Di Garissa panas menyengat hampir sepanjang hari. Angin dengan tiupannya yang lemah tak selalu berhasil menepiskan gerah. Tapi bangau-bangau itu tak peduli dengan terik. Di dahan pohon tertinggi dia bentangkan sayap, lantas terbang.
Garissa berada di sisi tenggara Kenya. Dulunya merupakan bagian dari Provinsi North Eastern, kemudian pemekaran dan sekarang menjadi Provinsi Garissa dengan ibukota Kota Garissa. Â
Dari Nairobi, ibukota Kenya, perjalanan menuju Garissa melintasi jalanan yang mulus belaka sejauh hampir 330 kilometer. Melewati beberapa speed bump di jalan tol, dan beberapa titik kemacetan yang bisa dibilang lebih parah dari Jakarta.
Selebihnya jalanan tanpa hambatan. Begitu keluar dari wilayah Nairobi, pemandangan di kiri dan kanan jalan biasanya berupa padang savana, dengan beberapa pohon berdahan rimbun. Mirip-mirip taman nasional, tetapi bukan.
Menjelang sampai di Garissa terkadang terlihat beberapa batang pohon baobab. Itu, pohon besar khas Afrika yang daunnya kecil-kecil, yang sering muncul di kartun-kartun. Di banyak tempat, pohon ini menjadi sumber kehidupan yang memberikan banyak manfaat, demikian juga bagi masyarakat Garissa.
Penduduk Garissa kebanyakan merupakan keturunan Somalia. Memang kota ini hanya berjarak sekitar 250 km dari garis perbatasan dengan Somalia. Maka kebudayaannya dominan mengadopsi kebudayaan Somalia yang mayoritas Muslim. Termasuk dalam hal memperlakukan bangau: tidak boleh dimakan.
Burung asli Afrika ini dikenal dengan sebutan Bangau Marabou atau Marabou Stork (Leptoptilos crumeniferus). Tapi warga Garissa menyebutnya Bampow. Tak seperti bangau sawah yang mudah kita temukan di jalur Pantura, maka Marabou ini posturnya mungkin sepuluh kali lebih besar.
Bangau jantan tingginya bisa mencapai 1,5 meter, dengan berat sekitar sembilan kilogram. Itu termasuk sayap yang bisa membentang hampir tiga meter dan paruhnya yang panjang. Sedangkan bangau betina mudah ditandai karena posturnya yang lebih kecil.
Karena warga tidak mengonsumsinya, dan tak ada predator yang memangsa, maka bangau-bangau itu berbiak dengan mudah. Ribuan bangau memenuhi setiap dahan pohon yang ada di pinggiran kota kecil itu. Memperdengarkam keriuhannya terutama menjelang gelap.
Marabou membangun sarang di pucuk tertinggi, namun mencari makan di sekitar permukiman. Termasuk tempat-tempat pembuangan sampah. Tak takut dengan manusia. Masyarakat pun sudah membaur dengan bangau-bangau itu. Tak saling mengganggu.
Sebagian warga memperlakukannya seolah peliharaan. Memberikan sisa makanan secara khusus untuk para bangau.
Sebenarnya tak hanya Garissa. Di beberapa kota lain Marabou juga punya kelakuan yang sama. Tinggal di sekitar habitat manusia, termasuk di kawasan Kota Nairobi. Para musim tertentu, bangau-bangau ini banyak berkumpul di dalam areal Taman Nasional Nairobi, lalu terbang entah kemana. Mungkin mencari makanan secara lintas negara. Sebab selain di Kenya, Marabou juga ditemukan di Eritrea, Ethiopia, Somalia, Namibia, Uganda, Afrika Selatan, hingga Senegal.
Bangau Marabou masih terus berbiak di Garissa. Tetap perdengarkan bunyi dua paruhnya yang beradu saat makan. Tukk.. tukkk... Tak terganggu dengan cuaca terik yang menyengat seperti Surabaya di bulan Oktober.
Di Garissa tiupan angin sangat tidak bisa diandalkan, sementara es teh manis tak mudah ditemukan. Dan dahaga tak bisa hilang hanya karena melihat Marabou yang mengepak dan terbang.
Marabaou itu, apa yang dia tahu tentang kebhinekaan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H