Mohon tunggu...
khairul ikhwan d
khairul ikhwan d Mohon Tunggu... Penulis - pernah main hujan

sedikit demi sedikit, lama-lama habis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masalah Kanibalisme Itu

4 Maret 2022   10:59 Diperbarui: 4 Maret 2022   11:01 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Kolonialisme dan Etnisitas karya Daniel Perret. / @khairulid  

Teori Hirosue

Salah satu yang cukup menarik dalam buku Perret adalah kutipan dalam catatan kakinya yang menyarankan pembaca untuk mendapatkan sintesis terbaru mengenai kanibalisme di Batak yang ditulis Masashi Hirosue, antropolog asal Jepang, dengan judul The Role of Local Informants in the Making of the Image of "Cannibalism" in North Sumatra. Tulisan ini dibuat tahun 2005 namun dimasukkan sebagai salah satu tulisan dalam buku From Distant Tales: Archaeology and Ethnohistory in the Highlands of Sumatra. Buku bunga rampai ini diterbitkan Cambridge Scholars Publishing tahun 2009.

Menurut Masashi Hirosue, kisah tentang kanibalisme Batak sengaja dibuat masyarakat pesisir untuk kepentingan dagang dengan orang asing, mencegah para pedagang asing itu membuka hubungan langsung dengan penduduk pedalaman. Dengan demikian posisi warga pesisir sebagai orang yang menjual hasil produksi orang pegunungan tetap berjalan. Dalam perkembangan berikutnya kisah tentang kanibalisme itu dilanjutkan sendiri oleh para pemimpin suku kepada orang-orang asing untuk mengesankan pentingnya peran para kepala suku dalam menengahi hubungan antara para pendatang dengan masyarakat kanibal itu.

Pernyataan Hirosue ini masuk akal. Para pengembara yang pernah singgah di Sumatra, bisa jadi hanya mencatat keterangan dari penduduk di pantai, dan membuat asumsi, biasanya penduduk pedalaman itu kanibal seperti di kawasan hutan Amazon.

Namun teringat pula dengan kisah yang diceritakan kepada para turis yang datang ke Ambarita, tentang meja dan kursi batu zaman megalitikum yang ada di sana. Meja dan kursi ini selain tempat bermusyawarah dan pengadilan yang dipimpin Raja Siallagan. Jika ada yang dinyatakan bersalah, maka yang bersangkutan bisa dipasung atau dihukum mati. Nah, kalau hukum mati, eksekusi dilakukan di sebuah batu. Korban diikat dimeja batu, sementara raja dan hulubalang duduk di kursi itu, menyaksikan bagaimana prosesi berlangsung. Raja menjadi orang pertama yang menerima daging sang korban, dan dalam hal ini jantungnya dan dimakan mentah-mentah, sekalian meminum darahnya. Halah. Inilah agaknya yang mengekalkan stereotip: Batak makan orang.

Masalah kanibalisme ini, tentu saja merupakan pilihan untuk percaya atau tidak. Kebenaran adalah sesuatu yang terkadang bisa diperdebatkan, karena bergantung kepada satuan ukur penilaiannya. Membunuh merupakan kekejian dan tidak dapat dibenarkan, namun dalam beberapa kondisi, keputusan mengakhiri nyawa orang lain dapat dibenarkan karena pertimbangan yang mungkin masuk akal, mungkin juga tidak.

Kanibalisme bisa jadi menjadi sesuatu yang benar adanya, tetapi selama kisahnya hanya berupa kutipan dari buku ke buku, tanpa ada bukti yang memadai, tetaplah itu sebagai sebuah kepercayaan yang tak berdasar. Dalam bahasa Batak, sebutannya ninna tu ninna; katanya, katanya. Bisa jadi cerita kanibalisme itu kisahnya mirip dengan pluto, dulu katanya planet, rupanya bukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun