Sebagaimana kita ketahui, dalam dunia akademik, ada satu hal yang dianggap sangat penting, yaitu etika. Khususnya dalam konteks akademik Islam, etika ini seharusnya menjadi panduan utama bagi para akademisi dan pelajar. Namun, kita tidak bisa menyangkal fakta bahwa, di banyak kesempatan, etika ini hanya dipandang sebagai formalitas belaka. Seolah-olah ada semacam peraturan yang disepakati bahwa kita harus "nampak etis", tetapi pada kenyataannya, banyak yang melanggar prinsip-prinsip tersebut di belakang layar.
Etika akademik dalam Islam seharusnya mencakup nilai-nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab. Dalam Al-Qur'an dan Hadis, terdapat banyak ayat dan petunjuk yang mengajarkan tentang pentingnya ilmu, kejujuran dalam menyampaikan kebenaran, serta tanggung jawab yang harus diemban oleh para pencari ilmu. Namun, apakah etika ini diinternalisasi oleh para akademisi? Atau hanya sekadar jargon yang diucapkan saat seminar dan kuliah?
Di kampus-kampus, kita sering menemukan berbagai seminar dan workshop tentang etika akademik. Di situlah kita akan disuguhi presentasi panjang lebar tentang pentingnya etika. Namun, setelah acara berakhir, banyak dari kita kembali ke kebiasaan lama. Bukankah ini lucu? Seakan-akan kita semua sepakat untuk berpura-pura menjadi etis. Satu sisi kita diajarkan untuk menjunjung tinggi etika, di sisi lain kita masih melihat plagiat, kecurangan, bahkan penipuan akademis di mana-mana.
Ini adalah fenomena yang sangat disayangkan. Banyak mahasiswa yang dengan bangganya menyalin tugas dari internet tanpa merasa ada yang salah. Ketika ditanya mengapa tidak membuat karya sendiri, jawabannya sederhana: "Nanti, kita kan juga tidak punya waktu!" Masya Allah, seolah-olah etika itu bisa dibeli dengan waktu. Padahal, bukankah waktu yang kita hemat justru akan dibayar dengan harga mahal dalam bentuk kehilangan integritas?
Akibat dari Pengabaian Etika
Apa akibatnya ketika etika akademik dalam Islam hanya dijadikan formalitas? Tentu saja, kita mulai menyaksikan penurunan kualitas pendidikan. Ketika orang-orang tidak lagi menghargai proses pembelajaran dan lebih fokus pada hasil, kita tidak akan pernah mencapai pemahaman yang mendalam tentang ilmu tersebut. Melainkan, kita hanya akan melahirkan generasi "sarjana yang tidak paham ilmu".
Misalnya, seorang mahasiswa berhasil mendapatkan gelar dengan cara curang. Pada akhirnya, ia bisa saja mendapatkan pekerjaan, tetapi ketika menghadapi tantangan di dunia nyata, ia akan kesulitan. Dan tahukah Anda apa yang terjadi selanjutnya? Ia akan menjadi bagian dari angkatan kerja yang "cuma formalitas". Dapat gelar, tetapi tidak memiliki kompetensi yang sesuai.
Potensi Islam yang Terabaikan
Islam sendiri mengajarkan tentang pentingnya mencari ilmu dengan cara yang benar. Ada hadits yang menyatakan bahwa "Ilmu adalah cahaya", tetapi jika kita mencari cahaya dengan cara yang salah, kita malah akan tersesat dalam kegelapan. Ketika etika akademik tidak dipatuhi, potensi besar yang dimiliki oleh generasi muda terabaikan. Dan siapa yang akan rugi? Tentu saja, umat Islam itu sendiri.
Banyak pemuda yang penuh semangat dan ide-ide cemerlang, tetapi ketika mereka dihadapkan pada praktik-praktik tidak etis, mereka akhirnya ikut-ikutan. Inilah yang terjadi ketika kita menganggap etika hanya sebagai template yang harus diisi, bukan sebagai jiwa yang seharusnya menggerakkan tindakan kita.
Lantas, apakah ada solusi untuk mengatasi masalah ini? Tentu ada! Namun, solusi ini tidak semudah yang kita bayangkan. Diperlukan upaya nyata dari seluruh pemangku kepentingan. Institusi pendidikan harus lebih menegakkan aturan dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggarnya. Mahasiswa juga perlu diajarkan bahwa etika bukanlah hal yang bisa ditawar. Ini adalah bagian integral dari pencarian ilmu.
Kita bisa saja menganggap masalah etika akademik ini sebagai labirin yang sulit untuk dilalui, tetapi mungkin labirin ini juga bisa menjadi tantangan untuk kita. Kita dapat memilih untuk berusaha menemukan jalan keluar yang etis. Namun, jika kita terus menganggap etika akademik sebagai sekadar formalitas, kita mungkin akan berputar-putar selamanya tanpa bisa menemukan jalan keluar.
Akhir kata, marilah kita merenungkan kembali bagaimana kita memandang etika akademik, terutama dalam konteks Islam. Jika kita hanya melakukannya untuk memenuhi tuntutan administratif semata, kita akan kehilangan esensi dari pencarian ilmu itu sendiri. Menjadi etis bukan hanya soal mengikuti aturan, tetapi soal membangun karakter dan integritas. Jika kita mampu memetik pelajaran dari etikanya, insya Allah, kita dapat melahirkan generasi yang tidak hanya memiliki gelar, tetapi juga memiliki integritas.
Tentu saja, kita tidak ingin melahirkan generasi yang hanya bisa berkata, "Etika? Cuma formalitas!" Kita ingin mereka bisa berkata, "Etika adalah kunci untuk memahami dan mendalami ilmu, serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip Islam." Jadi, marilah kita berusaha mendorong diri kita untuk menjadi lebih baik, tidak hanya di hadapan orang lain, tetapi juga di hadapan Tuhan kita sendiri.
Penulis merupakan mahasiswa Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Semester 7
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H