "Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)," n.d., https://kbbi.web.id/darurat
  • Rizki   Bagus Prasetio, "PANDEMI COVID-19: PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA  DARURAT DAN PERLINDUNGAN HAM", JIKH Vol.15 No.2 (Juli, 2021)
  • Shofia Trianing Indarti, "KEBIJAKAN KIMIGRASIAN DI MASA COVID-19 : DALAM PRESPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (Immigration Policy During Covid-19  : Human Rights Prespective)", Jurnal HAM 12 (2021).
  • Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: Raja Grafindo, 2007).
  • Dikenal  juga  istilah  "State  of  Emergency",  "State  of  Civil  Emergency",  "State  of  Siege", "State  of  Exception  (etat  d'exception)" di  negara-negara  lain  yang  menunjukkan  terjadinya  keadaan  bahaya baik bahaya darurat militer maupun bahaya darurat sipil. 
  • Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000)
  • Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945
  • Herman Sihombing, "Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia", (Jakarta: Djambatan, 1996)
  • Aida Mardatillah, "Pandangan Jimly Terkait Perppu Penanganan Covid-19," Hukum Online, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5eaf518c0f3c3/pandangan-jimly-terkait-perppu-penanganan-covid-19

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun