Hujan deras mengguyur kota medan malam itu, seolah-olah alam pun turut bersedih atas nasibku yang hancur. Deburan air hujan di jendela kamar sempit menjadi satu-satunya teman setia, menemani isak tangisku yang tak terbendung. Aku, Icha, seorang perempuan berusia 23 tahun, merasa seperti kapal pecah di tengah lautan badai. Beberapa bulan terakhir terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Pemutusan hubungan kerja yang mendadak membuat hidupku terasa kacau. Tabunganku semakin menipis, sementara tagihan kuliah terus menumpuk. Aku berusaha mencari pekerjaan baru, namun penolakan demi penolakan membuatku merasa putus asa dan kehilangan arah. Aku merasa kehilangan segalanya: pekerjaan, kemandirian, bahkan harapan.Â
"Ya Allah, apa salahku?" lirihku sambil meremas bantal yang sudah basah kuyup oleh air mata. Saya merasa Tuhan seolah-olah tidak adil padaku. Bukankah aku selalu berusaha menjadi orang baik? Bukankah aku selalu berjuang sekuat tenaga? Mengapa semua kesialan ini justru menimpaku?Â
Tak hanya masalah pekerjaan yang membebani pikiran, tapi juga masalah keluarga terus menghantuiku. Keputusan untuk mengambil cuti kuliah selama dua tahun lalu dan diterima di perguruan tinggi yang tidak sesuai dengan harapan membuatku harus berjuang sendiri membiayai kuliah dan hidupku. Beban ini terasa begitu berat, seakan-akan ada batu besar menindih pundakku. Aku terus berusaha bertahan demi masa depan yang telah aku bangun, namun kelelahan yang aku rasakan semakin dalam. Aku sering merasa kesepian dan hanya bisa menangis sendirian di kamar.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk bangkit dari keterpurukan. Tidak mungkin terus-menerus menyerah pada keadaan. Aku harus berbuat sesuatu. Dengan sisa semangat yang ada, aku memulai usaha kecil-kecilan dengan menjual keripik pisang cokelat di kampus. Pengalaman berjualan jajanan saat bekerja di pabrik dulu membangkitkan kembali semangatku. Aku berharap usaha ini bisa membantu memenuhi kebutuhan pribadi dan meringankan beban keluarga.Â
Awalnya, aku hanya membuat keripik pisang cokelat dalam jumlah terbatas dan menjualnya kepada teman-teman sekelas. Meskipun responsnya belum begitu besar, aku tidak menyerah. Aku terus berinovasi, belajar dari kesalahan, dan mencoba resep-resep baru yang lebih menarik. Seiring berjalannya waktu, di tengah kesulitan yang kuterima, mulai terbersit secercah harapan dalam diriku.Â
Namun, harapan itu kembali pupus. Saat mengantar pesanan keripik pisang cokelat, motorku tiba-tiba mogok di tengah jalan. Hujan pun turun deras, semakin menambah keputusasaanku. Aku berteriak sekuat tenaga di jalanan yang sepi, merasa terisolasi dan tak berdaya. Keringat dan air hujan membasahi tubuhku, sementara pesanan mulai rusak. Terduduk di pinggir jalan, air mataku mengalir tanpa suara. Aku merasa terjebak dalam lingkaran sial yang tak kunjung usai. Kehampaan menyelimutiku, aku tak tahu harus berbuat apa atau kepada siapa aku harus mengadu. Rasanya aku seperti boneka yang dipermainkan nasib, tanpa bisa berbuat apa-apa. Kelelahan mendera, aku benar-benar lelahÂ
Sebuah suara lembut tiba-tiba memecah kesunyian. Aku mendongak dan melihat seorang pria berdiri di hadapanku, memegang payung besar yang melindunginya dari hujan. Ia tersenyum simpul, menunjukkan lesung pipit yang manis. Pria itu bertubuh tinggi, rambutnya sedikit basah karena hujan, dan matanya memancarkan kehangatan. Aku tertegun melihatnya, merasa seperti ada secercah cahaya yang masuk ke dalam hatiku yang gelap. Aku mengangguk perlahan, masih dengan air mata yang membasahi pipi.Â
Raka : Maaf, apa kamu baik-baik saja?
Icha : (Mengangguk sambil menangis)Â
Raka : Sepertinya kamu sedang mengalami masalah. Bolehkah aku menerimanya?Â
Suaranya begitu tenang dan menenangkan. Aku hanya mengangguk lagi, tak mampu mengeluarkan kata-kata. Aku merasa seperti menemukan oase di padang pasir yang tandus. Pria itu membantuku mengangkat motor dan kardus berisi kue ke pinggir jalan. Ia kemudian membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel di sepeda motor dan juga di bajuku.Â
Raka : Namaku Raka, (ujarnya sambil tersenyum). Kalau kamu?Â
Icha : Icha, (jawabku pelan).Â
Raka : Icha, aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi bolehkah aku membantu memperbaiki motormu?Â
Icha : Kamu bisa memperbaiki motor?Â
Raka : Dulu saya sering membantu ayah di bengkelnya.
Aku hanya bisa memperhatikannya bekerja. Raka memeriksa setiap bagian motor dengan teliti. Tangannya begitu lincah. Aku kagum melihatnya. Rasanya ada yang berbeda dari dia. Kehadirannya seperti oase di tengah gurun yang panas. Setelah beberapa saat, motornya nyala lagi.Â
Icha : Terima kasih banyak, kamu benar-benar telah membantuku.Â
Raka : Sama-sama Icha. Tidak ada salahnya kan membantu sesama? Kebetulan saya sedikit mengerti tentang mesin. Â
Kami berbincang-bincang santai di bawah payung. Raka menceritakan tentang dirinya. Ia adalah seorang arsitek muda yang tengah merintis karier di bidang kelautan. Meskipun pernah mengalami masa-masa sulit, ia tidak pernah menyerah. Raka selalu berusaha menemukan sisi positif dalam setiap permasalahan yang dihadapinya. Kata-katanya yang bijak sangat menginspirasi.Â
Raka : Kamu juga harus semangat Icha, Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Jangan pernah menyerah ya!Â
Aku mengangguk, air mata kembali menetes. Kali ini, bukan air mata kesedihan, melainkan air mata haru. Sepertinya, ada secercah harapan yang kembali menyala di hatiku.Â
Raka : Bagaimana dengan keripik pisang cokelat ini? (sambil menunjuk kardus yang masih basah).Â
Icha : Sepertinya harus dibuang, Raka, (jawabku pasrah).Â
Raka : Kenapa dibuang? Sayang sekali. Bolehkah aku mencobanya?Â
Aku mengangguk, lalu mengambil sebungkus keripik pisang cokelat dari kardus. Matanya langsung membulat saat melihat keripik pisang cokelat itu.Â
Raka : Ini enak sekali, Icha! Kamu membuatnya sendiri?Â
Icha : Ini resep dari ibuku.Â
Raka : Pantasnya saja enak sekali. Kamu harus terus berjualan Icha. Jangan pernah menyerah ya. Kata-kata Raka seperti mantra yang mendukung semangat baru ke dalam diriku. Aku tersenyum, untuk pertama kalinya sejak berhari-hari bersedih.Â
Raka : Kalau begitu, bagaimana kalau aku membantu kamu menjual keripik pisang cokelat ini?Â
Icha : Bagaimana caranya? Raka : Aku punya kenalan yang sering mengadakan acara-acara kecil. Mungkin mereka bisa membelinya.Â
Aku merasa begitu beruntung bertemu dengan seorang pria yang begitu baik dan perhatian. Aku tak tahu bagaimana membalas kebaikannya.
Sejak hari itu, Raka sering sekali membantuku. Ia mengenalkan keripik pisang cokelat buatanku kepada teman-temannya, rajin mempromosikannya di media sosial, dan bahkan tak jarang mengantarkan pesanan langsung. Berkat bantuannya, bisnis keripik pisang cokelat kecil-kecilan aku mulai berkembang pesat. Pesanan pun terus mengalir, membuat semangatku semakin berkobar. Aku merasa telah menemukan kembali semangat hidup. Tak lagi merasa kesepian, karena ada Raka yang selalu ada di sisiku, memberikan dukungan dan semangat yang tak pernah putus. Ia bagaikan mentari yang menghangatkan hati aku di tengah badai kehidupan.Â
Raka itu bukan cuma partner bisnisku, tapi juga sahabat sejati. Dia selalu ada buat aku, apalagi kalau lagi down. Dia bisa banget bikin aku ketawa dengan becandaan-becandaannya yang lucu. Obrolan sama dia tuh selalu bikin pikiran jadi fresh. Aku suka banget sama dia, soalnya dia nggak pernah nge-judge aku apa pun yang aku lakuin. Pokoknya, dia sahabat terbaik yang pernah aku punya.Â
Raka : Kamu tahu, dulu saya juga pernah merasa putus asa seperti kamu. Tapi, aku sadar bahwa setiap masalah itu pasti ada hikmahnya. Kita hanya perlu berusaha mencari jalan keluarnya.Â
Aku mengangguk, memahami kata-katanya. Raka memang selalu bisa membuatku merasa lebih baik.Â
Raka : Dan yang paling penting, jangan pernah menyerah dengan mimpi-mimpimu. Teruslah berjuang, Icha. Kamu pasti bisa.Â
Icha : Terima kasih, Raka.Â
Malam itu, kami berdua larut dalam ketenangan, menikmati keindahan malam yang membuai. Seiring berjalannya waktu, ikatan batin kami semakin mendalam. Beberapa bulan berlalu, hidupku berubah drastis. Bisnis yang kucetuskan berkembang pesat hingga akhirnya dapat menyerap tenaga kerja. Syukur tak henti-hentinya kuucapkan atas segala nikmat yang telah Tuhan berikan. Tak pernah kuduga bahwa badai kehidupan justru menjadi berkah tersembunyi. Aku belajar bahwa setelah badai pasti ada pelangi, dan Tuhan senantiasa bersama mereka yang bersabar dan berikhtiar.
Hubunganku dengan Raka semakin erat. Kami sering menghabiskan waktu bersama, saling berbagi cerita, dan saling mendukung. Aku merasa ada getaran aneh setiap kali berdekatan dengannya. Jantungku berdebar kencang, dan pipiku selalu memerah ketika ia menatapku. Aku merasa mulai jatuh cinta pada Raka. Namun, aku masih ragu untuk mengungkapkan perasaanku. Aku takut jika perasaanku tidak berbalas, aku akan kehilangan sahabat sebaik dia.Â
Suatu hari, Raka mengundangku untuk makan malam di sebuah restoran yang romantis. Aku merasa gugup, jantungku berdebar kencang. Aku pun berdandan semaksimal mungkin, berharap penampilan malam itu dapat memikat hati Raka. Saat bertemu, Raka tersenyum hangat padaku, matanya berbinar. Aku merasa sangat bahagia.
Raka : Kamu cantik sekali malam ini Icha.Â
Icha : Terima kasih Raka, (jawabku dengan malu-malu). Â
Kami pun menikmati makan malam dalam suasana yang romantis. Kami berbincang-bincang tentang banyak hal. Aku merasa sangat bahagia, seolah-olah dunia hanya milik kita berdua. Setelah makan malam, Raka mengajakku berjalan-jalan di tepi pantai. Kami duduk di atas pasir, menikmati deburan ombak dan keindahan langit malam yang dihiasi bintang-bintang. Raka menatapku dengan tatapan yang begitu dalam.Â
Raka : Icha, aku ingin mengatakan sesuatu padamu.Â
Raka: Sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah merasakan ada sesuatu yang berbeda. Kamu adalah wanita yang kuat, tangguh, dan begitu menginspirasi. Aku merasa beruntung bisa mengenalmu Icha. Aku berjanji, aku akan selalu ada untukmu, selalu melindungimu dan menyayangimu.
Aku pun terkejut mendengar pengakuannya. Aku tak pernah membayangkan bahwa Raka berbicara seperti itu padaku. Air mata bahagia kembali menetes di pipiku.Â
Beberapa bulan kemudian, Raka mengajakku bertemu dengan keluarganya. Aku sangat gugup saat pertama kali bertemu orang tua Raka. Aku khawatir mereka tidak akan menyukaiku. Namun, kekhawatiranku sirna ketika mereka menyambutku dengan hangat dan ramah. Ibu Raka bahkan memelukku erat dan mengatakan bahwa ia senang Raka telah menemukan pasangan yang tepat. Aku merasa sangat lega dan bahagia. Rasanya, aku sudah seperti bagian dari keluarga merekaÂ
Raka juga sudah bertemu dengan keluargaku. Aku sangat berterima kasih padanya karena telah membantuku melewati masa-masa sulit. dina, adikku, juga sangat menyukainya. Mereka sering bermain bersama. Aku merasa bahwa Raka bukan hanya kekasihku, tetapi juga bagian dari keluarga kami.Â
Raka : Icha, aku ingin menanyakan sesuatu padamu.Â
Icha : Apa itu, Raka?Â
Raka : Maukah kamu menikah denganku, Icha?Â
Icha : Ya, Raka. Aku mau
Tak pernah kuduga Raka akan melamarku secepat ini. Air mata bahagia kembali menetes membasahi pipiku. Aku menatapnya dengan penuh cinta, tak percaya dengan kenyataan di hadapanku. Keluargaku pun tumpah ruah dalam kebahagiaan. Mereka memelukku erat, mengucapkan selamat. Aku merasa begitu berbahagia, seakan dunia milikku sendiri. Aku sangat bersyukur memiliki Raka dalam hidupku.Â
Setelah beberapa bulan mempersiapkan hari bahagia, akhirnya saat yang dinantikan tiba. Aku dan Raka resmi mengikat janji suci. Pernikahan kami berlangsung sederhana namun penuh makna. Di tengah kerumunan orang yang menyayangi kami, aku merasa begitu lengkap. Aku bersyukur atas segala karunia yang telah Tuhan berikan. Aku belajar bahwa setelah badai pasti ada pelangi, dan cinta sejati akan selalu menemukan jalannya.
Setelah pernikahan, kehidupan kami semakin harmonis. Kami saling mendukung dalam segala aspek kehidupan. Bisnis keripik pisang cokelat yang kami jalankan bersama juga semakin berkembang. Raka pun semakin sukses dalam kariernya sebagai arsitek. Kami merasa sangat beruntung memiliki satu sama lain. Suatu sore, saat sedang bersantai di rumah, Raka tiba-tiba menggenggam tangan saya dengan erat. Tatapannya tertuju pada sesuatu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Raka : Icha, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan padamu. Sebenarnya, aku bukan arsitek. Aku adalah seorang detektif swasta.Â
Icha : Jadi, semua kebaikan yang kamu lakukan selama ini, hanya pura-pura?Â
Raka: Tidak, Icha! Aku memang ditugaskan untuk menyelidiki kasus, tapi perasaanku padamu tulus. Aku benar-benar mencintaimu. Icha : Tapi, kenapa kamu tidak mengatakan yang sebenarnya padaku?Â
Raka : Aku takut, jika aku mengatakan yang sebenarnya, kamu tidak akan mau menerimaku. Aku takut kamu akan menganggapku hanya memanfaatkanmu.Â
Raka : Aku mohon maaf, Icha. Aku tidak bermaksud menyakitimu Â
Aku menatap Raka dengan memecahnya di dalam. Air mataku menetes. Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. Aku tersenyum tipis dan berkataÂ
Icha : Tidak apa-apa, Raka. Aku mengerti.Â
Raka : Jadi, kamu memaafkanku?Â
Icha : Ya, Raka. Aku memaafkanmu. Tapi, jangan pernah berbohong lagiÂ
Raka : Aku janji, Icha. Aku tidak akan pernah berbohong lagi padamu.
 Kami pun berpelukan erat, seakan ingin melupakan semua perselisihan yang pernah ada. Aku menyadari bahwa hidup memang penuh kejutan, dan terkadang, kebenaran muncul di saat kita tak menyangka. Namun, aku yakin cinta sejati akan selalu mampu mengatasi segala rintangan. Dan aku begitu bersyukur telah menemukan cinta sejatiku pada diri Raka, seorang detektif yang telah menjadi oase di tengah gurun kehidupanku.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI