" Hiiiiih, berarti selama ini harus nya aku manggil kamu kakak dong. Kamu kok ga bilang sih dari dulu, kalo kamu lebih tua 4 tahun dari aku, " ujar aku menepuk lengan Rian.
" Ya kamu ga pernah nanya sama aku, " jawab Rian dengan terkekeh.
" Ishhh ya harusnya kamu tiap aku manggil kamu Rian, kamu kasih tau aku gitu kalo kamu lebih tua dari aku, " ujar aku dengan kesal
" Aku kira kamu tau, jadi aku ga pernah bilang, " ujar Rian sambil mengacak rambut ku.
" Jangan di berantakan, baru selesai sisiran ini, " ujar ku kesal. " Tuh kan berantakan lagi jadi nya, ".
       Rian pun hanya tertawa mendengar celotehan ku. Andai saja aku tau, bahwa itu terakhir kalinya aku mendengar dan melihat tawanya, ingin sekali aku perlambat waktu agar bisa menikmati tawa itu lebih lama. Selesai makan, Rian pun pamit untuk pulang. Karna rumah ku dengan nya berbeda bukit, mungkin menghabiskan waktu 20 menit untuk berjalan kaki dari rumah ke rumahnya.
        Keesokan paginya. Aku sudah siap untuk pulang ke Jakarta, nenek sudah merapikan tas ku dan menaruh nya di teras rumah. Aku pun duduk di bangku teras sambil menunggu nenek merapikan semua barang bawaan.
        Aku duduk di bangku teras sambil melihat hamparan sawah hijau yang membentang luas, burung-burung yang berkicau, dan para ayam yang berlalu lalang di depan rumah. Mungkin pemandangan pagi ini akan sangat ku rindukan. Terutama ketika milihat seorang anak lelaki berjalan di tengah hamparan sawah hijau, dengan senyum yang selalu terukir di wajahnya.
" Hayoo, pagi-pagi ngelamun aja nanti kesambet aja, " ujar Rian yang mengagetkan ku.
" Ishh kamu, orang kalo dateng itu ngucapin salam. Ini malah ngagetin, untung aku engga jatuh dari bangku, " ujar aku dengan kesal.
" Iya-iya maaf, aku ulangin ya, " jawab Rian dengan terkekeh.
       Entahlah kenapa dia senang sekali tersenyum dan tertawa. Tapi itulah yang membuat ku selalu merindukan nya ketika di Jakarta, Sosok lelaki yang ceria, unik, lucu.
" Assalamualaikum, neng geulis, " ujar Rian dengan tersenyum manis.
" Waalaikumsalam, akang, " jawab ku dengan tersenyum. " Udah ah, kamu mah orang aku mau pulang ke Jakarta juga. Aturan kamu sedih gitu, ini kaya nya malah seneng banget kalo aku pulang, " ujar ku kesal.
" Ya aku sedihlah kalo kamu pulang, kan jadinya aku engga punya temen disini. Apalagi temennya cerewet kaya kamu, " ujar Rian dengan nada mengejek.
" Tuh kan nyebelin, kamu itu yang bawel selalu marah-marah mulu. Nanti aku engga pulang kesini aja nangis kamu, " ujar ku dengan berkacak pinggang.
" Hahaha, kamu pasti pulang ke sini lagi. Tapi kalo kamu ga pulang ke sini lagi pas liburan semester, jangan kangen sama aku ya, " ujar Rian dengan tertawa dan mengacak-acak rambut ku.
" Hiiiiih, kebiasaan jangan suka berantakin rambut aku terus. Ini udah di kuncir nenek, tuh jadi berantakan. Nyebelin kamu mah, " ujar aku dengan kesal dengan kaki menghentak di papan.
" Hahaha, iya-iya maaf. Udah ah jangan marah-marah mulu, nanti cepet tua, " ujar Rian.
" Kan kamu lebih tua dari aku, wleee ," ujar ku dengan nada mengejek.
" Seterah kamu deh, " ujar iya gemas.
Nenek pun keluar dari rumah dengan membawa tas dan di ikuti oleh bibi.
" Ayo ke mobil, kakek mu sudah nunggu di sana, " ujar nenek.
" Iya nek, " jawab ku.
         Aku pun mengambil tas ransel kecil, dan memakai sepatu lalu turun ke bawah.  Rian pun mengikuti aku dengan tangan menenteng tas berisi bekal. Aku dan Rian pun berjalan menuju parkiran mobil yang ada di dekat rumahnya.
" Ian, kalo liburan semester nanti aku gak bisa pulang ke sini gimana?, " Tanya ku pada Rian.
" Hmmm, nanti kamu bisa ketemu aku lagi. Tapi butuh waktu lama buat kamu nemuin aku lagi, " ujar Rian.
Aku pun heran ketika Rian bilang butuh waktu yang lama, memang selama apa untuk bertemu nya lagi.
" Butuh waktu lama, maksud kamu gimana sih. Engga ngerti aku?, " Jawab ku dengan bingung.
" Iya, kalo libur semester nanti ga pulang. Berarti liburan kenaikan kelas atau entahlah lihat nanti saja, intinya butuh waktu lama, " ujar Rian dengan tersenyum.
        Aku pun hanya menjawabnya dengan menganggukan kepala, dan terus berjalan di tengah hamparan sawah yang menghijau.
        Akhirnya kami pun sampai di mobil, Rian pun menyerahkan tas ransel bekal kepada kakek ku. Aku pun berbalik badan dan menghadap ke arah Rian. Ahhh, mungkin aku akan merindukan sosok anak lelaki yang penuh keceriaan dan selalu tersenyum ini. Entahlah bercengkrama dengan nya selalu membuat betah berlama-lama dekat dengan nya.
" Aku pulang dulu, kamu disini sehat-sehat ya. Jangan jadi kaya Tarzan maen di hutan atas sana, bahaya tau disana, " ujar ku dengan menahan tangis. " Intinya nanti aku pulang, nanti kita maen lagi ya, " ujar ku dengan mengacungkan jari kelingking.
" Aku engga janji, soal nya kamu pasti lama balik ke sini lagi, " ujar Rian dengan tersenyum.
" Ihhhh, kok gitu. Kan aku gak tau bisa kapan pulang lagi ke sini, " ujar aku dengan nada kesal.
" Ya kan sudah ku bilang, aku engga janji. Abisnya kamu pasti lama pulang ke sini lagi, " ujar Rian.
" Ihhhh kamu mah jahat, " ujar aku dengan menghentakkan kaki ke tanah.
       Rian pun tertawa melihat tingkah ku dan mengacak-acak rambut ku. Entahlah mengacak-acak rambut dan membuat ku kesal mungkin hobi nya.
" Udah sana masuk, hati-hati ya dijalan. Belajar yang bener biar libur semester nanti bisa pulang ke sini dan maen lagi sama aku, " ujar Rian dengan menggiringku ke arah pintu mobil.
        Aku hanya mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil. Aku pun melambaikan tangan ke Rian dari jendela mobil, ia pun membalas lambaian tangan ku. Mobil pun melaju dan berjalan  tempat Rian berdiri. Mobil pun semakin jauh hingga Rian pun sudah tak terlihat dari pandangan ku.