Mohon tunggu...
Khairunisa Fitriani
Khairunisa Fitriani Mohon Tunggu... Freelancer - Newbie

Penyuka hal baru, pencinta hal lama, dan penggila anime.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

On My Way : Asal Usul (Komedi)

22 Agustus 2019   19:22 Diperbarui: 22 Agustus 2019   19:28 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di luarnya, tempat ini terlihat spektakuler. Bangunan kastil batu dengan susunan kokoh, warna hitam bercampur coklat tua mempercantik tampilannya, dan dua menara kembar berhadap-hadapan menambah kesan luar biasa. Namun, tahukah kalian apa yang terdapat di dalamnya? Hanya aku. Seorang gadis yang ingin kebebasan.

Aku bukanlah tawanan sebuah kerajaan, tapi mereka memperlakukanku lebih dari itu. Tubuh sempurnaku ini tidak lecet secuil pun. Hanya jiwaku yang ditawan. Rasa sakit teramat dalam membuat batinku menangis. Aku cuma menginginkan satu hal. Kebebasan.

Pada malam tak berbulan, mereka tidur bagaikan lemur. Ini kesempatan untukku menyelinap pergi. Gaun panjang putih susu ku jinjing, memudahkan kakiku untuk melangkah lebih lebar. Anak tangga melingkar kuturuni perlahan. Memasuki anak tangga ke dua belas, aku berhenti. Tubuhku beringsut sembunyi di celah dinding berongga saat tahu dua orang penjaga melintas naik. Aman. Penjaga tersebut tidak melihat keberadaanku. Kembali, aku melangkah terburu-buru menuju satu pintu yang terhubung ke belakang istana. Hitungan ketiga, pintu terbuka lebar menampilkan kegelapan hutan di seberang. Senyum tersungging, mata biru ini berbinar senang, dan mulutku bergumam.

"Aku ... bebas."

Kaki kananku berpijak pada batu pertama dunia luar. Dingin, sedikit basah, agak licin, dan kasar. Jadi, seperti inilah rasanya berpijak di bebatuan jalanan? Sungguh, menyenangkan. Langkah kupercepat menuju hutan gelap di hadapanku. Baru saja menginjak tanah berumput jarang, pendengaranku menangkap sebuah bunyi. Semacam suara mistis magis nan menenangkan hati.

"Kukukuku"

"Gaakk! Gaak!"

"Auuuuu!"

Mataku terpejam, mencoba memaknai setiap suara yang kudengar. Hasilnya, tak bisa diidentifikasikan. Bagiku, cukup dengan mendengarkan, aku paham. Betapa menakjubkannya dunia luar. Ditemani cahaya kecil kerlap-kerlip seperti bintang, aku terus melangkah. Ingin tahu ujung jalan dari hutan gelap ini. Embusan angin menerpa tubuh ini, membuatku sedikit menggigil. Aku mulai berharap bisa mendapatkan sehelai syal bulu domba untuk membelit leher hingga bahu yang terekspos.

Semakin lama, semakin aku tertelan kegelapan hutan. Takut? Itu bukan diriku. Tak ada yang lebih menakutkan dibanding tinggal seorang diri di 'Istana Neraka'. Jika ini adalah surga, aku sangat ingin tinggal di dalamnya. Gemerisik pepohonan di hadapanku membuat diri ini tergerak mendekat. Tiba-tiba, cahaya terang berwarna merah terpancar di antara pohon tersebut. Kedua mata ini tertutup rapat ditimpa dua buah tanganku. Didorong rasa penasaran akut, kugeser dua jari tangan terakhirku hingga tercipta satu celah sempit. Aku mengintipnya dari celah jari antara jari manis dan tengah tangan kananku.

"Itu ...."

Aku terbelalak sampai melepaskan kedua tanganku yang tadi menutupi mata. Cahaya merah terang itu sirna, terganti oleh sesosok makhluk aneh buruk rupa. Badannya kekar dan tinggi mirip postur seorang pria penjaga istana. Kulitnya merah bata, nyaris menyerupai warna darah. 

Makhluk itu tidak mengenakan pakaian, tapi dipenuhi rambut-rambut hitam lebat dari leher hingga kaki. Wajahnya terlihat seperti habis di silet. Banyak garis membentang sana sini. Hidungnya terlalu sempurna dibandingkan punyaku. Juga tanduk? Aku tahu. Inilah yang paling membuatku takut. Tanduknya mengelung dan runcing diujungnya seperti banteng.

"Putri Lily? Benar?"

Makhluk itu berbicara dengan bahasa manusia. Bukan itu yang membuatku terkejut, tapi panggilannya. Dengan berani, aku maju selangkah hingga jarakku dan dia sekitar lima puluh senti.

"Ya. Dari mana kau tahu namaku?"

Pertanyaan itu dibalas dengan seringaian. Dua bola mata merah darah itu menyala dalam kegelapan. Dia maju lebih dekat. Tangan besar berbulunya menggapai tangan kananku. Punggung tanganku terlihat menjulur kearahnya. Aku hampir terjungkal kaget saat dia tiba-tiba berlutut dengan satu kaki di hadapanku. Pelan-pelan, aku merasakan sesuatu yang hangat menyentuh kulit punggung tanganku. Makhluk aneh itu mencium tanganku. Ada seperti sengatan listrik yang menjalari tubuhku. Merasuk hingga ke hati. Perasaan ini seolah tidak asing untukku.

"Siapa sebenarnya dirimu?" tanyaku.

Makhluk itu mengangkat wajahnya menghadapku. Mata itu menyendu ketika menatapku. Mungkinkah itu perasaan rindu? Ah, aku sungguh tak tahu. Aku tak mengenalnya, tapi sangat ingin mengenalnya.

"Aku ...."

"ALAN!!! BANGUN GAK! KALO GAK IBU TENGGELAMKAN ALAT DJ MU!"

"Wuuahhh! Anjriitt! Jangan dong, Bu!"

Alan bangkit dari tidur siangnya. Sang ibu berdecih keluar sambil membanting pintu kamarnya.

Alan merenung. Beberapa menit kemudian, dia menjentikkan jarinya. Ia tersenyum simpul pertanda mendapat ilham.

"Aha! Boleh juga tuh mimpi gue jadiin lagu!"

Dan terciptalah lagu berjudul LILY BY ALAN WALKER.

~Tamat~

N.B: Cerita di atas hanya fiktif belaka. Mohon maaf dan terima kasih sudah repot-repot membacanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun