Menurut Lutfi dalam "etika komunikasi perspektif islam", komunikasi yang demikian seharusnya dipertimbangkan secara lebih matang dalam memposting status dan komentar di media sosial agar tidak menyinggung perasaan orang lain meskipun pengguna media sosial atau netizen bebas mengeluarkan pendapatnya di kolom komentar yang tidak ada batasnya (Muawanah, 2021). Selain itu, rupanya komentar netizen yang sarkasme, menurut Nyoman dan Putu, verbalbullying yang mengemuka di media sosial yang bermaksud melucu atau menghadirkan kesan humor kepada khalayak dunia maya, tetapi hal ini sebenarnya menyindir (Suciartini & Sumartini, 2018). Secara umum menurut Joviano, Wella dan Ririn berdasarkan analisa yang mereka lakukan melalui model Support Vector Machine (SVM) dengan akurasi 81.2%, dengan kesimpulan bahwa dalam sebuah kolom komentar Instagram YouTuber Indonesia terdapat 49.524% komentar yang mengandung unsur cyberbullying (Siahaan et al., 2020).
- Etika Komunikasi Netizen dan Media Sosial
Segala sesuatu dimudahkan secara praktis termasuk untuk menjangkau ilmu pengetahuan. Orang tidak perlu lagi repot pergi ke perpustakaan membaca buku, pergi ke pasar untuk belanja dan sebagainya, asalkan terkoneksi dengan internet, orang dapat menjangkau segalanya dengan mudah. Perkembangan teknologi ini tentu tidak hanya melahirkan media baru tetapi juga komunikasi dan interaksi manusia yang baru (Prasetya et al., 2022) (Nurrachmi F & Puspita T, 2018). Â Komunikasi dan interaksi yang baru ini dapat kita temukan di media sosial yang memaparkan banyak platform yang menarik. Mobilisasi dan orkestrasi yang terus mengalir sebagai wujud dari revolusi industri dari mesin dan segala benda, baik buatan alam maupun manusia, sama-sama terhubung dengan manusia dari segala belahan dunia (Kasali, 2019). Menurut Rhenald hal ini terjadi karena adanya koneksi melalui enam pilar teknologi, yakni Internet of thing (IoT), Cloud Computing, Big Data Analytics, Artificial Intelligence, Super Apps, dan Broadband Infrastructure (Kasali, 2019). Â Setiap pilar teknologi yang memengaruhi koneksi manusia ini tentu memiliki unsurnya masing-masing. Contohnya, super apps (suatu aplikasi kelas gajah dengan pengunduh ratusan juta orang) dan media sosial yang ada dalam device merupakan interface platform yang digunakan hampir bahkan lebih dari 3,5 miliar penduduk dunia secara aktif, yang kemudian dikirim berupa data ke cloud melalui broadband infrastructure (network) (Kasali, 2019).Â
Sistem ini juga memberi pengaruh bagaimana kinerja dalam pengolahan data. Tanpa disadari, para pengguna media sosial masuk pada kondisi digital panoptic-on, suatu pengawasan yang secara detail untuk mendapatkan selengkap mungkin data perilaku penggunaan internet melalui big data analysis (Gunawibawa et al., 2021). Kemudian melalui data analitik ini, big data itu bisa memberikan detail-detail yang kemudian diolah oleh algoritma masing-masing super apps dan platform (Kasali, 2019) yang digunakan oleh jutaan orang di dunia ini. Pada saat yang sama, orang tidak menyadari data-datanya bisa diretas oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Tetapi pada satu sisi segalanya dimudahkan dalam proses pencarian ilmu pengetahuan. Manusia masuk pada mobilisasi yang deras dengan segala kejeniusannya. Namun, apakah netizen kita sungguh-sungguh paham mengenai prinsip-prinsip mobilisasi dan terpanggil menjadi genuine participant (partisipan dengan nilai-nilai yang positif), maupun yang menerima tugas khusus pesanan untuk mengganggu brand-brand kuat (Kasali, 2019).
Teori Habermas dapat diterapkan untuk memahami bagaimana netizen Indonesia berkomunikasi dan berpartisipasi dalam diskusi online. Penelitian menunjukkan bahwa netizen Indonesia cenderung terbawa perasaan dan tidak mempertimbangkan realitas dengan baik ketika berpartisipasi dalam diskusi online. Hal ini dapat dikaitkan dengan kurangnya rasionalitas dalam komunikasi online, serta kecenderungan untuk tidak mempertahankan hak-hak individu dan membangun solidaritas sosial. Dalam penelitian lain, teori komunikasi Habermas digunakan untuk menganalisis etika komunikasi netizen Indonesia di media sosial. Penelitian ini menemukan bahwa komunikasi dan opini yang disampaikan dalam kolom komentar sering kali tidak mempertimbangkan aspek rasionalitas dan dapat berkontribusi pada komunikasi yang tidak rasional.
- Media Sosial sebagai Ruang Publik Demokrasi
Demokrasi merupakan suatu sistem atau hidup yang melibatkan semua orang dalam membangun suatu bangsa dan negara, di dalamnya orang bersama-sama menyelesaikan atau memecahkan persoalan atau kesulitan yang dihadapi oleh suatu negara, dan bukan didikte oleh diktator (Bertens, 2001). Seperti yang sudah kita diketahui bahwa konsep demokrasi selalu menjunjung nilai partisipatif. Setiap warga negara memiliki hak untuk terlibat dalam membangun negaranya. Tetapi konsep demokrasi ini sering kali dikotori oleh beberapa oknum tertentu untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Media sosial menjadi ruang publik digital yang dapat disentuh oleh banyak orang. Ada suatu identitas baru yakni identitas digital yang menunjukkan siapa manusia dewasa ini (Prasetyo, 2022). Namun pada saat yang sama, Habermas melihat ruang publik digital ini telah dikomersialisasikan demi kepentingan pemilik modal atau pemasang iklan (Haezer, 2018). Di dalamnya ada orang yang mengambil kesempatan untuk kepentingan-kepentingan politik.  Melihat realitas perkembangan dunia dan segala persoalanya ini, kita perlu menata kesadaran demokrasi ini dengan sungguh-sungguh dan serius. Kiranya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa dewasa ini terdapat kesadaran umum atau kesepakatan luas di antara para peserta diskursus yang melintas perbagai aliran dan gaya pemikiran politik, bahwa pertama, sistem politik kita sekarang masih memiliki defisit dalam kadar kedemokrasiannya, dan kedua, bahwa sekarang sudah waktunya kadar demokrasi sistem politik kita ditingkatkan (MagnisSuseno, 1997). Partisipasi demokrasi ini bukan hanya untuk memenuhi hukum atau sistem pemerintahan tetapi untuk membangun kesadaran bahwa kita adalah makhluk sosial yang rasional. Artinya setiap warga negara berhak mengambil posisi partisipatif mengembangkan negaranya tanpa ada yang didiskreditkan atau dikucilkan. Bangsa Indonesia tidak bisa mengambil jalan lain. Dia harus berada pada sistem demokrasi yang menuntunnya pada cita-cita bangsa yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kehadiran media sosial yang memberi ruang informasi tentu menjadi ranah perdebatan yang pada masanya masuk pada industrialisasi wacana tentang media publik atau jurnalisme publik (Supriadi, 2017). Hal ini kemudian dikritisi oleh Habermas terkait dengan perindustrian yang meng komoditi informasi demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Media sosial menjadi dua mata pisau yang dapat membunuh kesadaran manusia karena disuguhi berbagai informasi dan sekaligus memanjakan pikiran untuk menikmati konten-konten yang terus update.  Terkait dengan kehadiran media sosial yang menjadi ranah ruang publik demokrasi. Subjek atau pengguna media sosial perlu dan harus memiliki kontrol sosial yang intensitasnya sama tanpa mendiskreditkan yang lain (Pembayun, 2017). Nilai demokrasi dalam ruang publik media sosial pun tidak dipinggirkan. Kebebasan dalam bermedia sosial tetap pada porsinya. Masyarakat tetap memiliki kebebasannya sebagai bentuk partisipasi politik. Hal inilah yang diinginkan oleh Habermas dalam mencapai ruang publik yang sehat. Semua kalangan terutama masyarakat bawah mampu masuk pada nilai konsensus yang rasional (Pembayun, 2017). Tentu dengan suatu komunikasi yang sepadan dengan aparat pemerintahan yang dijembatani oleh media teknologi. Media komunikasi memang memberikan kebebasan kepada siapa saja untuk berpendapat dan beraspirasi. Dalam Undang-Undang pasal 28E ayat 3 menetapkan tentang kebebasan berpendapat dan mengekspresikan diri. Setiap orang berhak menyampaikan opininya, berkumpul dan bermufakat bersama demi kebaikan bersama atau bonum communae.  Melalui opini personal yang disampaikan kepada publik melalui media sosial menjadi pertimbangan bersama dalam kebijakan umum. Artinya ada nilai partisipatif dari rakyat untuk kebaikan bersama. Konsep inilah yang menurut Habermas sebagai ruang publik yang mampu menjembatani nilai-nilai demokrasi yang diharapkan oleh semua orang demi kepentingan bangsa. Masyarakat tidak hanyut dengan sikap konsumerisme yang sifatnya menerima saja tetapi tidak sadar realitas baru. Oleh karena itu perlu suatu kesadaran kritis yang membuat mereka bebas dan bertanggung jawab dengan hidupnya dan sesama. Â
Â
Daftar Pustaka
- Nurrachmi F, S., & Puspita T, R. (2018). Etika Komunikasi Netizen di Media Sosial (Studi Etnografi Virtual Terhadap Etika Berkomunikasi Netizen dalam Menerima Berita dan Informasi pada Halaman Facebook E100 Radio Suara Surabaya). Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(1), 1-9s.
- Muawanah, L. (2021). Etika Komunikasi Netizen di Instagram dalam Perspektif Islam. Jurnal AthThariq, 05(02), 129--148. https://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/ath_thariq
- Howe, L. A. (2000). On Habermas,. Wadsworth Philosophers Series.
- Hardiman, F. B. (2009a). Demokrasi Deliberatif Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Kanisius
- Rachmat Kriyantono, Kriyantono (2019) Pengantar Lengkap Ilmu Komunikasi Filsafat dan Etika Ilmunya Serta Perspektif Islam.