Mohon tunggu...
Khalid Walid Djamaludin
Khalid Walid Djamaludin Mohon Tunggu... Ilmuwan - Social Researcher

My name is Khalid Walid Djamaludin. I am an Independent Social Researcher from PRODES Institute Indonesia. my research interests are Economic Anthropology, Political Economy, Corruption Studies, and Social Empowerment.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pola Pikir Analitik dan Dekonstruktif dalam Kehidupan Beragama

26 Mei 2021   12:27 Diperbarui: 26 Mei 2021   12:30 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat situasi dan kondisi kehidupan beragama saat ini, khususnya di Indonesia, agaknya cukup menyita perhatian belakangan ini. Maraknya tindakan intoleransi, diskriminasi, persekusi secara fisik maupun verbal, bahkan masifnya perilaku "busuk" (korupsi dan tindakan kriminal lainnya) yang pada hakikatnya berhubungan juga dengan kehidupan beragamapun sangat mengkhawatirkan. 

Penulis percaya, bahwa persoalan tersebut salah satunya banyak dipengaruhi oleh kekeliruan cara berpikir dan memahami agama itu sendiri, serta keberfungsian ajaran keagamaan, meskipun banyak juga dipengaruhi aspek lain yang ditengarai oleh dominasi narasi populisme agama (politik agama), serta kepentingan para elite agama yang dengan sengaja menyuburkan pemahaman yang keliru kepada masyarakat. Oleh karena itu, penulis akan memberikan pandangan alternatif memahami ajaran agama sebagai landasan untuk kehidupan beragama dengan menerapkan pola pikir analitik dan dekonstruktif, bukan pola pikir dogmatis-pasif.

Dapat kita lihat saat ini, peristiwa konflik abadi Israel-Palestina yang sangat menyita banyak perhatian dunia, penindasan Muslim etnis Rohingya, Muslim Ahmadi di Pakistan dan Bangladesh, dan masih banyak lagi peristiwa kemanusiaan yang menimpa umat beragama tertentu di dunia. Hal ini dapat dilihat sebagai "stereotyping" abadi, para pemikir -- pemikir terdahulu (mayoritas ateis) yang menyatakan, bahwa agama itu secara nyata pemicu konflik -- konflik dunia, di mana erat kaitannya dengan isu kemanusiaan. Di tambah seringnya dipertontonkan melaluin media mengenai pemberitaan konflik di timur tengah yang tiada habisnya, serangan -- serangan membabi buta para ekstrimis dengan dalih agama kepada yang tidak se-iman, dan lain sebagainya.

Dengan melihat realitas yang ada saat ini, memang rumit, kompleks, penuh dengan kecenderungan -- kecenderungan, namun dapat ditelaah dari sudut pandang yang mikroskopis, dan mendasar, seperti yang penulis angkat berkenaan dengan pola pikir manusia yang bersifat kognisi-aktif yang penulis angkat dari beberapa pemikir -- pemikir terdahulu, yakni pola pikir analitik dan dekonstruktif. 

Bagi penulis, tidak ada salahnya mengadaptasi dari pikiran -- pikiran para pemikir yang ateis, agnostik, sekuler, cenderung pada aspek humanisme saja. Misalnya, kognisi analitik yang diusung para pemikir -- pemikir barat lingkaran Wina, seperti Russel, Wittgenstein, di mana mereka banyak mengusung pada rasio manusia, dan juga berpijak pada pengalaman manusia (empiris). Sedangkan, pemikiran kognisi dekonstruktif berakar pada pemikiran seorang filsuf Perancis, yakni Jacques Derrida, di mana berpijak pada kompleksitas dan keragaman berpikir, serta tidak hanya argumentatif, tetapi lebih bersifat evokatif (tergugah).

Terlepas dari kritik dari masing -- masing pemikiran tersebut, penulis memandang pasti terdapat hal positif yang adaptif. Penulis sengaja memberikan alternatif dalam konstruksi berpikir dalam memandang agama, atau memahami agama atau suatu kepercayaan. 

Bagi penulis, alam berpikir analitik tidak akan menjerumuskan ke dalam ketidakpercayaan atau penghianatan dalam bangun pemikiran keagamaan seorang yang percaya pada sosok metafisik (istilah pemikir filsafat analitik), yakni Tuhan, Dewa, Sang Hyang Widhi, Gusti Pangeran, atau lainnya yang di-kudus-kan. Asalkan basis kepercayaan pada metafisiknya baik, maka tidak ada salahnya untuk memasukan pada konstruksi berpikir tentang keagamaan secara holistik. Bahkan manusia yang mengkombinasikan dua hal tersebut, akan menciptakan "kemoderatan" dan menguatkan dalam berpikir dan memaknai sesuatu. Sejatinya "believe ground" dalam diri manusia yang "theis" pasti berbekas, dan sulit tersisih oleh pemikiran alternatif, seperti kognisi-akti analitik.

Sementara itu, apabila pemikiran dekonstruksi dikombinasikan lalu dikembangkan bersamaan dengan kognisi analitik, maka penulis percaya akan menghasilkan pola pikir yang justru menguatkan ajaran agama sebagai ajaran yang menjadi kebaikan untuk seluruh alam. Dekonstruksi tidak selalu berkonotasi "meniadakan", justru hal ini merupakan bagian dari pernyataan, bahwa manusia dikaruniai akal (rasio). Penulis yakin, bahwa dekonstruksi merupakan cara pikir menuju moderasi. Seluruh manusia akan saling menghargai berbagai macam yang di-kudus-kan.

 Menghilangkan sifat ke-anti-an terhadap sesuatu yang beda. Misalkan, bagi sebagian masyarakat Muslim yang memiliki pola pikir dogmatis, hanya membaca kitab agama lain, atau berkunjung ke tempat ibadah yang lain pastinya akan dicap sebagai yang menyalahi norma agama, atau sering disebut "kafir". Pemikiran dekonstruksi menurut Derrida harus memunculkan makna baru. 

Penulis mengartikan ini sebagai, pemaknaan baru, bahwa keterbukaan terhadap yang beda itu tidak sama dengan menggadaikan keimanan, atau berhianat, justru meneguhkan pemikiran keagamaan itu sendiri yang mengindahkan keberagaman. Kita sepatutnya tergugah, bahwa misalkan dalam Islam, mengapa dituliskan dalam Al-Qur'an, bahwa Tuhan itu esa, tetapi Tuhan itu sendiri menciptakan agama -- agama lain, dengan Tuhan yang beragam pula. Hal ini harus dimaknai, bahwa ketika seorang percaya dengan agama Islam, maka itu penggugah seseorang untuk lebih masuk ke dalam dasar keagamaan yang lebih luas.

Bagaimanapun juga, penulis hanya berpendapat, bahwa minimal ada alternatif pemikiran untuk mendegradasi sikap pasif dalam beragama, sehingga agama itu kesannya selalu dogmatis, ketertundukan, anti-progres, dan lainnya. Justru dengan kognisi analitik, seorang Ateis bisa menjadi Teis, karena sikap ketergugahan mencari sesuatu, entah itu mengenai kebenaran ataupun norma serta etika. Bahkan bagi penulis, seorang alim yang analitik dan selalu tergugah dalam sesuatu akan membuat pemahaman seorang itu lebih kuat. 

Karena ada perkawinan pemahaman yang sifatnya metafisik  alam bawah sadar manusia, dengan cara pandang dengan akal atau rasio, medianya bisa dengan sains. Misalnya dalam Al-Qur'an saja, dilarang memakan daging babi, dan meminum minuman keras (alkohol), tidak semata -- mata Tuhan menurunkan norma tersebut tanpa ada alasan (reason) yang diterima akal manusia. Penulis yakin, setiap norma yang termaktub dalam agama atau bahkan negara, pasti ada alasannya, atau bersifat aktif.

Jadi, pikirkan alternatif pemikiran lain untuk memberdayakan, bahwa manusia itu diberikan akal dan tubuh untuk memahami dunia yang sementara atau dalam bahasa Satre itu "absurd". Silahkan dipahami maksud penulis dalam tulisan ini, masuk akal atau tidak bukan menjadi masalah. Yang terpenting, usaha mendekonstruksi sesuatu itu perlu, agar manusia semakin dewasa. Apalagi merubah pola pikir yang menjerumuskan manusia pada timbulnya perselisihan. Yang harus dipahami, upaya ini bukan untuk sekularisasi umat beragama, khususnya umat Muslim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun