Mohon tunggu...
Khairunnisa Musari
Khairunnisa Musari Mohon Tunggu... lainnya -

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala" - Sayyid Quthb. Untuk artikel 'serius', sila mampir ke khairunnisamusari.blogspot.com dan/atau http://www.scribd.com/Khairunnisa%20Musari...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Cerita Haji (3): Berhajilah Kala Muda

14 Agustus 2016   22:25 Diperbarui: 21 Agustus 2016   22:17 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entahlah, tapi tenda tak ber-AC itu sungguh menggelisahkan. Tidak tidur, salah. Tidur, salah. Semua serba salah. Bertilawah, tak mampu bertahan lama. Hanya istighfar yang banyak terucap lirih sembari memohon agar dimampukan untuk menjalani seluruh rangkaian haji mulai dari wukuf, mabit di Mina, mabit di Muzdalifah, hingga menjalani tawaf dan sa’i. Ya, sembari bercucur air mata, saya tak berhenti-berhenti meminta dimampukan menjalani seluruh proses ibadah haji. Belum juga menjalani wukuf di 9 Dzulhijah, nyali saya sudah ciut merasa seolah tak mampu menjalaninya...

Pada 8 hingga 9 Dzulhijah, ada saja yang jatuh sakit. Ada yang karena tidak mau makan, lalu mereka lemas. Tapi sebagian besar karena dehidrasi. Setidaknya cerita dari seorang kenalan yang berasal dari Bogor, di kloter mereka banyak sekali yang diberi infus oleh dokter kloter. Dan mereka-mereka itu adalah para lansia. Dokter kloter sampai berulang kali meminta kepada jamaah untuk banyak minum agar tidak bertambah yang 'bertumbangan', ditambah lagi stok infus sangat terbatas dan sudah banyak dipakai.

Buat saya, 8 Dzulhijah menjadi puncak terberat dalam prosesi ibadah haji saat itu. Cuaca benar-benar menjadi ujian luar biasa bagi kami sepanjang pagi hingga sore hari. Air mata sudah tak mampu menitik. Hanya doa lirih nan lemah yang bisa saya bisikkan untuk menguatkan hati dan pikiran bahwa apa yang kami hadapi adalah ibadah dan harus ikhlas dalam menjalaninya.

Usai Maghrib, sampailah kami pada malam 9 Dzulhijjah. Sekitar jam 10-11 malam, badai pasir kembali terjadi bersamaan dengan gemuruh petir yang memekik diiringi angin kencang. Semua terperangah menyaksikan langit-langit tenda menari-nari seolah hendak terbang ke langit. Suara istighfar dan doa bersahut-sahutan dari bibir jamaah di dalam tenda saya. Saya yakin, tak ada yang tak takut dengan situasi malam itu. Alhamdulillah, 20-30 menit ketakutan itu perlahan mereda seiring angin dan petir yang seolah tak pernah terjadi. Subhanallah...

Akhirnya, sampai juga pada 9 Dzulhijjah pagi. Tempaan sehari sebelumnya telah membuat fisik saya adaptif terhadap cuaca di Arafah. Ditambah lagi azzam yang sangat besar untuk menyambut waktu dimana Allah berjanji akan mengabulkan semua doa. Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah kan....

Usai Dhuhur dan mengikuti khutbah Arafah oleh pendamping kloter kami, saya pun kemudian menengadahkan tangan. Doa-doa saya pintakan sembari air mata bercucuran membayangkan beratnya prosesi haji yang saya dan jamaah haji lalui. Mengingat betapa teriknya matahari pada 8 Dhulhijjah, saya membayangkan betapa panasnya kami semua ketika dikumpulkan di Padang Mahsyar kelak dengan matahari yang begitu dekatnya dengan ubun-ubun kepala kami. 

Doa-doa terlantun tidak hanya untuk diri, keluarga, tapi juga saudara, sahabat --baik yang menitipkan doa maupun tidak, insyaAllah tidak ada yang terlupa— bangsa, negara, bahkan juga saudara-saudara muslim di mana saja berada, terutama yang tengah dizalimi, diperangi, dan yang tengah diuji bencana dan penderitaan. Doa untuk para pemimpin, tak lupa terucapkan pula. Sungguh, tak ingin sedetik pun waktu mustajab tersebut berlalu begitu saja. Mengingat berbagai dosa khilaf maksiat di masa lalu, air mata tak habis-habisnya bercucuran memohon ampun...

Ketika mata sudah mulai terasa panas dan bengkak, barulah saya melayangkan pandangan kepada sekitar. Duhai Rabb, mengapa begitu banyak yang mengobrol mengelompok sembari tertawa-tawa? Dan mengapa banyak yang (ter) tidur...? Apakah mereka sakit atau lelah luar biasa sehingga tak bermunajat kepadaMu di waktu Arafah ini? Ya Rabb, izinkan hamba untuk menjadi hamba yang beruntung yang tidak menyia-nyiakan waktu mustajab yang sudah Engkau janjikan...

Akhirnya, usailah wukuf sebagai puncak dari ibadah haji. Ada perasaan bahagia penuh syukur telah melaluinya. Saya yang underestimate terhadap diri, ternyata dimampukan Allah untuk menjalaninya. Selanjutnya, sebelum Maghrib tiba, kloter kami beranjak ke Muzdalifah untuk mabit hingga tengah malam. Setelahnya, kami menuju Mina untuk melempar jumrah.

Melempar jumrah. Huffffhhhh.... Sebagaimana ketika melakukan umroh wajib dengan tingkat kelelahan yang tinggi, situasi fisik kami pagi 10 Dzulhijjah itu juga tidak berbeda jauh. Sebuah plang menginformasikan bahwa jarak posisi kami kepada lokasi Jumrah ‘Ula sekitar 3 km. Akhirnya, saya dan banyak jamaah lainnya tidak membawa botol air minum karena jarak tempuh yang relatif tidak begitu jauh. 

Dan... bersama-sama rombongan, saya menyusuri jalan untuk melaksanakan Jumrah ‘Ula. 1 km... 2 km... 3 km... Kami mulai saling bertanya mengapa belum sampai kepada lokasi melempar jumrah. 4 km... 5 km... 6 km... Saya mulai tidak mau berhitung-hitung jarak karena sudah tak mampu lagi memperkirakan berapa sesungguhnya jarak asli menuju lokasi melempar jumrah. Air liur kering. Nafas juga sudah menghembus keras. Hingga akhirnya, alhamdulilaah, sampai juga...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun