Sejarahnya dimulai sejak tahun 1918, ketika seorang Belanda, JB Van Dijk mengusulkan pemanfaatan sumber energi panas bumi di Kamojang. Begitulah, setelah melakukan berbagai survei dan ujicoba, akhirnya dilakukan pemboran pada sumur yang dinamakan KMJ-3.
Sampai sekarang, KMJ-3 masih menghasilkan uap alam kering dengan suhu 140 C dan tekanan 2,5 atmosfer (atm). Setelah sekian lama, pemanfaatan energi panas bumi Kamojang untuk pembangkit listrik baru dimulai sejak tahun 1983, seiring dengan dioperasikannya Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang Unit I dengan kapasitas 30 Megawatt (MW).
Kamojang mencatat sejarah karena di tempat inilah untuk pertama sekali, energi panas bumi dimanfaatkan untuk pembangkit listrik di Indonesia secara komersial. Seterusnya pada tahun 1988 kapasitas terpasang meningkat menjadi 140 MW dengan dibangunnya unit dua dan tiga (2x55 MW).
Kini, Kamojang yang merupakan salah satu dari tujuh lapangan panas bumi yang telah berproduksi, turut berkontribusi bagi ketersediaan 807 MW listrik yang bersumber dari seluruh PLTP di Indonesia. Sementara enam lainnya adalah Gunung Salak, Derajat dan Wayang Windu di Jawa Barat, Dieng di Jawa Tengah, Lehendong di Sulawesi Utara dan Sibayak di Sumatera Utara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H