Mohon tunggu...
Khairun Nashirin
Khairun Nashirin Mohon Tunggu... -

tak ada gunanya diriku tanpa kalian

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kehidupan Sosial Semut

16 Maret 2012   13:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:57 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Semut merupakan komunitas serangga sosial yang tinggal berkoloni berafiliasi ke rumpun serangga bersayap selaput. Kelompok serangga ini merupakan induk dari beberapa macam jenis serangga yang secara ilmiah dinamakan hymenoptera. Dalam kelompok yang besar ini, semut termasuk jenis serangga yang disebut vespoidea. Sebagian ilmuwan menganggapnya sebagai kelompok super famili, dan mereka mengklasifikasikannya menjadi beberapa keluarga. Sementara itu, sebagian ilmuwan lain menganggap semut sebagai satu famili yang mereka sebut formicidae atau keluarga semut. Dan selanjutnya, keluarga ini terbagi menjadi delapan sub keluarga.

Semut memiliki ciri khas berupa bagian depan perutnya tipis, sepasang alat sensornya (sungut) melengkung seperti siku tangan, dan bila memiliki racun, maka racun ini keluar dari ujung perut. Selain itu, tumpuan perut semut terdiri dari satu atau dua simpul, dan ada banyak sisik pada tumpuan sayap. Setiap koloni semut memiliki seekor betina yang subur, atau lebih dikenal dengan sebutan ‘ratu’. Terdapat sedikitnya tiga ratu dalam satu sarang semut yang kecil. Sedangkan pada sarang yang besar, bisa jadi ada lebih dari 50 ratu. Sampai saat ini, ilmu pengetahuan belum mampu menguak misteri kerajaan semut. Dalam masyarakat semut, ada beribu-ribu semut betina yang mandul, dikenal sebagai ‘semut pekerja’. Ciri khas semut pekerja adalah tidak memiliki sayap dan tubuhnya jauh lebih kecil dari tubuh ratu. Sementara semut-semut jantan memiliki sayap dan tidak terlihat kecuali di musim kawin untuk membuahi ratu, kemudian langsung mati.

Pada awalnya, ratu adalah semut betina yang bersayap. Tetapi semut ini kehilangan sayapnya tak lama pasca musim kawin dan sebelum mengeluarkan telurnya. Demikianklah, kita dapat melihat setiap koloni semut meliputi tiga kelompok ini; betina, jantan, dan pekerja. Dalam hidupnya, semut-semut pekerja ini melewati dua atau beberapa tahap. Karenanya, jenis semut ini terlihat dengan dua atau beberapa bentuk yang memiliki bentuk fisik dan susunan berbeda sesuai pekerjaan yang diemban dalam berkhidmat kepada wilayah yang dikuasai komunitanya.

Pertama, koloni semut dan sistem kerja di dalamnya: Koloni (wilayah yang diduduki) semut dan tingkatan-tingkatannya terdiri dari hal-hal berikut:

Pintu gerbang masuk wilayah.
Seekor semut yang masuk ke wilayah.
Para penjaga untuk mencegah masuknya makhluk asing.
Tingkat pertama dan kedua untuk tempat istirahat para pekerja di musim panas.

Ruang makan.
Gudang tempat penyimpanan persediaan makanan.
Asrama untuk para semut.
Kamar-kamar ratu sebagai tempat ratu mengeluarkan telurnya.
Kandang sapi semut lengkap dengan makanannya.
Kandang lain untuk memerah susu sapi semut.
Sebuah ruang untuk penetasan telur-telur.
Bayi-bayi semut dan telur-telur.
Semut-semut kecil.
Ruangan istirahat semut-semut di musim dingin.
Ruangan istirahat ratu di musim dingin.
Makam untuk menguburkan mayat semut.

Kedua, aktivitas-aktivitas di sarang semut, bahkan juga di luarnya, berjalan sesuai pembagian tugas yang sangat detail yang diproyeksikan untuk merealisasikan sasaran. Semua pekerjaan ini dilaksanakan semut secara berkelompok dalam suasana kebersamaan dan cinta. Tentang kekompakan ini, seorang ahli serangga, Hiber, berkata, “Rahasia dibalik kekompakan dan cinta ini terletak pada kecintaan semua semut pada larva-larvanya dan kerelaan mereka untuk mati demi memelihara dan menjaganya. Induk semut mencintai larva-larvanya dengan suatu kecintaan yang tidak ada tandingannya di alam semesta ini. Terkadang induk semut rela mengorbankan organ manapun dari tubuhnya dan ia tak akan sedikit pun bergeser meninggalkan anak-anaknya yang terbungkus kepompong. Oleh sebab itu, induk semut ini terus mengikuti perkembangan anaknya tanpa beberapa organ tubuhnya. Namun, ia enggan mati sebelum merasa yakin dengan keselamatan kepompongnya ini.”

Aktivitas semut dalam mendekorasi tempat tinggalnya yang memiliki beberapa tingkat dengan bentuk yang beraneka ragam, dan luas yang berbeda-beda demi mewujudkan tujuan yang karenanya rumah ini dibangun; juga aktivitas semut dalam mengumpulkan makanan pokok di ‘benteng’ – demikianlah para ilmuwan menyebut sekumpulan sarang semut dengan ‘benteng semut’ karena ada kemiripan yang besar antara keduanya –, tak lagi membutuhkan bukti setelah manusia melihat sendiri sarang-sarang ini di dalam tanah. Kumpulan sarang ini ditandai dengan adanya lubang di permukaan tanah yang dikelilingi gundukan dari tanah hasil penggalian. Jika lubang ini disingkirkan, terlihatlah benteng semut di bawahnya lengkap dengan berbagai keindahan dan isi di dalamnya.

Ketiga, olah raga dalam kehidupan semut. Para ilmuwan telah bersepakat bahwa semut sangat suka perlombaan, permainan-permainan olah raga dan kompetisi-kompetisi persaudaraan. Tentang fenomena ini, telah dicatat para ilmuwan, seperti Forel, Stambr, dan Stajer. Ilmuwan Hiber mengatakan, “Suatu hari aku mendekati kumpulan semut-semut yang berada di bawah sinar matahari. Semut-semut ini berkumpul dalam jumlah yang sangat banyak. Seolah-olah mereka ingin menikmati hangatnya sinar matahari di luar sarang. Dan saat itu, tak ada seekor semut pun yang bekerja. Manakala aku memperhatikan lebih seksama setiap semut, aku melihat setiap semut ini mendekat pada yang lain sembari menggerakkan sungutnya dengan sangat cepat. Masing-masing semut ini menyentuh sisi dan kepala kawannya dengan kedua kaki depannya, seperti bila mencandainya.

Setelah aba-aba permulaan ini, semuanya mengikuti, dua, dua… mereka bertumpuan pada kaki belakang. Kemudian setiap dua ekor semut saling bergulat. Salah satu memegang rahang bawah yang lain atau sungutnya, kemudian serta merta melepaskannya untuk kemudian menyerang lagi. Tetapi aku melihat pergulatan dan perkelahian ini nihil kekerasan, keinginan menyakiti atau dendam. Berulang kali aku mendatangi kumpulan semut ini untuk melihat permainan dan perlombaan semut sampai aku yakin dengan kebenaran hasil pengamatanku.”

Keempat, perang di dunia semut. Di antara tanda kehidupan berkelompok semut dan bukti kehidupan sosialnya adalah peperangan yang diarungi semut. Ilmuwan serangga, Maurice Maeterlinck, bertutur tentang perang semut dalam bukunya ‘Alam An-Naml (Dunia Semut)’, “Dalam dunia serangga, hanya semut yang memiliki pasukan terorganisir, dan hanya semut juga yang melakukan peperangan agresif. Tradisi perang di dunia semut sangat beragam. Pun postur tubuh dan senjatanya juga berbeda-beda. Ajaibnya, setiap jenis perang yang diarungi manusia ada di dunia semut. Perang terbuka, agresi secara total, mobilisasi pasukan besar-besaran, perang parit, serangan-serangan sporadis, strategi menyelinap, pembasmian (genocida), pengepungan, merangsek, menyerang, lari dan mundur untuk menata strategi, terkadang perselisihan di antara sekutu dan lain sebagainya dari bentuk, seni, strategi, pembukaan dan hasil perang.

Namun, mayoritas semut cenderung suka hidup damai. Tetapi hal ini tidak menghalanginya bertempur dengan gagah berani dan membela masyarakatnya dengan ksatria menjadi obyek serangan. Jarang sekali semut mempertahankan diri memperhitungkan jumlah penyerang atau besarnya fisik mereka. Oleh sebab itu, besar kemungkinan pada akhirnya melihat tekad semut yang diserang untuk mempertahankan diri dengan mati-matian melakukan perlawanan.

Walaupun semut memiliki pengorganisasian pasukan yang baik dan kemampuan berperang, tapi jenis serangga yang kecil ini sangat menghormati hak milik orang lain, hemat dalam mempergunakan makanannya, dan berusaha menghindari segala sebab yang dapat mematik perselisihan, serta mencurahkan semua perhatiannya pada kelestarian sarang tempat mereka hidup.”

Barangkali penelitian terbaru yang telah dipublikasikan tentang kehidupan homogen semut dan gaya hidup bermasyarakatnya, lengkap dengan peperangan dan situasi damai yang mewarnainya adalah penelitian yang dimuat majalah ilmiah Amerika, ‘Perilaku Hewan’, terkait riset-riset ilmiah yang dilangsungkan para ilmuan pada fenomena peperangan semut, di mana mereka membuat replika-replika (patung) kecil menyerupai semut. Replika-replika semut ini bergerak maju di hadapan semut biasa. Kemudian kamera mulai merekam gambar dan suara, bahkan juga bau yang keluar dari pasukan semut ketika berhadapan dengan materi yang disangka musuh ini. Kamera menangkap isyarat-isyarat tanda bahaya yang dikirimkan pasukan pengintai pada pasukan semut lainnya, dan pergerakan pasukan besar semut yang melepaskan gas beracun dari hidung khusus yang telah dipersiapkan untuk hal ini. Rilis ilmiah tersebut menyatakan:

“Pembagian tugas dalam koloni semut berkorelasi erat dengan perbedaan struktur biologis yang jelas. Tentara yang khusus difungsikan melindungi wilayah koloni berciri khas memiliki hidung menonjol (belalai) yang mampu melepaskan bau yang sangat mirip dengan gas beracun. Gas ini dapat membuat pasukan lawan pingsan, bahkan terkadang mati karena tak dapat bernafas. Fungsi mereka tidak berhenti di sini. Melalui semut-semut berbelalai ini, alat peringatan dibunyikan untuk memberitahukan adanya serangan dari pihak luar agar semua bersiap-siap di medan tempur demi mempertahankan ‘tanah air’.

Apabila semut-semut berhidung panjang tugasnya terbatas pada peperangan dan mempertahankan tanah leluhur dan anak cucu, maka ada semut-semut yang khusus mengemban berbagai tugas lain, seperti kebersihan, pembangunan, membuat ventilasi, memproduksi dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Tanda mencolok semut pekerja adalah adanya rahang yang relatif besar sebagai ganti belalai yang dimiliki semut tentara. Sepertinya pembagian tugas yang detail selama ratusan juta tahun telah meninggalkan tanda-tanda anatomis pada kelompok-kelompok semut dalam wujud berbedaan kontruksi fisik kepala dan wajah. Semut-semut berhidung panjang bertugas khusus mengarungi perang tradisional maupun perang kimia. Sedangkan semut-semut berahang besar spesialis menyelesaikan pekerjaan harian dan menggunakan gigi-giginya dalam perang ketika pasukan yang berperang terancam kalah.”

Di samping penelitian ilmiah tentang kehidupan homogen semut dan gaya hidup bermasyarakatnya ini, Universitas Maryland Amerika, akhir-akhir ini juga mengumumkan bahwa para ilmuwannya telah menemukan kebiasaan semut meletakkan makanan yang ditemukannya di atas daun kering untuk difungsikan sebagai tandu yang dapat memudahkannya membawa beban lebih banyak. Para ilmuwan ini telah melangsungkan sebauh percobaan. Dalam percobaan ini, mereka meletakkan gelatin di tanah persis di jalur lalu-lalang semut. Semut-semut ini pun mencari daun yang sudah gugur dan kembali lagi setelah 60 detik, lalu menempatkan gelatin itu di atas daun. Setiap dua semut bergotong-royong untuk memudahkan proses pemindahan gelatin.

Lebih dari itu, para ilmuwan ini telah melihat bahwa semut memiliki tawanan dan budak. Sebagian jenis semut sahara menciptakan perselisihannya dengan memperebutkan hak milik wilayah, sehingga mereka terlibat peperangan dengan kelompok semut lain. Di akhir babak pergulatan, kelompok yang kalah menjadi tawanan kelompok yang menang. Setelah itu, kelompok kalah ini menjadi semut budak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun