Nama : Khalda Khairunnisa Fitriani
NIM : 23010400103
Mata Kuliah : Filsafat dan Etika Komunikasi
Dosen Pengampu : Dr. Nani Nurani Muksin, S.Sos, M.Si
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ( Fisip )
Filsafat dan Etika Komunikasi netizen indonesia di media sosial sebagai ruang demokrasi
Perkembangan teknologi hari ini hampir tidak bisa dibendung lagi oleh apa pun karena hampir semua aktivitas manusia digerakkan dan dipengaruhi oleh media komunikasi dan teknologi. Platform-platform media sosial yang menarik ditawarkan kepada masyarakat dengan sangat mudah, seperti Whatsapp, Tiktok, Instagram dan sebagainya. Orang dapat dengan mudah dan bebas berkomunikasi dalam platform tersebut. Sebab di dalamnya terdapat ruang untuk menyampaikan gagasan-gagasan atau ide-ide yang bisa diakses oleh semua orang. Netizen (masyarakat yang aktif dalam kegiatan media online) diberi ruang yang tidak terbatas pada tempat dan waktu. Ada keleluasan untuk menyampaikan apa pun termasuk mengomentari postingan orang lain.Â
Ada pun komunikasi dalam media sosial tentu berbeda dengan komunikasi dalam perjumpaan langsung atau verbal. Komunikasi dalam media sosial tentu validitasnya diragukan karena didasarkan pada sikap atau perasaan emosional yang tidak teruji. Fenomena tentang komentar yang sarkasme dalam media sosial pun sering terjadi, misal: kurang sopannya netizen Indonesia pada kolom komentar di Twitter, Facebook, Instagram dan media sosial lainnya (Fauziah, 2021). Padahal sejatinya komunikasi merupakan suatu kenyataan diri yang "mengada" dan ini merupakan sebuah esensi manusia. Komunikasi diri manusia bukan sekedar disimak dalam kaitannya dengan manusia yang berkomunikasi satu dengan yang lain (Riyanto, 2018).Â
Komunikasi itu hendaknya dibawa ke dalam ranah rasionalitas yang membangun. Â Habermas, seorang filsuf komunikasi menawarkan suatu teori tindakan komunikasi untuk mencapai konsensus yang mumpuni sekaligus mengarahkan pada bonum communae (Habermas, 2006). Konsep tindakan komunikatif ini sebenarnya mau menampilkan sebuah pembicaraan di mana para peserta mensistematisasikan validitas yang bermasalah dan mencoba untuk mengkritisi realitas sosial dengan argumentasi-argumentasi yang memadai. Artinya, argumentasi tersebut mampu menghubungkan realitas sosial dengan pandanganpandangan yang ada. Orang tidak sekedar mengeluarkan komentar-komentar tetapi sungguhsungguh paham realitas dalam sebuah kesadaran yang penuh. Indonesia, dalam konteks ini sebagai negara demokrasi, yang memberikan kebebasan kepada masyarakat, memerlukan suatu deliberasi yang kuat untuk menghindari distraksi yang memecahkan rakyatnya. Deliberasi merupakan cara untuk mengerti kebutuhan masyarakat karena memiliki pertimbangan-pertimbangan yang kuat.Â
Deliberasi berasal dari kata latin deliberatio yang berarti "konsultasi, menimbang-nimbang, atau melakukan pertimbangan mendalam." Hal ini hanya bisa dibangun dalam kesadaran yang rasional tentang etika berkomunikasi sehingga orang tidak mudah memunculkan sarkasme. Di dalamnya, orang tidak sesuka hati mengungkapkan emosinya dengan kata-kata yang berlebihan bahkan menjelekkan tanpa suatu penilaian kritis (Christina, 2019). Sebab  media sosial menjadi ruang kebebasan bagi banyak orang untuk mengekspresikan dirinya. Namun, sebaliknya menjadi ruang bagi netizen untuk meluapkan komentar-komentar yang positif maupun negatif. Efek dari kebebasan beropini di media sosial ini rupanya tidak luput dari Verbal Bullying yang merugikan beberapa orang. Menurut Nyoman dan Putu dalam tulisan mereka "Verbal Bullying Dalam Media Sosial" hal ini bisa berpengaruh terhadap psikologi korban bullying, mendapat ancaman, merendahkan harga diri, membuat rasa tidak nyaman, selalu mencurigai setiap orang yang berkomentar, dipenjara, intimidasi lingkungan sosial, dan paling parah membuat korban bullying ini menjadi pelaku bullying dan membiasakan verbal bullying sebagai sebuah kewajaran atau wadah lelucon (Suciartini & Sumartini, 2018). Â
Menurut Diah dan Atiqa dalam "penelitian mengenai respon netizen terhadap caption Publik Figur di Instagram" memunculkan tiga attitude yaitu affect, judgement, dan appreciation (Purwaningsih & Sabardila, 2020). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ida dan kawan-kawan dalam tulisan mereka "Tuturan Kebencian Dalam Komentar Warganet.." mengenai komentar netizen mencakup sebagai berikut, yakni (1) bentuk penghinaan, (2) bentuk penyebaran berita bohong, (3) bentuk provokasi, (4) bentuk pencemaran nama baik, (5) bentuk penistaan, dan (6) bentuk penghasutan (Nuraeni et al., 2022). Bentuk-bentuk komentar yang diberikan oleh netizen ini tentu disampaikan secara spontan tanpa memikirkan efek atau resikonya bagi pengguna akun yang dikomentari. Netizen merasa bebas berpendapat dan mengekspresikan isi hati dan pikirannya di kolom komentar siapa pun.Â