Mohon tunggu...
Khairul Anwar
Khairul Anwar Mohon Tunggu... Konsultan - Hipnoterapist Klinis & Trainer Pengembangan Diri

Khairul Anwar sangat antusias dalam memfasilitasi individu yang ingin bertumbuh menjadi lebih sehat dan bahagia dengan hipnoterapi klinis. Sebagai Certified Trainer BNSP, aktif membantu banyak organisasi dalam meningkatkan kompetensi leader dan anggota tim dibidang soft skill.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Kekeliruan Pengasuhan dan Dampaknya buat Anak

5 Juli 2023   06:30 Diperbarui: 5 Juli 2023   06:33 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto by monstera from www.pexels.com

Hallo Sobat Kompasiana, senang sekali menjadi sahabat anda untuk terus bertumbuh lebih baik. Tulisan ini sangat terinspirasi dari kisah hidup ratusan klien dari ruang praktek sebagai hipnoterapis klinis. Dan sebelum anda lanjutkan membaca sampai selesai, izinkan saya bertanya;

Ketika  Ayah Bunda dan sahabat semua membeli suatu produk baru seperti handphone, televisi dan peralatan lainnya, apakah  selalu disertai dengan manual book atau buku petunjuk? Ya, Buku petunjuk yang biasanya menjelaskan secara detail tentang tata cara pemakaian, peringatan bahkan layanan perbaikan. Tentu ada khan...

Dan ketika anda sebagai Ibu, atau istri Anda melahirkan anak, apakah disertai dengan buku petunjuk? Rasanya tidak.

Ketika kita memiliki anak, saat anak pertama kali dilahirkan memang tidak ada manual book,yang menjelaskan secara detail tentang bagaimana cara terbaik mendidik, membesarkan anak, termasuk penanganan ketika anak bermasalah.  Sehingga kita banyak belajar dari orang tua terdahulu, dan menerapkan apa yang orang tua lakukan pada diri kita dan saudara kita lainnya. 

Apakah hal tersebut salah, tentu saja tidak. Kita bertindak tentu sesuai dengan sumber daya yang dimiliki saat itu, betul? Namun, apakah semua hal yang dilakukan atau diajarkan orang tua sudah tepat? Kalaupun tepat saat itu, apakah hal tersebut masih dapat diterapkan untuk pengasuhan jaman now?

Beberapa kekeliruan yang boleh jadi pernah kita lakukan dibawah ini, ya termasuk saya, dulu memang tidak saya anggap sebagai kekeliruan. Namun, seiring interaksi dengan ratusan klien di ruang konseling dan terapi, saya menyadari bahwa hal tersebut keliru. 

Banyak persoalan remaja, dewasa hingga tua dengan beragam simtom yang muncul seperti kecanduan, kecemasan, fobia, kurang percaya diri, obesitas, alergi, selalu menunda, berbohong, mogok sekolah, orientasi dan perilaku seksual menyimpang serta penyakit psikosomatis disebabkan oleh pengalaman  tertentu dengan muatan emosi negatif yang intens dan informasi yang diterima sehingga menjadi believe di pikiran bawah sadar. 

Dan yang menarik adalah, lebih dari 70% penyebab awal atau akar masalah terjadi saat anak berusia 10 tahun kebawah, artinya dari sejak dalam kandungan, berupa ucapan, perlakuan atau pola asuh orang tua, diantaranya;

Mengancam Tapi Tidak Melakukan

"Kalau main games terus, nanti mama banting lho handphone nya!"

" Awas ya, kalau masih bolos lagi, papa nggak akan kasih uang jajan!"

"Kalau masih nangis, nanti papa lempar keluar"

Hayo....siapa diantara ayah-bunda yang pernah atau sering memberikan ancaman begini pada anak-anak....hmhm...saya juga pernah melakukannya, tapi itu dulu, sebagai orang tua jaman old, sebelum banyak belajar tentang pola pengasuhan yang positif, baik melalui buku, training ataupun melalui permasalahan klien di ruang terapi.

Ancaman memang seringkali menjadi senjata sebagian orang tua untuk membuat anak mau menuruti atau stop melakukan sesuatu. Bukan hanya anak, kita sebagai orang dewasa juga takut saat ada ancaman khan? Saat mendengar ancaman, anak selalunya merespon dengan cepat karena takut akan konsekuensinya....tapi, apakah kita pernah atau selalu melaksanakan ancaman tersebut? Saat kemudian anak tetap bermain games dengan handphone nya, apakah kita benar-benar membantingnya, atau saat bolos lagi, apakah kita benar-benar menstop uang jajannya? Jangan-jangan tidak pernah, dan kita hanya memberikan ancaman kosong.

"Duh...gimana ya Pak, kan sayang handphonenya mahal, masak dibanting..." atau "Rasanya nggak tega ya kalau nggak dikasih uang jajan, nanti makannya di sekolah gimana...". itulah jawaban dari banyak orang tua diruang konseling saat saya konfirmasi tentang ancamannya apakah dilaksanakan atau tidak. Sebelumnya para orang tua ini selalu mengeluhkan perilaku anaknya yang sering berbohong, tidak lagi mau menuruti atau bahkan sering membantah orang tua, kecanduan games, bolos sekolah dan banyak perilaku 'bermasalah' lainnya.

Dampak Ancaman Kosong

Dari banyak kasus, anak-anak yang cenderung berbohong, selalu mengulangi kesalahan atau bahkan berani melawan pada orang tua, karena orang tua kurang atau bahkan sudah tidak memiliki 'nilai' dimata anak, tidak memiliki harga, atau anak menganggap orang tua sebagai figur yang tidak bisa dipercaya. "Ah...mama tuh Cuma ngancam aja.." atau "paling hanya sebentar aja papa gitu, nanti juga dikasih...".

Ketika memberikan ancaman kosong sebenarnya orang tua juga telah mengajarkan anak untuk berbohong, karena memberi ancaman tanpa melakukan sama halnya kita berjanji tapi tidak ditepati. Seringkali anakberbohong, karena belajar dari kita orang dewasa. Meskipun kita sering mengajarkan anak untuk jujur, tapi anak lebih percaya apa yang dilihat, dibanding apa yang dia dengar.

Kalau begitu, terus bagaimana, masak sih harus dibiarin aja anak main games berlama-lama, atau dibiarkan bolos?

Apa kita tidak boleh mengancam? Tentu saja boleh. Tapi pastikan untuk mengeksekusi dan konsisten melakukannya.

Kalau nggak tega bagaimana? Yaaa buat ancaman yang tega untuk dilakukan, pikir lebih dulu sebelum memberikan ancaman, apakah kita akan tega untuk melakukannya atau tidak. 

Selanjutnya, perlu batasan yang jelas ketika memberikan ancaman, misalnya ketika mengancam tidak memberikan uang jajan, pastikan dengan jelas berapa hari atau berapa lama uang jajan tidak diberikan, satu hari, dua hari atau lima hari, misalnya, "kalau minggu ini masih bolos juga, uang jajanmu papa stop dua hari ya". 

Karena ketika kita mengancam 'tidak akan memberikan uang jajan, pikiran akan memaknai sebagai "tidak memberikan uang jajan sama sekali atau selamanya". Padahal baru dua hari saja anda tidak akan tega, betul? Batasan yang jelas ini penting supaya anda tidak merasa bersalah ketika mengeksekusi ancaman anda sendiri, dan anda tidak dianggap sebagai orang tua yang tidak menepati janji dan sebagainya.

Yang lebih baik tentu tidak memberikan ancaman. Memangnya bisa? Tentu saja bisa.

Bagaimana Agar tidak mengancam?

Cara terbaik untuk mengurangi atau bahkan meniadakan  ancaman adalah dengan membuat aturan terlebih dahulu, dan disepakati bersama. Karena prinsipnya kita tidak bisa menghukum jika tidak ada aturan sebelumnya. Bukankah dalam setiap permainan atau pertandingan seperti sepak bola misalnya, selalu ada aturan mainnya? 

Selayaknya demikianlah dalam ranah keluarga, perlu aturan yang dibuat dan disepakati bersama; misalnya tentang bermain, berapa jam dalam satu minggu boleh bermain games, apa reward jika mentaati dan hukuman jika melanggar. Ketika sudah ada aturan, orang tua tentu dapat mengingatkan, dan ketika aturan tersebut dilanggar hukuman dapat dijalankan  tanpa perlu merasa bersalah.

Jadi, masih mau memberi ancaman kosong?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun