Mohon tunggu...
Khalida Athaya Divariani
Khalida Athaya Divariani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Pendidikan sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pandemi dan Krisis Perekonomian

5 Mei 2020   16:07 Diperbarui: 5 Mei 2020   15:59 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi virus corona semakin menjadi momok nyata bagi berbagai negara di seluruh dunia. Ancaman Tantangan Hambatan Gangguan (ATHG) pun tidak bisa dihindari. Tak terkecuali di Indonesia, pada sektor ekonomi khususnya. Dilansir dari Katadata Indonesia, menurut Fithra Faisal Hastiadi seorang ekonom dari Universitas Indonesia, beliau menyampaikan bahwa pandemi covid-19 sebagaimana yang dinyatakan oleh WHO ini sudah berdampak global, ini akan menyerang tidak hanya China, tapi juga negara-negara lainnya. 

Sebelumnya China sudah terdampak paling serius, dan sebenarnya itu sudah cukup mengkontraksi perekonomian Indonesia. Setiap 1% perekonomian China turun, maka perekonomian Indonesia pun akan turun sekitar 0,2% dan oleh karenanya kemungkinan besar ini juga akan berpotensi memicu terjadinya krisis atau resesi global. Virus corona yang melukai ekonomi Tiongkok ini berdampak pada perekonomian global. Dilansir dari Al Jazeera English, hanya dalam seminggu 3,3 juta warga Amerika menjadi pengangguran. Kemudian bertambah menjadi 6,6 juta orang dalam kurun waktu 5 minggu.

 Anna Mahlum, CEO dari sebuah perusahaan bernama Solidcore di Amerika menyampaikan bahwa ia harus membuat suatu keputusan yang terasa mustahil, yaitu memberhentikan sekitar 98% karyawan dari perusahannya. Resesi yang terjadi akibat pandemi Covid-19 bisa sama buruknya seperti saat krisis keuangan global terjadi atau bahkan bisa menjadi lebih buruk. 

Seperti yang kita ketahui, pada beberapa dekade sebelumnya, dunia telah melalui berbagai goncangan ekonomi yang dahsyat, seperti Krisis Malaise pada  29 Oktober 1929 sebagai sebuah goncangan besar yang pernah menghancurkan Amerika. Lalu peristiwa serangan 9/11 tepat satu dekade yang lalu, yang membuat perekonomian terutama indutsri penerbangan di Amerika mengalami krisis hebat. 

Saat ini, pandemi Covid-19, yang memang pada hakikatnya adalah suatu hal yang tidak di prediksi, namun dapat menyebabkan guncangan yang lebih besar pada krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Krisis keuangan yang terjadi akibat pandemi Covid-19 memiliki ciri khas tersendiri. Karena sebenarnya krisis paling utama yang terjadi adalah krisis kesehatan. 

Sehingga para ekonom menyimpulkan bahwa 'apabila kita hanya fokus untuk memperbaiki krisis ekonominya saja, itu seperti memperbaiki rumah ketika masih terbakar', yang artinya sia-sia. Jika kita tidak berusaha untuk mengendalikan penyebaran virus, maka kelak penderitaan yang terjadi akan jauh lebih besar dampaknya. Berbagai negara di dunia pun berusaha untuk 'meratakan'  garis kurva penyebaran covid-19. Seperti menerapkan aturan lockdown, social distancing, di Indonesia sendiri beberapa provinsi telah menerapkan aturan (Pembatasan Sosial Berskala Besar) atau disingkat PSBB. 

Faktanya hal-hal tersebut memiliki konsekuensi, dimana semakin 'agresif' pemerintah dalam suatu negara menerapkan pembatasan-pembatasan di atas yang seyogyanya memiliki tujuan untuk memperlambat penyebaran virus dan menyelamatkan kehidupan, maka resesi yang terjadi pun akan semakin 'agresif'. Hampir semua sektor ekonomi terkena dampak resesi, terutama para pekerja di bidang jasa dimana secara teknis, normalnya mereka bertatap muka dengan para pelanggan, tetapi dengan adanya aturan-aturan diatas, dimana para pelanggan mereka dirumahkan sehingga secara otomatis mereka kehilangan sumber penghasilan. 

Di India, dimana 1,3 miliar penduduknya berada dibawah aturan lockdown, 80% dari pekerja di India merupakan pekerja harian dan berpenghasilan harian pula, 120 juta dari mereka merupakan pekerja imigran yang sekarang sudah kehilangan pekerjaannya. Di Afrika Selatan, para tentara memastikan 57 juta penduduknya agar diam di rumah. Pakar kesehatan Afrika Selatan, Siviwe Gwarube menyampaikan "Hampir setengah dari orang Afrika Selatan berada di bawah garis kemiskinan, maka ketika mereka tidak bekerja itu berarti mereka berada pada garis 'makan atau tidak'".  

Lalu bagaimanakah cara mengatasi masalah pengangguran yang mengglobal serta stagnansi ekonomi, beberapa dari kita mungkin merasa familiar dengan konsep supply (penawaran) dan demand (permintaan). Ketika pabrik-pabrik, berbagai bisnis dan juga perbatasan antar negara ditutup, hal tersebut memicu adanya lonjakan penurunan pasokan yang memicu pula lonjakan penurunan permintaan karena sektor industri tidak membutuhkan bahan baku karena mereka tidak melakukan produksi. 

Kondisi lockdown berarti bahwa tidak adanya kegiatan ekonomi atau jual beli diantara masyarakat akibat adanya ketidakmampuan masyarakat dalam menjalankan sistem ekonomi yang dipicu karena masyarakat sendiri tidak menghasilkan pendapatan. 

Dengan adanya pandemi covid-19,  posisi China sebagai pusat pabrik ekonomi dunia ikut terhenti. Tim Jackson seorang Ekonom dari Universitas Surrey mengatakan "Kegiatan produksi di China menurun hingga 25% selama tiga bulan terakhir yang merupakan kejutan besar bagi perekonomian dunia". "Kekhawatiran terbesar di China yaitu pada PDB (Produk Domestik Bruto) yang sudah menuju angka -1%" tutur Ekonom Hosuk Lee Makiyama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun