Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata, tapi di kemas sedikit berbeda agar tidak menjadi kesalahpahaman antar pihak dan menjaga nama baik. Namun tetap pada inti pesan moral nya.
Baiklah saya mulai...
Berawal ketika aku dan teman sedang mengikuti agenda perpisahan dalam bentuk jalan- jalan berwisata mengelilingi ibu kota sebuah provinsi. Disitu aku di ajak oleh teman sekaligus bestie untuk menemani, karena dia sendiri mudah mabuk perjalanan. It's Ok untuk aku pecinta travelling, awalnya sempat ragu karena saat itu kondisiku baru mulai pulih pasca sakit beberapa bulan lalu dan masih dalam proses pengobatan rawat jalan. Tapi aku nekad dan memutuskan untuk pergi setelah sekian purnama "dirumah aja". Apapun jawabannya aku terima, tapi aku yakin akan diizinkan. Emang boleh senekad itu?
Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, entah berapa kilo pula jalan yang kami lewati. Dengan akses lewat jalan tol memudahkan bus yang kami rental lebih cepat sampai. Di sepanjang jalan, aku dan bestie lebih banyak menghabiskan waktu untuk menutup mata sebab sebelumnya kami berangkat terburu- buru dari rumah setelah shubuh namun nyatanya masih menunggu lama hingga bus berangkat. Dan aku sendiri sengaja untuk menjaga kondisi fisik agar tetap fit dan tidak kelelahan karena aku masih sering merasakan sakit ketika kepanasan dan lelah. sesekali hanya memantau sekitar dan melirik jam di Hp.
Aku tidak peduli kemana arah rute yang di tempuh, karena agendanya membawa anak sekolah dan guru. Jadi aku mengikuti saja apapun jadwalnya, yang penting waktu sholat aman dan sampai rumah tidak terlalu malam. Karena besoknya aku harus pergi berobat, jam berapapun kami sampai di tempat keberangkatan pagi tadi. Aku harus langsung pulang ke rumah, tidak akan menginap di tempat teman.
Setelah di lalui, ternyata ada 5 rute hingga jadwal makan malam. Nah kisah ini aku temukan di rute kedua, sebuah taman yang cukup alami dan asri di tepi kota.
Saat bus sudah memarkir di dalam taman yang luas, lebih terkesan seperti hutan lindung. Aku dan rombongan langsung prepare untuk makan siang dan dilanjutkan istirahat, sholat dzhuhur.
Aku membawa perlengkapan sholat dari rumah, lebih aman dan sterill. Ketika ke tempat wudhu dan toilet umum, seperti biasa ada kotak untuk biaya penggunaan oleh setiap pengunjung. Hal itu aku anggap lumrah, namun yang menariknya tempat itu di jaga ontime oleh petugas taman dan yang aku herankan petugasnya bukanlah anak- anak remaja tanggung atau pria dewasa umur 30an.Â
Tapi para pria tua yang menurut aku sudah pantas menjadi lansia, giginya saja tinggal beberapa, badannya kurus, topi yang menutupi uban dan baju seragam yang sudah pudar warnanya. Seketika mengingatkan dengan kakekku sendiri yang sudah waktunya santai di rumah. Tapi tidak dengan kakek- kakek yang ada di taman ini. Aku sendiri tidak mengerti apa maksudnya memperkerjakan lansia, mungkin atas keinginan mereka sendiri untuk mengisi waktu luang. Tidak ada tempat bertanya, karena sebagian besar orang disini adalah pengunjung. Ingin bertanya langsung pada petugas tapi tidak ada waktu lagi.Â
Toilet dan tempat wudhu ternyata berbeda tempat, temanku yg membayar biaya dengan pecahan 2000-an. Kamipun menunaikan ibadah sholat di musholla yang ada di taman itu, musholla yang cukup luas hanya untuk perempuan tapi agak sempit karena beberapaada yang tiduran dan ada yang berdandan. Musholla laki-laki sudah di sediakan di bangunan yang berbeda, jadi tidak terganggu.Â
Usai sholat, aku sendiri memilih untuk berdandan di dekat toilet wanita, disana ada cermin untuk berkaca. Walaupun ditempat terbuka tapi agak sepi, hanya ada pengunjung wanita dan kakek petugas yang berjaga. Saat sedang bercermin aku mendengar seseorang yang bertekak, namun aku tidak membalikkan badan. Malah memantau lewat cermin yang ada didepanku, ternyata kakek petugas dan seorang pria baru baya usia 50-an datang untuk menggantikan shif berjaga. Aku pura-pura tidak tahu dan tetap dengan aktivitasku tapi sebenarnya aku menguping pembicaraan mereka dengan epic.Â
"Mana nasi untuk aku" ucap si kakek petugas dengan logat bahasa daerah yang kental dan  sedikit mengadah tangan.
"Iih kau ini!!, kata kau tidak mau makan tadi. Sekarang malah meminta nasi" Â balas pria itu dengan bahasa daerah yang berbeda dan nada yang agak meninggi dengan tubuh yang lebih gagah berkacak pinggang. Aku kaget dan agak emosi melihatnya dari cermin tapi sepertinya tidak disadari oleh mereka, aku ingin mendengar lebih jauh.
"Apalah kamu ni, tadi bilangnya enggak makan. Biarkan saja dia, banyak tingkah" timpal seorang petugas lain yang tidak jauh posisinya namun menggunakan seragam yang sama dengan si kakek .
Mendengar ucapan teman- temannya yang tidak bersahabat itu, si kakek petugas hanya diam. Ia tidak mengucap sepatah katapun pada temannya di hadapan dan langsung berlalu pergi begitu saja. Pria paru baya itu menatap tidak suka kepergian si kakek dan kakek petugas yang di sisi lain masih saja mengomeli temannya yang lewat didepannya.Â
Aku yang menyaksikan kejadian itu merasa geram sendiri, aku tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi pada kakek atau orangtuaku sendiri. Sebagai anak rasanya miris melihat orang tua yang mendapat cercaan seperti itu di usia yang tidak muda lagi. Haruskah si kakek bekerja seperti ini? Haruskah ia bertahan dengan teman seperti itu? Apakah dia benar- benar harus mencari nafkah?
Aku memikirkan dari sudut pandang  yang berbeda. Mungkin temannya kesal karena ketika di tawarkan makan siang dan si kakek menolak dan setelah itu malah minta nasi bungkus. Ataupun di kakek menolak makan  saat itu karena ingin bergantian berjaga dengan temannya, dan makan siang bagiannya di bungkus saja. Tapi temannya mungkin tidak peka dan langsung tersulut emosi saja.
Aku melihat kepergian si kakek yang semakin menjauh dari cermin, bagaimanalah perasannya saat ini. Pasti si kakek sedang lapar. Aku sengaja menunggu lama agar tidak terlihat mengamati mereka , segera aku mengeluarkan uang pecahan untuk si kakek cukup membeli nasi bungkus dan memberikan padanya saat tidak ada petugas yang melihat. Masalah uang untuk jajan nanti saja dipikirkan.
Aku kalah cepat dengan si kakek karena aku juga tidak ingin menarik perhatian orang lain, jadi aku pelan- pelan mengejarnya  dan sambil menemui temanku yang sudah selesai duluan. Aku ceritakan hal itu padanya, dan ikut membantuku menemui si kakek yang sedang berjalan membawa drum sampah dedaunan kering. Jalannya saja sudah gemetaran, tapi si kakek malah tetap bekerja. Cukup jauh aku mengikuti, hingga ke arah tepi danau buatan si kakek membuang sampah disana. Aku tidak memanggilnya, yang ada semua orang akan melihatku dan kakek itu malah kaget. Saat menghampirinya aku sendirian, sempat ragu tapi aku sudah berniat jadi maju saja. Awalnya aku ingin langsung memberi dan pergi tapi tiba-tiba terlintas untuk basa basi agar si kakek tidak curiga.
Bersambung......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H