Dalam konteks perkembangan teknologi yang cepat, menjaga prinsip-prinsip tradisional dalam sastra anak bisa menjadi solusi untuk menghadapi masalah yang muncul di era digital saat ini. Prinsip-prinsip ini sangat terkait dengan nilai-nilai karakter yang diharapkan dapat dimiliki anak-anak setelah mereka membaca atau mendengarkan sastra anak.Â
Berdasarkan Kemendiknas, karakter yang diharapkan sesuai dengan hasil Kesepakatan Nasional Pengembangan Budaya dan Karakter Bangsa yang mencakup 18 nilai, yaitu: (1) nilai religius, (2) nilai kejujuran, (3) nilai toleransi, (4) nilai kedisiplinan, (5) nilai kerja keras, (6) nilai kreatif, (7) nilai kemandirian, (8) nilai demokrasi, (9) nilai keingintahuan, (10) nilai semangat kebangsaan, (11) nilai cinta tanah air, (12) nilai menghargai prestasi, (13) nilai persahabatan, (14) nilai cinta damai, (15) nilai gemar membaca, (16) nilai kepedulian terhadap lingkungan, (17) nilai kepedulian sosial, dan (18) nilai tanggung jawab.Â
Nilai-nilai karakter ini dapat dimasukkan ke dalam materi bacaan yang dikonsumsi oleh anak-anak. Nita & Awis Karni (2022) berpendapat bahwa seluruh elemen bangsa sebaiknya berperan aktif dengan berbagai cara agar delapan belas nilai tersebut dapat tertanam dalam diri setiap individu Indonesia.
Pengembangan sastra anak melalui media digital jelas memiliki banyak manfaat. Anak-anak menjadi lebih antusias membaca berkat tampilan yang menarik, termasuk gambar, suara, dan cara penyajian yang interaktif.Â
Namun, di balik keuntungan tersebut, orang tua perlu waspada terhadap dampak perkembangan teknologi yang pesat. Dengan penggunaan perangkat digital, anak-anak akan lebih terfokus pada dunia virtual. Buku cetak mungkin akan kehilangan daya tarik di mata mereka. Banyak waktu yang terbuang karena mereka terbuai oleh berbagai konten yang ditawarkan oleh media digital.
 Kehidupan yang bersifat individualistis pun akan semakin meningkat, karena banyak orang yang terlarut dalam dunia maya yang menawarkan kesenangan pribadi. Utami (2021) menyatakan bahwa perkembangan teknologi membuat anak-anak lebih tertarik untuk menonton video yang sedang populer saat ini, ketimbang menyaksikan video yang berhubungan dengan sastra anak.
Meskipun akses ke platform digital semakin baik, Sapta et al., (2024) menyatakan bahwa masih terdapat anak-anak yang tidak memiliki akses yang memadai ke perangkat digital atau internet. Anak-anak di daerah terpencil sulit untuk mendapatkan koneksi internet dan buku cetak karena infrastruktur yang kurang memadai. Ketidakmerataan akses ini dapat menyebabkan kesenjangan dalam pembelajaran dan pengetahuan anak.Â
Tantangan lain di era digital yang perlu diperhatikan adalah kualitas konten bacaan dan tontonan untuk anak. Orang tua harus lebih aktif mengawasi kualitas materi yang diakses anak, karena tidak semua platform menyediakan konten yang baik. Kebebasan penggunaan gawai memungkinkan anak mengakses informasi di luar media pendidikan. Oleh karena itu, pengawasan orang tua sangat penting untuk memastikan penggunaan gawai dalam belajar tetap terarah dan didampingi.
Di era digital, sastra anak memiliki kesempatan besar untuk meningkatkan pengalaman membaca dan memperluas akses terhadap sastra bagi anak-anak. Namun, tantangan terkait penggunaan teknologi juga perlu diatasi agar manfaatnya dapat dimaksimalkan. Untuk mempertahankan prinsip tradisional dalam karya sastra anak, beberapa langkah dapat diambil.Â
Pertama, pemilihan konten yang relevan sangat penting, di mana tema seperti kejujuran, kerja sama, dan kerja keras harus dipertimbangkan agar nilai-nilai tersebut tetap hidup. Selain itu, penyampaian pesan dalam karya sastra perlu dilakukan dengan bijaksana, tanpa terkesan menggurui, melalui penggunaan karakter, latar, alur, dan dialog yang memberikan teladan positif.
Penggunaan bahasa yang sesuai juga krusial, karena bahasa yang sopan dan penuh penghormatan terhadap orang tua serta nilai-nilai tradisional harus menjadi pilihan utama. Menulis dengan konteks budaya yang kuat, seperti cerita rakyat dan legenda, dapat membantu anak-anak memahami dan menghargai warisan budaya lokal.