" Rian tunggu aku ishhh, kamu tuh jalan jangan cepet-cepet kenapa. Nanti kalau aku jatuh ke sawah gimana, kamu mau tanggung jawab, " ujar aku dengan kesal.
" Ya makanya, kalau jalan itu jangan lama kaya siput. Mau sampe kapan jalan di tengah sawah gini, ga takut apa nanti ada uler sawah lewat, " jawab Rian sambil menggandeng tanganku.
" Ishhh, ya tapi jangan cepet-cepet bisa kepleset aku nanti. Ini kan tanah nya licin karena semalem hujan, " ujar aku.
" Iya-iya, ini aku jalannya pelan-pelan. Udah, kamu jangan banyak ngomong pusing aku dengernya, " ujar Rian dengan tangan yang masih menggandengku agar aku tidak kepleset.
Kami pun terus berjalan membelah hamparan hijau nya sawah, dibawah mentari senja. Hingga sampailah kami di rumah panggung dengan cat berwarna pink berpadu dengan putih. Rumah panggung kayu inilah saksi pertemuan awal aku dengan Rian. Rumah ini pula tempat masa kecil kakek ku tinggal dahulu. Sudah sangat tua namun tetap berdiri dengan kokoh hingga sekarang.
" Nahhh, sudah sampai. Sana kamu masuk, udah sore besok pagi aku jemput lagi kamu buat nemenin keliling kampung lagi, " ujar Rian, sambil menuntun aku menaiki tangga rumah.
" Besok aku udah pulang ke Jakarta, Ian. Jadi besok pagi kamu ke sini aja buat aku pamit sebelum pulang ke Jakarta, " ujar ku sambil menaiki tangga rumah.
" Besok kamu udah pulang ke Jakarta? Kok cepet banget sih balik nya?, " Tanya Rian dengan heran.
" Iya, besok aku udah pulang ke Jakarta. Karna hari Senin aku udah mulai sekolah lagi, " Â jawab ku.
Aku melepas sandal dan menaruh nya di rak, lalu aku berbalik badan menghadap Rian yang masih berdiri dekat pagar pembatas.
" Ayo masuk dulu, nanti aku ceritain, " ujar ku sambil menarik tangan nya agar masuk ke dalam rumah.
" Assalamualaikum, " ujar ku dan Rian.
" Waalaikumsalam, " jawab nenek. " Sudah puas keliling kampung nya?, ".
            Aku dan Rian pun salim kepada nenek, lalu duduk di sofa dekat nenek berdiri. Sungguh melelehkan hari ini, aku menghabiskan waktu dari pagi hingga petang untuk berjalan-jalan berkeliling kampung dengan pemandu nya adalah Rian. Entahlah aku senang saja berkeliling kampung, karna suasana disini yang sangat asri dan sejuk. Di sana air sungai pun masih sangat bersih, tidak ada sampah mengapung atau menumpuk. Jalanan disini pun masih berbatu dan tanah, jalanan di aspal hanya sampai gapura pintu masuk kampung.
" Sudah nenek, " Jawab ku. " besok kita jadi pulang ke Jakarta?, " Tanya ku pada nenek.
" Ya jadilah, senin kan kamu sudah harus mulai sekolah lagi, " ujar nenek sambil duduk mendekat dengan ku.
" Jadi, kamu kesini lagi kapan?, " Tanya Rian pada aku.
" Entahlah, aku mah ikut nenek aja. Paling juga liburan semester nanti, " jawab ku.
" Iya, nanti juga pulang lagi kalo Karin udah libur semester lagi. Kalo kamu Rian, kapan mulai sekolah nya lagi?, " Tanya nenek.
" Mungkin sama nek, hari Senin sudah mulai sekolah lagi, " jawab Rian.
Nenek pun mengangguk mengerti, lalu menoleh menghadap aku.
" Ya udah, kamu mandi dulu sana abis itu makan. Rian kamu tunggu sini dulu nanti makan bareng sama Karin, " ujar nenek
Nenek pun bangkit dari sofa menuju dapur, meninggalkan aku dan Rian yang masih terduduk di sofa ruang tamu.
" Yaudah kamu tunggu sini, jangan pulang dulu. Aku mau mandi dulu, " ujar aku.
         Aku pun bangkit dari sofa, menuju kamar untuk mengambil baju salin. Setelah itu, berjalan menuju kamar mandi yang letak nya dekat dengan dapur. Aku pun memulai ritual mandi.
         Selesai  mandi, aku duduk di ruang tamu menunggu nenek selesai memasak.
" Ian, kamu sekarang udah kelas berapa?, " Tanya ku pada Ian.
 " Kelas 5, aku kan sama kamu beda 4 tahun, " jawab Rian.
          Aku pun terkejut saat Rian mengatakan bahwa aku dengannya terpaut usia 4 tahun. Aku kira Rian seusia dengan ku.
" Hiiiiih, berarti selama ini harus nya aku manggil kamu kakak dong. Kamu kok ga bilang sih dari dulu, kalo kamu lebih tua 4 tahun dari aku, " ujar aku menepuk lengan Rian.
" Ya kamu ga pernah nanya sama aku, " jawab Rian dengan terkekeh.
" Ishhh ya harusnya kamu tiap aku manggil kamu Rian, kamu kasih tau aku gitu kalo kamu lebih tua dari aku, " ujar aku dengan kesal
" Aku kira kamu tau, jadi aku ga pernah bilang, " ujar Rian sambil mengacak rambut ku.
" Jangan di berantakan, baru selesai sisiran ini, " ujar ku kesal. " Tuh kan berantakan lagi jadi nya, ".
       Rian pun hanya tertawa mendengar celotehan ku. Andai saja aku tau, bahwa itu terakhir kalinya aku mendengar dan melihat tawanya, ingin sekali aku perlambat waktu agar bisa menikmati tawa itu lebih lama. Selesai makan, Rian pun pamit untuk pulang. Karna rumah ku dengan nya berbeda bukit, mungkin menghabiskan waktu 20 menit untuk berjalan kaki dari rumah ke rumahnya.
        Keesokan paginya. Aku sudah siap untuk pulang ke Jakarta, nenek sudah merapikan tas ku dan menaruh nya di teras rumah. Aku pun duduk di bangku teras sambil menunggu nenek merapikan semua barang bawaan.
        Aku duduk di bangku teras sambil melihat hamparan sawah hijau yang membentang luas, burung-burung yang berkicau, dan para ayam yang berlalu lalang di depan rumah. Mungkin pemandangan pagi ini akan sangat ku rindukan. Terutama ketika milihat seorang anak lelaki berjalan di tengah hamparan sawah hijau, dengan senyum yang selalu terukir di wajahnya.
" Hayoo, pagi-pagi ngelamun aja nanti kesambet aja, " ujar Rian yang mengagetkan ku.
" Ishh kamu, orang kalo dateng itu ngucapin salam. Ini malah ngagetin, untung aku engga jatuh dari bangku, " ujar aku dengan kesal.
" Iya-iya maaf, aku ulangin ya, " jawab Rian dengan terkekeh.
       Entahlah kenapa dia senang sekali tersenyum dan tertawa. Tapi itulah yang membuat ku selalu merindukan nya ketika di Jakarta, Sosok lelaki yang ceria, unik, lucu.
" Assalamualaikum, neng geulis, " ujar Rian dengan tersenyum manis.
" Waalaikumsalam, akang, " jawab ku dengan tersenyum. " Udah ah, kamu mah orang aku mau pulang ke Jakarta juga. Aturan kamu sedih gitu, ini kaya nya malah seneng banget kalo aku pulang, " ujar ku kesal.
" Ya aku sedihlah kalo kamu pulang, kan jadinya aku engga punya temen disini. Apalagi temennya cerewet kaya kamu, " ujar Rian dengan nada mengejek.
" Tuh kan nyebelin, kamu itu yang bawel selalu marah-marah mulu. Nanti aku engga pulang kesini aja nangis kamu, " ujar ku dengan berkacak pinggang.
" Hahaha, kamu pasti pulang ke sini lagi. Tapi kalo kamu ga pulang ke sini lagi pas liburan semester, jangan kangen sama aku ya, " ujar Rian dengan tertawa dan mengacak-acak rambut ku.
" Hiiiiih, kebiasaan jangan suka berantakin rambut aku terus. Ini udah di kuncir nenek, tuh jadi berantakan. Nyebelin kamu mah, " ujar aku dengan kesal dengan kaki menghentak di papan.
" Hahaha, iya-iya maaf. Udah ah jangan marah-marah mulu, nanti cepet tua, " ujar Rian.
" Kan kamu lebih tua dari aku, wleee ," ujar ku dengan nada mengejek.
" Seterah kamu deh, " ujar iya gemas.
Nenek pun keluar dari rumah dengan membawa tas dan di ikuti oleh bibi.
" Ayo ke mobil, kakek mu sudah nunggu di sana, " ujar nenek.
" Iya nek, " jawab ku.
         Aku pun mengambil tas ransel kecil, dan memakai sepatu lalu turun ke bawah.  Rian pun mengikuti aku dengan tangan menenteng tas berisi bekal. Aku dan Rian pun berjalan menuju parkiran mobil yang ada di dekat rumahnya.
" Ian, kalo liburan semester nanti aku gak bisa pulang ke sini gimana?, " Tanya ku pada Rian.
" Hmmm, nanti kamu bisa ketemu aku lagi. Tapi butuh waktu lama buat kamu nemuin aku lagi, " ujar Rian.
Aku pun heran ketika Rian bilang butuh waktu yang lama, memang selama apa untuk bertemu nya lagi.
" Butuh waktu lama, maksud kamu gimana sih. Engga ngerti aku?, " Jawab ku dengan bingung.
" Iya, kalo libur semester nanti ga pulang. Berarti liburan kenaikan kelas atau entahlah lihat nanti saja, intinya butuh waktu lama, " ujar Rian dengan tersenyum.
        Aku pun hanya menjawabnya dengan menganggukan kepala, dan terus berjalan di tengah hamparan sawah yang menghijau.
        Akhirnya kami pun sampai di mobil, Rian pun menyerahkan tas ransel bekal kepada kakek ku. Aku pun berbalik badan dan menghadap ke arah Rian. Ahhh, mungkin aku akan merindukan sosok anak lelaki yang penuh keceriaan dan selalu tersenyum ini. Entahlah bercengkrama dengan nya selalu membuat betah berlama-lama dekat dengan nya.
" Aku pulang dulu, kamu disini sehat-sehat ya. Jangan jadi kaya Tarzan maen di hutan atas sana, bahaya tau disana, " ujar ku dengan menahan tangis. " Intinya nanti aku pulang, nanti kita maen lagi ya, " ujar ku dengan mengacungkan jari kelingking.
" Aku engga janji, soal nya kamu pasti lama balik ke sini lagi, " ujar Rian dengan tersenyum.
" Ihhhh, kok gitu. Kan aku gak tau bisa kapan pulang lagi ke sini, " ujar aku dengan nada kesal.
" Ya kan sudah ku bilang, aku engga janji. Abisnya kamu pasti lama pulang ke sini lagi, " ujar Rian.
" Ihhhh kamu mah jahat, " ujar aku dengan menghentakkan kaki ke tanah.
       Rian pun tertawa melihat tingkah ku dan mengacak-acak rambut ku. Entahlah mengacak-acak rambut dan membuat ku kesal mungkin hobi nya.
" Udah sana masuk, hati-hati ya dijalan. Belajar yang bener biar libur semester nanti bisa pulang ke sini dan maen lagi sama aku, " ujar Rian dengan menggiringku ke arah pintu mobil.
        Aku hanya mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil. Aku pun melambaikan tangan ke Rian dari jendela mobil, ia pun membalas lambaian tangan ku. Mobil pun melaju dan berjalan  tempat Rian berdiri. Mobil pun semakin jauh hingga Rian pun sudah tak terlihat dari pandangan ku.
Kring.....kring....kring...
     Aku pun terbangun dari tidurku dengan mata yang mengeluarkan air mata. Menyesal, marah dan sedih, bercampur aduk ketika mengingat momen itu. Entahlah setiap mengingat kenangan bersama nya aku selalu menangis. Pertemuanku saat itu adalah pertemuan terakhir aku bersama nya, benar saja liburan semester selanjutnya aku tidak bisa pulang ke kampung. Dan pada saat aku kelas 3 SD, aku mendapat kabar bahwa Rian telah tiada karena sakit. Aku yang tak menemaninya saat terakhir kalinya sungguh sangat menyesal dan sedih.
      Hingga saat inipun aku belum bisa kembali ke kampung, dan menemui nya di tempat peristirahatan terakhirnya. Setiap aku teringat oleh nya, seperti ada sesuatu yang membuat hati aku sesak dan selalu menangis. Dan setiap aku melihat orang yang mirip dengan sosok nya, membuat aku selalu berkata dalam hati,
" Dimana pun kamu berada sekarang, Â jika kamu masih hidup jangan pernah temui saya dan mulailah kehidupan barumu. Dan jika kamu benar-benar sudah tiada, bahagialah kamu disana aku akan selalu mendoakan mu dari sini dan semoga bisa kita dapat bertemu kembali disana, "
Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H