“Ya Allah … Maa syaa Allah … Tabarakallahu … Allahu akbar! Ganteng banget, Ja!” Aku menahan teriakkanku sambil terus men-scroll layar ponsel.
“Ya Allah, jika seorang Kim Taehyung adalah jodoh hamba, maka datangkanlah,” doa Aza.
“Aam – eh! Apa-apaan, enggak boleh! Aku doang, Ja, yang cocok sama Taehyung. Hamba saja Ya Allah, Aza jangan. Aamiin,” seruku sebelum berhasil menyelesaikan aminku.
“Syut … Taehyung paling cocok emang kalau sama aku, Cha. Jangan iri kamu,” balas Aza tak kalah sengit. Aku tertawa pelan menanggapi ucapannya.
“Sudahi halumu, Ja. Jangan keterusan, nanti makin enggak waras kamu,” ingatku sambil memasukan ponsel kembali ke dalam tas.
“Nah, kan, nasinya udah dingin!” Setelah sadar, aku langsung menyuap dua sendok ke mulutku.
“Yah, sup aku juga!” timpal Aza. Kami tertawa saat lidah kami menyentuh makanan yang sudah tak lagi panas itu.
Sekarang, makanan sudah berpindah total ke dalam perut kami. Piring dan mangkuk kosong menjadi penutupnya. Dua minuman yang belum habis sempurna, menjadi teman berbincang kami. Mulai dari kuliah, hal-hal random, sampai nostalgia pun tak luput dari ingatan kami. Oh, ya, nama-nama Oppa-oppa Korea juga tidak ketinggalan tentunya.
“Excuse me, can I join you?”
Obrolan kami langsung terhenti saat suara bariton yang lembut menyalami rungu kami. Begitu hangat bagai diterpa mentari pagi. Kami menoleh bersamaan, dan ….
“A–Acha.”