Entah mengapa, setiap kali buku tulisan orang asing tentang suku Batak, selalu menyampaikan masalah kanibalisme kelompok etnik ini dalam uraian awal berkaitan dengan sejarahnya. Tulisan itu disadur dari berbagai opini penulis-penulis sebelumnya. Batak selalu identik dengan barbar, kanibalisme, biadab dan semua aspek yang selaras dengan itu. Kita dihadapkan pada persoalan, benarkah dahulu nenek moyang Batak seperti itu? Kalaupun memang begitu, atau kalaupun memang tidak begitu, apa yang harus dilakukan?
Salah satu buku hasil studi tentang Batak dituliskan Daniel Perret. Judulnya Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut, yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia April lalu. Perret berasal Perancis, buku ini merupakan hasil disertasinya di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Perancis tahun 1994. Pertama kali diterbitkan dalam bentuk buku tahun 1995 dalam bahasa Perancis dengan judul La Formation d'un Paysage Ethnique: Batak & Malais de Sumatra Nord-Est.
Seperti biasa, cerita kanibalisme Batak menjadi bagian buku ini. Namun seperti biasa juga, catatan itu tidak menjelaskan tentang apa dan bagaimana kanibalisme yang dilakukan orang Batak. Apakah seperti pola dalam lakon Anthony Hopkins sebagai Hannibal Lecter dalam film Silence of The Lambs, apakah model Sumanto dalam salah satu lakon nyata kehidupannya tahun 2003 di Jawa Tengah, atau seperti laku 16 penumpang selamat dalam musibah jatuhnya pesawat Uruguayan di Pegunungan Andes, tahun 1972?
Dalam bukunya Perret menuliskan, sejak abad ke-2 Masehi sampai akhir abad ke-19, Sumatera bagian utara, dianggap sebagai daerah berbahaya yang diduga dihuni oleh sejumlah masyarakat kanibal. Salah satunya seperti catatan Geograf Yunani Claudius Ptolemaeus yang melukiskan bagian utara Sumatera sebagai sekumpulan pulau yang di antaranya dihuni oleh orang pemakan manusia. Disebutkan juga catatan masa abad ke-5 dan ke-6 dari tiga sumber Arab menyatakan adanya sebuah pulau yang bernama Rami atau Rammi. Dua di antara sumber ini juga menyinggung tentang Pulau Balus. Rammi dan Balus digambarkan oleh ketiga sumber ini dihuni oleh kanibal.
Sajian Perret mengenai aspek kanibalisme ini, tak lebih tak kurang sama dengan beberapa buku lainnya yang dituliskan antropolog asing. Antara lain Paul Bodholdt Pedersen menulis buku Darah Batak dan Jiwa Protestan (1975), kemudian Lance Castle dalam buku Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915-1940, terbitan tahun 2001.
Anthony Reid juga mengutip catatan Ptolemy dan menyatakan, Niccolo da Conti, asal Italia, merupakan orang Eropa pertama yang menyatakan Batak sebagai populasi kanibal di Sumatera. Pernyataan itu disampaikan pada tahun 1430. Kisah-kisah kanibalisme itu salin-menyalin dalam buku-buku berikutnya, sebagian buku berikutnya yang ditulis sejawaran ataupun antropolog lainnya, juga mengutip dari kutipan itu. Kisah kanibalisme itu disampaikan dalam satu atau beberapa paragraf, kalau tidak satu baris yang menggantung.
Jadi teringat salah satu ungkapan Parada Harahap, Bangsa Batak bangsa jang paling hitam namanja dalam buku-buku di antara bangsa-bangsa di Indonesia ini, karena rakusnya penulis-penulis bangsa asing jang mengaku dirinja specialist dalam kebangsaan orang. Agaknya masalah kanibalisme ini salah satunya.
Telaah Bukti
Entah karena penyampaian informasi tentang kanibalisme ini yang terus berulang dalam buku-buku, dan kemudian dianggap sebagai fakta, akhirnya kanibalisme dalam Batak menjadi sesuatu yang mudah saja diterima. Ungkapan umumnya, ya sebelum misionaris datang ke Batak, kanibalisme itu memang ada.
Artikel ini tentu ditulis dengan literatur yang sangat terbatas, namun dari beberapa literatur ini, ada satu buku yang menceritakan tentang cerita kanibal di Batak. Kisah ini dituliskan William Marsden, pegawai kuasa dagang Inggris, East India Company (EIC) di Bengkulu yang berkunjung ke berbagai tempat di Sumatera. Hasilnya dibukukan dengan judul History of Sumatra yang terbit tahun 1783. Edisi cetakan ketiganya yang diterbitkan Oxford University tahun 1966, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Sejarah Sumatera pada tahun 2008.
Dalam salah satu catatan kakinya, Marsden menulis, dia menerima sepucuk surat dari temannya yang menceritakan tentang kasus pada Juli 1805. Ada satu tim ekspedisi yang dikirim EIC yang terdiri dari orang Sepoy, Melayu dan Batak yang dikirim untuk menyerang kepala suku bernama Punei Manungum di kawasan Nagatimbul. Belakangan anggota tim penyerang itu banyak yang mati. Beberapa di antaranya ditemukan dalam keadaan kepala digantung di depan rumah, dengan dahi yang sudah dikuliti. Selain itu ditemukan juga jari-jarinya sudah ditusuk dengan semacam garpu atau tusukan dan sedang dipanggang.
Marsden yang menerima informasi itu, tidak serta-merta percaya. Dia menulis, "Saya menemukan bahwa beberapa orang.. menikmati fakta bahwa di beberapa wilayah daging manusia dimakan oleh manusia lain. Namun tidak ada bukti tentang hal itu sebagai dari sejarah species manusia di sini. Saya tidak pernah melihat orang Batak melakukan hal tersebut dalam pesta makan-makan. Apalagi informasi tentang pemakanan daging manusia ini saya dapat dari mulut kedua atau ketiga. Saya cukup yakin dengan alasan saya ini dan saya tidak ingin memaksa kepercayaan seseorang tentang hal itu. Namun yang jelas, bukti-bukti yang ada sangat sedikit dan tidak cukup untuk membenarkan hal tersebut."
Jika merunut pada kisah tersebut, sesungguhnya tidak tergambar adanya proses kanibalisme itu. Hanya sebuah pembunuhan yang dibarengi dengan kegiatan pengulitan kepala. Tak lebih. Kanibalisme dalam kisah tersebut adalah asumsi. Jemari yang sedang dipanggang, belum tentu akan dimakan, bisa jadi cuma pelampiasan kebencian yang dibalut keisengan saja.
Pada saat pasukan Paderi menyerang Batak sekitar tahun 1818, ada juga laporan tentang jenazah pasukan Paderi yang dimutilasi dan kemungkinan dimakan. Setidaknya itu yang disampaikan Mangaradja Onggang Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao yang terbit tahun 1964. Namun buku itu menurut Hamka banyak salahnya, makanya Hamka kemudian membuat buku bantahan dengan judul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao yang terbit sepuluh tahun kemudian.
Praktek pembunuhan bukanlah sesuatu yang hanya terjadi di daerah Batak. Nun di Perancis sana, pembunuhan bisa jadi tontonan ketika guillotine dijatuhkan dan kepala terlempar beberapa depa dari batang leher. Di daratan Amerika Serikat, dulu, pengulitan kepala musuh adalah bagian dari ritual kepahlawanan.
Di Jerman, pembunuhan yang dilakukan terhadap jutaan orang Yahudi bahkan dikukuhkan dengan sebuah monumen dan dibuatkan museumnya. Di Kamboja, lokasi pelaksanaan eksekusi yang menjadi ritual harian Pol Pot malah jadi tempat wisata, lengkap dengan tengkorak dan gigi para korban yang menjalani prosesi eksekusi. Di Sabah, Malaysia, kepala-kepala hasil tebasan suku-suku pedalaman di zaman silam, dipajang di rabung atap agar dapat terlihat saat akan tidur.
Ketimpangan Kisah
Menjadi pertanyaan juga, bagaimana para pengelana asing bisa membuat catatan ringan tentang adanya praktik kanibalisme di Batak, namun tidak bisa menuliskan dengan jelas prosesi kanibalisme itu. Mereka bisa membuat peta tentang batas sungai anu dengan sungai ani, dan persinggungannya dengan sungai inu sebelum mencapai muara, lengkap dengan denah di mana kebun lada, di mana kebun kamper, kebun haminjon, namun tak pernah menuliskan detail seperti apa kasus kanibalisme itu, dan siapa yang menjadi korbannya.
Lance Castle misalnya menuliskan dalam bukunya, laporan paling awal tentang daerah pedalaman Batak Toba ditulis dua misionaris Inggris yang mengadakan kunjungan singkat ke lembah Silindung tahun 1824. Kendati terdapat bukti-bukti kanibalisme yang menyeramkan --demikian orang Batak konon memraktekkannya selama berabad-abad-- kedua misionaris itu menemukan bahwa lembah tersebut berpenduduk padat dan nampak teratur, tulis Castles.
Kedua misionaris yang dimaksud Castle adalah Richard Burton dan Nathaniel Ward, asal Inggris, yang memuat hasil kunjungannya dalam Report of a Journey into the Batak Country in the interior of Sumatra in the Year 1824Â dan belakangan dimuat dalam Transaction of the Royal Asiatic Society tiga tahun kemudian.
Sejauh ini, sepertinya, belum ada ada bukti tentang praktik kanibalisme ini. Termasuk di Barus yang disebut-sebut sebagai salah satu kawasan yang masyarakatnya kanibal di zaman silam. Penelitian arkeologi yang dilakukan Ecole Francaise d'Extreme-Orient bersama Badan Arkeologi Nasional Indonesia tahun 2000, di situs Lobu Tua tidak menemukan adanya bukti berkenaan dengan hal itu. Setidaknya, hal itu tidak terlihat dalam laporan hasil penelitian yang tercantum dalam laporan Barus Seribu Tahun yang Lalu (2008). Tim itu hanya menemukan pecahan keramik, perhiasan dan beberapa batuan alat rumah tangga.
Mestinya bukti kanibalisme itu, jika memang ada di sana, dapat ditemukan dengan mudah. Orang zaman dahulu maupun zaman sekarang, biasanya mengumpulkan sampah dalam satu tempat. Tumpukan sampah itu menggambarkan apa yang mereka pergunakan dan apa yang mereka makan. Jika manusia adalah bagian dari menu makanan, maka semestinya tulangnya masuk kategori sampah dan dibuang di tempat sampah, seperti mereka membuang tulang-tulang binatang semacam rusa yang juga mereka makan. Jika ada temuan ini, setidaknya akan memberikan sedikit bukti tentang adanya tradisi kanibalisme di sana.
Atau begini, jika dalam satu kisah yang diterima Marsden bahwa ada korban pembunuhan yang dagingnya dipanggang, setidaknya ditemukan adanya potongan tulang yang mengindikasikan bekas dipanggang. Tulang-belulang bukanlah benda yang gampang melebur dalam tanah. Akhir 2009 lalu media massa memberitakan ditemukan situs kuno tempat berlangsungnya kanibalisme massal. Lokasinya di Desa Herxheim, kawasan barat daya Jerman. Penemuan itu terdiri dari 500 bagian tubuh manusia yang dipotong secara sengaja alias dimutilasi. Kejadiannya diperkirakan sekitar masa neolitikum atau sekitar tujuh ribu tahun lalu. Jadi jika, tulang zaman neolitikum saja bisa ditemukan, tentu tulang bekas kanibalisme sebelum masa datangnya misionaris di Batak juga dapat ditemukan, jika kanibalisme itu memang ada.
Teori Hirosue
Salah satu yang cukup menarik dalam buku Perret adalah kutipan dalam catatan kakinya yang menyarankan pembaca untuk mendapatkan sintesis terbaru mengenai kanibalisme di Batak yang ditulis Masashi Hirosue, antropolog asal Jepang, dengan judul The Role of Local Informants in the Making of the Image of "Cannibalism" in North Sumatra. Tulisan ini dibuat tahun 2005 namun dimasukkan sebagai salah satu tulisan dalam buku From Distant Tales: Archaeology and Ethnohistory in the Highlands of Sumatra. Buku bunga rampai ini diterbitkan Cambridge Scholars Publishing tahun 2009.
Menurut Masashi Hirosue, kisah tentang kanibalisme Batak sengaja dibuat masyarakat pesisir untuk kepentingan dagang dengan orang asing, mencegah para pedagang asing itu membuka hubungan langsung dengan penduduk pedalaman. Dengan demikian posisi warga pesisir sebagai orang yang menjual hasil produksi orang pegunungan tetap berjalan. Dalam perkembangan berikutnya kisah tentang kanibalisme itu dilanjutkan sendiri oleh para pemimpin suku kepada orang-orang asing untuk mengesankan pentingnya peran para kepala suku dalam menengahi hubungan antara para pendatang dengan masyarakat kanibal itu.
Pernyataan Hirosue ini masuk akal. Para pengembara yang pernah singgah di Sumatra, bisa jadi hanya mencatat keterangan dari penduduk di pantai, dan membuat asumsi, biasanya penduduk pedalaman itu kanibal seperti di kawasan hutan Amazon.
Namun teringat pula dengan kisah yang diceritakan kepada para turis yang datang ke Ambarita, tentang meja dan kursi batu zaman megalitikum yang ada di sana. Meja dan kursi ini selain tempat bermusyawarah dan pengadilan yang dipimpin Raja Siallagan. Jika ada yang dinyatakan bersalah, maka yang bersangkutan bisa dipasung atau dihukum mati. Nah, kalau hukum mati, eksekusi dilakukan di sebuah batu. Korban diikat dimeja batu, sementara raja dan hulubalang duduk di kursi itu, menyaksikan bagaimana prosesi berlangsung. Raja menjadi orang pertama yang menerima daging sang korban, dan dalam hal ini jantungnya dan dimakan mentah-mentah, sekalian meminum darahnya. Halah. Inilah agaknya yang mengekalkan stereotip: Batak makan orang.
Masalah kanibalisme ini, tentu saja merupakan pilihan untuk percaya atau tidak. Kebenaran adalah sesuatu yang terkadang bisa diperdebatkan, karena bergantung kepada satuan ukur penilaiannya. Membunuh merupakan kekejian dan tidak dapat dibenarkan, namun dalam beberapa kondisi, keputusan mengakhiri nyawa orang lain dapat dibenarkan karena pertimbangan yang mungkin masuk akal, mungkin juga tidak.
Kanibalisme bisa jadi menjadi sesuatu yang benar adanya, tetapi selama kisahnya hanya berupa kutipan dari buku ke buku, tanpa ada bukti yang memadai, tetaplah itu sebagai sebuah kepercayaan yang tak berdasar. Dalam bahasa Batak, sebutannya ninna tu ninna;Â katanya, katanya. Bisa jadi cerita kanibalisme itu kisahnya mirip dengan pluto, dulu katanya planet, rupanya bukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H