Pendahuluan
Sengketa tambang merujuk pada konflik atau perselisihan yang timbul terkait dengan kegiatan pertambangan. Sengketa ini dapat melibatkan berbagai pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda terkait dengan tambang tersebut, termasuk perusahaan tambang, pemerintah, masyarakat lokal, dan kelompok lingkungan. Sengketa tambang di Kalimantan merupakan fenomena konflik yang terjadi antara berbagai pihak terkait aktivitas pertambangan di wilayah Kalimantan, yang merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Sengketa ini mencakup berbagai aspek termasuk hak atas tanah dan tanah adat, dampak lingkungan, pembagian manfaat ekonomi, dan pelestarian budaya lokal. Mari kita bedah aspek tersebut satu persatu.
Pertama, hak atas tanah dan tanah adat. Sebagian aktivitas pertambangan berlokasi di tanah yang juga merupakan wilayah adat bagi masyarakat pribumi seperti suku Dayak. Konflik ini sering muncul dikarenakan perusahaan tembang mengklaim ha katas tanah untuk kegiatan ekstraksi sumber daya alam. Sementara masyarakat lokal mengklaim bahwa hak tradisional mereka adalah hak atas tanah tersebut. Masyarakat adat Dayak juga mengklaim bahwa mereka tidak dilibatkan secara cukup dalam proses pengambilan keputusan terkait proyek tambang tersebut dan mereka mengklaim bahwa mereka tidak mendapatkan manfaat yang memadai dari kegiatan tembang tersebut. Selain itu, mereka khawatir bahwa kehadiran tambang akan mengganggu cara bertahan hidup mereka yang secara tradisional dan merusak warisan budaya lokal mereka.
Kedua, dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan tersebut. Kegiatan pertambangan sering kali menyebabkan berbagai dampak, salah satunya adalah menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak yang ditimbulkan antara lain yakni pencemaran air, pencemaran udara, serta kerusakan habitat. Hal ini juga membuat mereka khawatir bahwa kehadiran tambang akan mengganggu cara bertahan hidup mereka yang secara tradisional dan bisa merusak warisan budaya lokal mereka.
Ketiga mengenai pembagian manfaat ekonomi dari kegiatan pertambangan ini. Masyarakat lokal terutama suku Dayak (suku yang terdampak) sering mrngharapkan manfaat ekonomi yang memadai dari kegiatan tambang ini. Termasuk dalam bentuk membuka lapangan pekerjaan, pembangunan infrastruktur untuk masyarakat lokal, atau biaya kompensasi terhadap masyarakat yang terdampak. Permasalahan ini muncul ketika pembagian manfaat yang diberikan oleh pihak tambang terhadap masyarakat tidak memadai atau tidak merata, dan ketika masyarakat lokal merasa bahwa mereka sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pembangunan tersebut.
Dan yang terakhir adalah mengenai pelestarian budaya lokal. Aktivitas pertambangan juga dapat mengancam keberlangsungan budaya dan tradisi masyarakat adat karena dapat mengganggu cara hidup mereka yang secara tradisional dan merusak warisan budaya. Permasalahan ini sering terjadi ketika masyarakat lokal berjuang untuk mempertahankan identitas budaya dan kearifan lokal mereka. Karena hal tersebut merupakan warisan dari nenek moyang masyarakat lokal.
Pidana Adat
Di wilayah-wilayah di Kalimantan dan daerah-daerah lain di Indonesia terdapat tradisi hukum adat yang disebut dengan "pidana adat". Pidana adat ini mencakup serangkaian aturan dan norma yang dihormati dan diterapkan oleh masyarakat lokal berdasarkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal mereka. Dalam konteks sengketa tambang di Kalimantan, masyarakat adat seperti suku Dayak sering kali memiliki sistem hukum adat mereka sendiri untuk menenagani perselisihan dan konflik yang terjadi. Hal ini bisa mencakup prosedur penyelesaian sengketa tradisional seperti mediasi oleh tokoh-tokoh adat atau dewan adat serta hukuman-hukuman adat bagi mereka yang dianggap melanggar norma-norma.
Dalam kasus sengketa tambang di Kalimantan, masyarakat adat bisa saja menerapka  hukuman adat terhadap individu maupun kelompok yang terlibat dalam kegiatan yang dianggap merusak lingkungan atau melanggar norma-norma budaya lokal. Hukuman-hukuman ini dapat berupa sanksi seperti denda adat, teguran lisan yang diberikan kepada pelanggar hukum adat, atau penolakan sosial dari masyarakat. Penerapan pidana adat dalam sengketa tambang di Kalimantan memiliki beberapa tujuan, yaitu:
- Untuk melindungi tanah dan sumber daya alam dari kerusakan akibat kegiatan pertambangan
- Menjaga kelestarian budaya dan tradisi masyarakat adat, dan
- Memperkuat hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam.
Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa hukum adat tidak selalu diakui secara resmi oleh pemerintah pusat atau sistem hukum nasional di Indonesia. Oleh karena itu, dalam penyelesaian sengketa tambang di Kalimantan sering kali terjadu interaksi antara hukum adat dan hukum modern.
Ekspresi Imajinasi
Konflik bermula ketika masyarakat adat mengetahui rencana perusahaan tambang untuk membuka pertambangan di wilayah yang merupakan bagian dari tanah adat suku Dayak. Dalam pertemuan komunitas, sesepuh adat telah menegaskan bahwa tanah tersebut bukan hanya sekedar lahan biasa, melainkan adalah sumber kehidupan dan warisan nenek moyang mereka.
Tanah yang diwariskan turun temurun, kini terancam oleh kegiatan pertambangan yang tdak terkendali. Hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka perlahan ditelan oleh lubang-lubang raksasa dan asap tebal yang mencemari udara. Dengan demikian, meskipun terdapat sengketa yang kompleks dan sulit, kedua belah pihak akhirnya menemukan jalan keluar yang menghormati nilai-nilai atau norma-norma budaya, lingkungan, dan kepentingan ekonimi. Kesepakatan ini menjadi contoh bagi daerah lain tentang pentingnya dialog, kerjasama, dan menghargai keberagaman budaya dan lingkungan hidup.
Masa depan Kalimantan ada di tangan kita. Maka, marilah kita jaga bersama warisan alam dan budaya yang tak ternilai harganya ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H