Kita tahu bahwasanya pernikahan anak atau child marriage masih marak terjadi di Indonesia. Dalam Laporan Statistik Indonesia mencatat ada 1,74 juta pernikahan sepanjang 2021.
Jumlah ini menurun 2,8% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 1,79 juta pernikahan. Saking seringnya mendengar atau berada dalam situasi ini, kita seakan dipaksa berbaur dan menjadikannya sesuatu hal yang awam. Seolah-olah, child marriage is part of our life.
Tren perennial ini memang masih banyak diterapkan di beberapa negara khususnya negara-negara berkembang seperti Indonesia. Memang, terdapat aturan pemerintah mengenai minimal usia seseorang untuk menikah yaitu di atas 18 tahun.
Tapi dalam praktiknya, pernikahan anak ini banyak dilakukan secara illegal maksudnya adalah melalui agama atau culture di masing-masing daerah.
Dilansir oleh Plan International, alasan utama tingginya tingkat pernikahan anak ini adalah karena kurangnya akses ke pendidikan, peluang ekonomi dan layanan kesehatan, terutama bagi anak perempuan, serta kemiskinan yang ekstrem dan mekanisme hukum dan penegakan yang lemah.
Menurut Mark Pierce, direktur regional Plan International untuk Asia, mengatakan: "Pada akhirnya, ketahanan pernikahan anak terletak pada diskriminasi gender yang mengakar, tetapi faktor ekonomi, ketergantungan ekonomi anak perempuan dan tradisi memainkan peran penting”.
Tapi, pernahkah kalian berpikir jika memang alasan terbesar yang mendasari adanya pernikahan anak adalah kemiskinan, bukankah dengan menikahkan anak-anak yang bahkan belum bisa mencari uang sendiri dan masih membutuhkan pendidikan akan menghantarkan mereka kepada kemiskinan yang berujung? Ini tak lebihnya dari lingkaran setan.
Belum lagi masalah-masalah lain yang mengancam anak-anak ketika menikah, khususnya anak perempuan. Mereka belum matang baik secara fisik maupun mental.
Bagaimana mereka survive ketika hamil, melahirkan dan membesarkan anak? Bahkan, menurut analisis baru Save the Children yang dirilis pada Hari Anak Perempuan Internasional terdapat lebih dari 22.000 anak perempuan diperkirakan meninggal setiap tahun akibat kehamilan dan persalinan sebagai akibat dari pernikahan anak. Angka yang sangat mengejutkan.
Lalu, bagaimana bioetika memandang masalah ini? Apakah child marriage merupakan sesuatu yang dibenarkan secara etika? Is it morally right? Dan bagaimana seharusnya kita bersikap dalam menghadapi masalah ini?