Pendahuluan
Harga minyak saat ini masih berada diatas angka US$ 80 per barrel. Harga ini tentunya sudah terhitung mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan dengan asumsi APBN 2018 dimana pemerintah hanya mengasumsikan harga minyak sebesar US$ 48 per barrel.Â
Dengan besarnya kenaikan harga minyak dunia, pada hari Rabu (10/10/2018) pukul 11.00 WIB, PT. Pertamina menetapkan untuk menaikkan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamax Series, Dex Series dan Biosolar nonsubsidi. Kenaikan harga ini dipicu karena naiknya harga minyak dunia yang sudah mencapai US$ 80 per barrel. Namun, tidak dengan BBM jenis Premium. BBM jenis Premium batal untuk dinaikkan dengan pertimbangan daya beli masyarakat.Â
Sementara itu harga komoditas energi lainnya yaitu listrik pun tidak naik seiring naiknya harga minyak dunia. Ini jelas menambah beban perusahaan penyalur subsidi energi, seperti Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara (PLN), belum lagi Pemerintah masih memilki utang kepada Pertamina terkait subsidi energi pada tahun 2017 silam.
Hutang Pemerintah ke Penyuplai Energi Bersubsidi
Berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pemerintah masih kurang membayar subsidi untuk tiga perusahaan yang selama ini menyalurkan subsidi energi dengan total Rp 6,241Triliun pada tahun 2017 silam. Ketiga perusahaa itu adalah PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Pertamina (Persero), dan PT AKR Corporindo Tbk.
Untuk PLN, pemerintah masih kurang membayar Rp 363 miliar. Sebenarnya, PLN mengajukan subsidi Rp 47,862 triliun. Namun, setelah diaudit ternyata kewajibannya hanya Rp 45,738 triliun. Dari kewajiban itu, pemerintah sudah membayar Rp 45,375 triliun.Kemudian ada kekurangan bayar dari subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar dan minyak tanah ke Pertamina dan AKR Corporindo. Totalnya, Rp 864.159 miliar. Ini dari total kewajiban Rp 9,161 triliun. Sebelumnya, kedua perusahaan itu mengajukan subsidi Rp 9,163 triliun.
Hasil audit tersebut tidak merinci berapa kekurangan untuk Pertamina dan AKR Corporindo. Yang jelas, kebijakan menahan harga Solar di tengah kenaikan harga minyak mentah membuat pendapatan Pertamina berkurang Rp 26,30 triliun. Sedangkan pendapatan AKR Corporindo berkurang Rp 259,03 miliar. Pemerintah juga masih memiliki tunggakan pembayaran subsidi untuk elpiji yang disalurkan Pertamina. Jumlahnya, Rp 5,014 triliun. Kewajiban pemerintah seharusnya Rp 43,763 triliun. Awalnya, yang diajukan Rp 43,853 triliun.
Secara total, pemerintah harus membayar subsidi energi sebesar Rp 98,663 triliun di tahun 2017. "Pemeriksaan atas pengelolaan subsidi secara umum bertujuan untuk menilai kewajaran perhitungan nilai subsidi yang layak dibayar oleh pemerintah serta menilai apakah pelaksanaan subsidi telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," mengutip IHPS BPK Semester I 2018.
Dengan melihat hutang pemerintah yang besar ini, rasanya sudah cukup besar beban yang ditanggung oleh perusahaan-perusahaan penyuplai energi terutama Pertamina yang semakin dirugikan akibat pembatalan kenaikan BBM jenis Premium.
Ego Sektoral dalam Penentuan Subsidi
Jika dicermati lebih jauh, sebenarnya sama saja subsidi itu dibebankan ke Pertamina ataupun Pemerintah. Karena Pertamina sendiri merupakan BUMN yang 100% sahamnya dimiliki negara, arus kas yang keluar maupun masuk pun tentu akan mempengaruhi keuangan negara. Hanya saja, yang perlu diperhatikan disini yakni ego sektoral yang masih terdapat di pengelolaan negara kita.Â
Ego sektoral di dalam pemerintahan terjadi karena masing-masing sektor memiliki visi, misi dan program sendiri-sendiri terkait tugas pokoknya. Lembaga-lembaga ini seringkali sibuk fokus sesuai KPI masing-masing tanpa melihat tujuan yang jauh lebih besar. Masing-masing sektor tentu ingin terlihat "baik" dibanding sektor lainnya.Â
Dalam kasus ini jika ditinjau dari sisi pemerintah, jumlah pengeluaran Pemerintah di sektor BBM akan cenderung menurun karena beban subsidi menjadi tanggungan Pertamina, hal tersebut terlihat seolah-olah Pemerintah berhasil menurunkan pengeluaran dan secara tidak langsung meningkatkan selisih antara pendapatan dan pengeluaran. Begitu juga sebaliknya, jika hal ini dipandang dari sisi Pertamina saat subsidi itu dibebankan ke Pemerintah.
Semua beban ini tentunya membuat Pertamina semakin jauh dari visi perseroan yaitu  "Menjadi Perusahaan Energi Nasional Kelas Dunia" serta misi perseroan yaitu "Menjalankan Usaha Minyak, Gas, Serta Energi Baru dan Terbarukan Secara Terintegrasi, Berdasarkan Prinsip-Prinsip Komersial Yang Kuat."Â
Jadi, akan sampai kapan perusahaan-perusahaan ini harus terbebani oleh kebijakan Pemerintah? Masihkah visi dan misi perseroan tersebut relevan? Mari kita simak kelanjutannya.
Oleh : Khalid Umar, Rangga Afyan Dwiokta, Gerry Adam Alwyn Syah, Gerald Adam Alwyn Syah Â
Referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H