Sekitar tahun 1984-1986 masyarakat Desa Grinting diperkenalkan dengan jenis komoditas udang windu. Saat itu terjadi pencapaian produksi budidaya udang windu yang sangat pesat dan mengalami blooming dengan produksi rata-rata sebesar 1 ton per hektar melalui pola semi intensif pada tahun pertama.
Namun seiring berjalannya waktu produksi udang windu mengalami penurunan, yaitu pada tahun 1988 didapat hasil rata-rata sebesar 7,5 kuwintal per hektar dan pada tahun 1989 hanya didapat produksi rata-rata sebesar 3 kuwintal per hektar.Â
Hingga akhirnya pada tahun 1990 produksi budidaya udang windu mengalami gagal panen dan dihentikan hingga sekarang dengan alasan tingginya pencemaran yang disebabkan karena pemaikaian obat-obatan dan juga kegiatan budidaya yang melupakan kaidah-kaidah daya dukung lingkungan sehingga mengakibatkan penurunan kualitas tanah pertambakan. Kini masyarakat hanya mengandalkan dari budidaya bandeng dan selebihnya berharap dari perikanan tangkap (sungai & laut).
Potensi SDM internal yaitu potensi yang dimiliki oleh struktural pemerintahan desa beserta lembaga yang ada didalamnya. Diantaranya BPD, LPM, PKK dan Karang Taruna. Semua organisasi ini selalu bersinergi disetiap kegiatan yang diselenggarakan oleh desa.
Selain itu ada SDM eksternal yaitu SDM yang diluar dari struktural pemerintahan. Desa Grinting memiliki organisasi masyarakat yang juga aktif dan turut serta dalam mensinergikan pembangunan di antaranya: Relawan SID, Pokdarwis Garuda Jaya, Pramuka Gugus Depan Teriorial, KPPMG (Keluarga Pemuda Pelajar Mahasiswa Grinting), Pemuda Muhhammadiyah, Pemuda NU, Fatayat NU, Aisyiah, Banser NU dan Forum Komunikasi Antar Paguyuban (FKAP) yang menaungi 22 Paguyuban di Desa Grinting, GRINJAK, Forum Penggiat Sosial Media, Forum Peduli Pendidikan / Gerakan Kembali Bersekolah dan masih banyak lainnya yang semua organisasi ini bersinergi ketika ada kegiatan apa saja yang diselenggarakan.
Dari potensi yang dimiliki Desa Grinting, berbanding terbalik dengan stigma yang melekat pada desa ini dengan brand image sebagai desa pengemis. Sejarah Desa Grinting dicap sebagai desa pengemis bermula pada awal tahun 80-an dikenal sebagai kampung pengemis karena banyaknya warga yang bermigrasi ke kota-kota besar, khususnya Jakarta, untuk menjadi pengemis.Â
Namun stigma kampung pengemis seakan terus tertancap dalam hingga kini. Hal ini terus menerus diberitakan oleh media lokal maupun nasional ketika masuk bulan Ramadhan. Sehingga bisa dikatakan stigma tersebut tidak dapat begitu saja dihilangkan dari pemikiran orang luar desa untuk melabelkan Desa Grinting.Â
Sehingga berawal dari stigma Desa Pengemis yang terus menerus melekat di Desa Grinting ini, kini melalui potensi yang ada, Desa Grinting terus berbenah dengan memaksimalkan baik potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Desa Grinting kini bangkit dengan semangat baru menuju Desa Pengemas.
Melalui dobrakan dari Pemerintah Desa Grinting yang didukung oleh Dana Desa dan Alokasi Dana Desa, APBdes, Bankeu dll, kini pembangunan insfrastruktur terus dikebut. Selain itu juga penguatan masyarakat terus dilakukan. Sinergisitas antara organisasi masyarakat terus dilakukan. Kegiatan besar juga dilaksanakan, bukan hanya event lokal tapi juga event nasional guna menguatkan stigma bahwa desa grinting  merupakan desa pengemas.