Dalam tiga tahun terakhir, saya sering diminta untuk memberikan materi kejurnalistikan. Entah di organisasi mahasiswa atau di organisasi IPNU-IPPNU.Â
Apakah saya senang ketika diminta mengisi acara-acara tadi? Oh ya, sudah pasti saya senang. Artinya, di luar sana orang-orang percaya bahwa saya punya keahlian di bidang tersebut.
Mereka mengundang saya mungkin karena menilai saya punya kemampuan untuk memberikan "pencerahan" kepada peserta tentang materi yang dimaksud, meski sebenarnya saya juga masih sama seperti peserta yang lain, yakni "masih dalam tahap proses belajar".
Saya akan sangat mendukung ketika ada anak muda, atau siapa pun, yang punya kesadaran untuk belajar tulis menulis, baik itu menulis berita atau opini. Saya sendiri masih perlu banyak belajar menulis kepada yang ahli. Tulisan saya juga nggak bagus-bagus amat.
Tapi, ketika ada organisasi yang tertarik mengajak saya untuk sharing pengetahuan seputar tulis menulis, maka, saya berusaha untuk bisa hadir di tempat kegiatan tersebut.
Ketika menjadi narasumber kegiatan jurnalistik, saya memposisikan diri sebagai teman peserta. Biar apa? Biar nggak ada jarak di antara kami.
Selain itu, saya kira, akan sangat berlebihan jika menyebut diri saya sebagai narasumber, karena ilmu yang saya miliki masih sangat sedikit. Saya lebih suka memposisikan diri sebagai partner diskusi, sharing, dan bertukar pikiran, dengan para peserta.
Dalam kegiatan tersebut, minimal, saya bisa memberikan motivasi akan pentingnya berliterasi.
Apa Itu Literasi?
Pengertian Literasi menurut UNESCO adalah wujud dari keterampilan yang secara nyata, yang secara spesifik adalah keterampilan kognitif dari membaca serta menulis, yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh dari siapa serta cara memperolehnya.