Selain pemberian kepada Harno Trimadi dan Fadliansyag, Parjono atas persetujuan Yoseph Ibrahim juga memberikan uang seluruhnya sejumlah Rp240 juta dengan rincian kepada Hamdan sejumlah Rp40 juta; kepada Ketua Pokja Pengadaan pekerjaan 6 - Perlintasan Sebidang Wilayah Jawa dan Sumatera TA 2022 Edi Purnomo sejumlah Rp100 juta; dan kepada Ketua Pokja Pengadaan Penanganan Perlintasan Sebidang Pada Jalur KA di Wilayah Jawa dan Sumatera TA 2023 Budi Prasetyo sebesar Rp100 juta.
Pendahuluan
 Korupsi merupakan salah satu kejahatan paling serius yang menggerogoti sistem pemerintahan dan perekonomian di banyak negara, termasuk Indonesia. Sebagai negara yang memiliki tantangan besar dalam pemberantasan korupsi, Indonesia telah menempatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ujung tombak dalam menangani kasus-kasus besar yang merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional. Dalam proses penegakan hukum, prinsip-prinsip hukum pidana menjadi dasar utama untuk memastikan bahwa para pelaku tindak pidana korupsi—baik individu maupun korporasi—dapat dijerat secara adil dan efektif. Salah satu konsep hukum pidana yang sangat relevan dalam konteks ini adalah Actus Reus dan Mens Rea, dua elemen fundamental yang diperkenalkan oleh Edward Coke, seorang ahli hukum Inggris yang dikenal sebagai salah satu bapak hukum pidana modern.
  Edward Coke, yang hidup pada abad ke-16 dan ke-17, adalah pelopor dalam merumuskan elemen-elemen kejahatan pidana. Ia menegaskan bahwa untuk menetapkan seseorang sebagai pelaku tindak pidana, harus ada dua hal yang terbukti: Actus Reus, yaitu perbuatan melawan hukum yang nyata, dan Mens Rea, yaitu niat jahat atau kehendak untuk melakukan perbuatan tersebut. Konsep ini terus berkembang dan diterapkan dalam berbagai sistem hukum di dunia, termasuk Indonesia. Dalam kasus korupsi, Actus Reus merujuk pada tindakan korupsi itu sendiri, seperti penyuapan, penggelapan, atau penyalahgunaan kekuasaan, sementara Mens Rea berfokus pada niat atau kesengajaan pelaku untuk mendapatkan keuntungan dengan cara melawan hukum.
 Relevansi konsep Actus Reus dan Mens Rea dalam pemberantasan korupsi di Indonesia semakin kuat ketika menghadapi tantangan dalam membuktikan tindak pidana yang melibatkan korporasi. Korporasi, sebagai entitas hukum, tidak memiliki tubuh fisik atau kehendak seperti manusia, sehingga pembuktian niat jahat (Mens Rea) sering kali menjadi persoalan yang kompleks. Meski demikian, hukum di Indonesia telah mengakomodasi kemungkinan bahwa sebuah badan hukum, seperti perusahaan, dapat dijerat dalam kasus tindak pidana korupsi. Dalam praktiknya, tindakan korupsi korporasi biasanya dilakukan oleh individu-individu yang berada di dalam perusahaan, seperti direktur atau manajer, yang bertindak atas nama perusahaan tersebut. Oleh karena itu, untuk membuktikan keterlibatan korporasi dalam kejahatan, penyelidik harus membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh individu-individu tersebut merupakan bagian dari keputusan perusahaan secara keseluruhan.
  Indonesia memiliki banyak kasus korupsi besar yang melibatkan korporasi, seperti kasus PT Duta Graha Indah (DGI), yang kemudian berganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE). Kasus ini adalah salah satu contoh nyata bagaimana sebuah korporasi dapat melakukan tindakan melawan hukum secara sistematis untuk memenangkan proyek pemerintah melalui penyuapan atau manipulasi kontrak. Dalam kasus ini, KPK berhasil membuktikan adanya unsur Actus Reus, berupa tindakan nyata seperti manipulasi dokumen dan pemberian suap, serta Mens Rea, yaitu kesengajaan pihak perusahaan untuk merugikan negara demi keuntungan pribadi dan korporasi.
 Pendekatan ini menunjukkan pentingnya integrasi konsep-konsep hukum pidana klasik seperti Actus Reus dan Mens Rea ke dalam penegakan hukum modern. Tanpa elemen-elemen ini, sulit bagi lembaga seperti KPK untuk membangun kasus yang kuat terhadap pelaku korupsi, terutama dalam konteks kejahatan korporasi yang sering kali melibatkan jaringan yang rumit dan tersembunyi. Oleh karena itu, memahami dan menerapkan konsep-konsep ini tidak hanya membantu dalam memberikan keadilan bagi para korban korupsi tetapi juga memperkuat pencegahan korupsi di masa depan.
 Dalam artikel ini, akan dibahas bagaimana konsep Actus Reus dan Mens Rea diaplikasikan dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia, dengan fokus pada kasus-kasus yang melibatkan korporasi. Artikel ini juga akan mengkaji relevansi teori Edward Coke dalam konteks hukum Indonesia, serta bagaimana penegakan hukum modern dapat dioptimalkan dengan pendekatan ini. Selain itu, beberapa kasus nyata di Indonesia akan dianalisis untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang penerapan konsep ini dalam praktik. Melalui pembahasan ini, diharapkan kita dapat memahami lebih dalam bagaimana sistem hukum Indonesia bekerja dalam memberantas tindak pidana korupsi dan memberikan efek jera kepada para pelaku.
Penjelasan Konsep Actus Reus dan Mens Rea
- Actus Reus (Perbuatan Melawan Hukum)
- Secara harfiah berarti "tindakan bersalah." Ini adalah elemen fisik atau tindakan nyata yang dilakukan seseorang atau badan hukum yang melanggar hukum.
- Dalam kasus korupsi, Actus Reus mencakup tindakan seperti:
- Penyuapan (memberi/menerima suap).
- Penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi atau korporasi.
- Penggelapan dana publik atau manipulasi laporan keuangan.
- Mens Rea (Niat Jahat)
- Mengacu pada unsur mental atau psikologis di balik tindakan melawan hukum.
- Mens Rea membuktikan bahwa pelaku memiliki kesadaran dan kehendak jahat untuk melakukan kejahatan.
- Dalam kasus korupsi, Mens Rea bisa ditunjukkan melalui:
- Perencanaan penyuapan secara sadar.
- Kesengajaan dalam menyalahgunakan kekuasaan.
- Upaya menyembunyikan keuntungan hasil korupsi.